Deman itu,
Demam yang pertama,
Demam yang terakhir,
Bagi Rasul Terakhir.
Jam itu,
Adalah jam jam penghabisan,
Bagi utusan penghabisan.
Dalam demam yang mencekram,
Betapa sabar kau terbaring diselembar tikar,
Dalam jam, jam yang mencekam,
Betapa dalam lautan pasrahmu,
Hanya kulihat matamu beri isyarat,
Adakah gerangan yang ingin kau pesankan,
Dalam jam, jam penghabisan,
Wahai nabi pilihan.
Maka, kuhampirkan telingaku yang kanan dimulutmu yang suci,
Maka ku dengar ucapmu pelan,
Dibawah tikar, ada sembilan dinar,
Tolong, tolong sedekahkan sesegera mungkin,
Kepada, fakir miskin.
Mengapa yang sembilan dinar,
Mengapa itu benar,
Mengapa,,
Mengapa itu yang membuatmu resah wahai Rasulullah,
Sebab, kemana nanti ku sembunyikan wajahku dihadirat Illahi,
Bila aku menghadap,
Dia tahu,
Aku meninggalkan bumi dengan memiliki duit,
Biar sedikit,
Biar cuma sembilan dinar.
Kebumi aku di utus,
Memberikan arah ke jalan yang lurus.
Tugasku ..
Tugasku tak hanya menyampaikan pesan,
Tugasku juga adalah sebagai teladan.
Bagi segala yang mencintai Tuhan,
Lebih dari segala dinar,
Lebih dari segala yang lain.
Miskin aku datang,
Biarlah, biarlah miskin aku pulang,
Bersih aku lahir,
Biarlah, bersih hingga detik terakhir.
Sembilan dinar pelan pelan ku ambil di bawah tikar,
Bergegas aku keluar dari kamarmu yang sempit,
Kamarmu yang amat sederhana,
Bergegas aku kelorong-lorong sempit,
Diatas tanah pasir jalan Madinah.
Mensedekahkan dinar yang sembilan,
Kepada orang-orang miskin seperti kau,
Kepada orang-orang yang kau sangat sayangi,
Orang-orang yatim seperti Kau.
Dan,
Demam itu,
Demam yang pertama,
Demam yang terakhir.
Bagi Rasul terakhir.
Dan jam itu adalah jam penghabisan,
Bagi utusan penghabisan.
Muhammad,,
Kau tak disitu lagi ditubuh itu,
Tinggal senyum dibibirmu,
Tinggal teduh diwajahmu.
Rasulullah,,
Miskin kau datang,
Miskin kau pulang
Bersih kau lahir,
Bersih, hingga detik terakhir.
Demam yang pertama,
Demam yang terakhir,
Bagi Rasul Terakhir.
Jam itu,
Adalah jam jam penghabisan,
Bagi utusan penghabisan.
Betapa sabar kau terbaring diselembar tikar,
Dalam jam, jam yang mencekam,
Betapa dalam lautan pasrahmu,
Hanya kulihat matamu beri isyarat,
Adakah gerangan yang ingin kau pesankan,
Dalam jam, jam penghabisan,
Wahai nabi pilihan.
Maka, kuhampirkan telingaku yang kanan dimulutmu yang suci,
Maka ku dengar ucapmu pelan,
Dibawah tikar, ada sembilan dinar,
Tolong, tolong sedekahkan sesegera mungkin,
Kepada, fakir miskin.
Mengapa yang sembilan dinar,
Mengapa itu benar,
Mengapa,,
Mengapa itu yang membuatmu resah wahai Rasulullah,
Sebab, kemana nanti ku sembunyikan wajahku dihadirat Illahi,
Bila aku menghadap,
Dia tahu,
Aku meninggalkan bumi dengan memiliki duit,
Biar sedikit,
Biar cuma sembilan dinar.
Kebumi aku di utus,
Memberikan arah ke jalan yang lurus.
Tugasku ..
Tugasku tak hanya menyampaikan pesan,
Tugasku juga adalah sebagai teladan.
Bagi segala yang mencintai Tuhan,
Lebih dari segala dinar,
Lebih dari segala yang lain.
Miskin aku datang,
Biarlah, biarlah miskin aku pulang,
Bersih aku lahir,
Biarlah, bersih hingga detik terakhir.
Sembilan dinar pelan pelan ku ambil di bawah tikar,
Bergegas aku keluar dari kamarmu yang sempit,
Kamarmu yang amat sederhana,
Bergegas aku kelorong-lorong sempit,
Diatas tanah pasir jalan Madinah.
Mensedekahkan dinar yang sembilan,
Kepada orang-orang miskin seperti kau,
Kepada orang-orang yang kau sangat sayangi,
Orang-orang yatim seperti Kau.
Dan,
Demam itu,
Demam yang pertama,
Demam yang terakhir.
Bagi Rasul terakhir.
Dan jam itu adalah jam penghabisan,
Bagi utusan penghabisan.
Muhammad,,
Kau tak disitu lagi ditubuh itu,
Tinggal senyum dibibirmu,
Tinggal teduh diwajahmu.
Rasulullah,,
Miskin kau datang,
Miskin kau pulang
Bersih kau lahir,
Bersih, hingga detik terakhir.
Source » http://www.wakrizki.net/2011/08/puisi-saat-saat-terakhir-muhammad.html#ixzz23FxEZzAU
0 comments:
Post a Comment