Usianya masih jauh dari setengah abad, namun tubuhnya kian tampak mengisut. Dahi yang kadang berkerut, dan kantung kehitaman di bawah mata membuat cahaya wajahnya meredup. Jelas, kecantikan masa lalunya perlahan pudar diranggas keriput.
Keringat masih menetes dan membasahi daster berwarna pudar yang dikenakannya, namun ia terlihat kembali sibuk membersihkan peralatan dapur. Sebentar kemudian beralih mencuci baju, membilas dan menjemur. Bagaikan manusia perkasa, ia seolah-olah selalu bertenaga mengurus semuanya. Tak kenal lelah, hingga jarum jam berdentang saat tengah malam tiba.
Sekejap akupun merenung…
Ia menundukkan pandangan, menyembunyikan senyum ketika pertama kali bertemu. Tak sepatah kata terucap, karena ayah bunda telah mengerti makna diam bagi seorang dara yang! dilamar jejaka. Sepekan menjelang, kitapun disatukan dalam mitsaqan ghalizha. Sebuah ikatan pernikahan yang begitu sederhana di mata manusia, namun begitu besar keutamaannya di hadapan Sang Pemilik Cinta.
Saat itu, hanya seperangkat mukena dan mushaf sebagai mahar. Tampak matanya berkaca-kaca, rasa haru menyeruak dari lubuk hatinya. Terlebih saat kulantunkan untaian ayat tentang tuntunan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Tak ada intan permata atau harta berlimpah ruah. Tak ada pula kereta kencana bertahta emas yang dihela banyak kuda. Istana yang ditempati juga hanyalah sebentuk rumah kontrakan yang sangat sederhana. Dihiasi beberapa helai kain batik usang, cukuplah sebagai tirai sutra penutup jendela. Bantal kapuk pun bagaikan berisi bulu domba untuk kita senantiasa bercengkrama.
Seiring waktu yang selalu berganti siang dan malam, perlahan raganya tak lagi indah dan segar laksana kuntum bunga yang sedang merekah. Lentik jari-jemari telah menjadi kapalan, semerbak harum mewangi lambat laun berganti aroma aneka masakan.
Aku semakin masyuk merenung dan menerawang jauh…
Teringat kisah Asma’, putri Abu Bakar yang tak pernah sungkan menyabit rumput, menanam benih di kebun hingga memelihara kuda sang kekanda tercinta. Bahkan seorang Fatimah harus rela lecet telapak tangannya karena letih menumbuk gandum dan mengerjakan urusan rumah tangga. Tak ada dayang-dayang cantik nan jelita sebagai pelayan atau khadimah, padahal mereka adalah putri-putri seorang khalifah dan Rasulullah.
Aaah…
Kudengar dengkuran halus, tapi cukup mengembalikan jiwaku yang tadi sempat melayang jauh.
Tentu, ia yang terbaring dengan raut wajah letih itu bukan Asma’ atau Fatimah. Namun, keikhlasan dan kesabarannya semoga menuai pahala seperti layaknya mereka.
Ia pun bukan Cinderella atau istri seorang pangeran tampan nan rupawan, putra maharaja yang memiliki istana megah dan indah. Seorang pewaris sebuah kerajaan yang dengan kekayaannya sanggup menyediakan dayang-dayang untuk senantiasa melayani atau meringankan beban pekerjaan.
Ia hanyalah belahan jiwa dari seorang laki-laki biasa, yang harus hidup membanting tulang dan memeras keringat untuk menghidupi keluarganya.
Semakin kutatap wajahnya dengan penuh luahan rasa cinta dan kasih sayang. Lalu akupun segera bangkit dari tempat duduk, menghampirinya yang sedang pulas tertidur seraya berbisik penuh kemesraan, “Maafkan, karena aku bukan pangeran.”
Source: buku “Sapa Cinta Dari Negeri Sakura”
Penulis : Abu Aufa
Penerbit : Pena Pundi Aksara-Jakarta.
0 comments:
Post a Comment