A.U.D.R.E.Y
Karya Annisa Vee Lestari
Karya Annisa Vee Lestari
“Audrey, ada yang ingin Aku sampaikan. Aku ingin, hubungan kita sampai disini.”
“Apa? Kita putus?”
*****
Hoamm...mata masih setengah terpejam. Matahari sudah bersemangat menyinari bumi. Kulihat wajahku yang bengkak dan mataku yang sembab pasca tragedi semalam. Aku Audrey Dwita Anggrainy. Saat ini Aku duduk di bangku kuliah semester satu. Bicara tentang tragedi semalam, itu adalah hal terpahit yang pernah Aku alami. Karel Dinata, pacarku dua tahun lalu dan sekarang sudah menjadi mantanku. Ia memutuskanku secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Jujur, Aku masih sangat mencintainya. Aku juga yakin kalau ia masih punya rasa yang sama sepertiku. Karena hubungan kita memang baik-baik saja. Ponselku berdering. Aku berharap itu sms dari Karel seperti biasanya, setiap pagi ia selalu membangunkanku lewat sms. Kubuka dan kubaca sms itu. *Au, bangun! Gue udah diluar nih – Kiran*. Huh, ternyata sms itu dari Kiran, teman SMA-ku yang saat ini kuliah di universitas yang sama denganku. Kubuka gorden jendela lalu melambaikan tangan ke Kiran mengisyaratkan padanya untuk menungguku.
Segera Aku bersiap, sarapan, lalu pergi. Terlihat Kiran mengerutkan dahi
saking betenya. “Hehe, lama ya Ran? Sorry yaa...lo tau lah secara gue
kan calon singer terkenal,” Aku masuk ke mobilnya tanpa memperdulikan
keadaan Kiran. Tak berapa lama Kiran masuk ke mobil masih dengan muka
bete. “Ihh Kiran mah ngambek loh! Ntar cantiknya hilang loh..” Ledekku.
“Ihhh! Lo paling bisa yaa...” Kiran mencubit pipiku disusul tawanya.
Mobil terus melaju menuju kampus. Dijalan, Kiran memberiku kabar buruk.
“Au, lo nggak ke airport?” Tanya Kiran. “Airport? Memang ada apa?”.
“Loh? Lo nggak tau? Karel Au! Dia kan mau pindah ke Jepang,” Kiran
menatapku heran. “Apa??? Dia nggak bilang sama gue. Memang sih tadi
malam kita habis putus, tapi dia nggak bilang apa-apa tuh,” Jelasku.
Kiran menggeleng dan langsung putar arah. Aku terdiam. Tak habis pikir
kenapa Karel begitu teganya tak memberitahuku atas keberangkatannya.
Sampailah kami di suatu tempat yang bernama bandara. Kami turun dan
bergegas mencari keberadaan Karel. Hampir seluruh tempat kami telusuri
tapi hasilnya nihil. Aku terduduk lemas, air mata mengalir di pipiku.
Kini Aku bukan hanya kehilangan perhatiannya, status, tapi juga
kehilangan dirinya, my sunny, cinta pertamaku, Karel.
“Audrey,” Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh. “Ka..ka..karel...” Ucapku terbata. Air mata mengalir juga di wajah itu. Karel memelukku. “Karel, kenapa kamu pindah? Apa kamu benci sama Aku? Salah Aku dimana? Bilang Karel..” Ucapku dengan nafas tersengal-sengal. Karel mendaratkan jari telunjuknya di bibirku, “Sshhh..kamu nggak salah. Ini murni salah Aku. Aku akan pergi ke Jepang untuk kuliah. Mungkin Aku akan tinggal disana selama empat tahun,” Karel tersenyum. “Aku akan menunggu kamu sampai kamu kembali!” Tegasku. “Aku akan menunggu kamu sampai kamu kembali!” Tegasku. Karel menatapku dalam, “Hei, kamu jangan tunggu Aku! Carilah pengganti lain yang lebih baik dari Aku. Karena Aku belum pasti kembali...”. Lagi-lagi aku terdiam, stak di posisi ku sekarang. Sedangkan Karel semakin menjauh. Raga ini yakin tak bisa mencegahnya. hanya bisa berharap akan perasaannya padaku. “Karel...kalau kamu masih sayang sama Aku, plis lihat Aku!” Batinku. Karel terus berlari menuju tempat keberangkatannya. Aku masih menunggu, namun sepertinya penantianku ini akan berakhir sia-sia. Sudahlah sebaiknya Aku jangan terlalu berharap...
“Udah dong Au, jangan nangis terus...” Terlihat Kiran menghawatirkan keadaanku. Entah mengapa mata ini terus memaksaku untuk mengeluarkan air mata. Mobil terus melaju menuju kampus. Walau sudah telat, biarlah. Aku bisa masuk kelas sore. akhirnya mobil memasuki pelataran. Aku dan Kiran turun lalu bergegas ke kantin, tempat kita biasa nongkrong. “Gue yakin kok, Karel itu masih cinta sama lo..” Ucap Kiran berusaha menghiburku. “Udahlah Ran, gue nggak apa-apa kok. Mungkin semua ini udah takdir gue, harus kehilangan cinta pertama gue..” Ucapku sedih. “Woi! Pada kenapa kalian? Lo lagi, Au. Kenapee?” Tiba-tiba seseorang muncul dengan riang gembira. “Ihh, kepo amat sih lo Dion?! Huss huss sana minggir!” Usir Kiran. “Yee..kok lo yang sensi? Kan gue mau ketemu Audrey. Wekk,” Dion ( kakak tingkatku sekaligus sahabatku) memeletkan lidahnya ke arah Kiran. Aku hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabatku ini. Kehadiran mereka sungguh berarti. “Audrey cantik, lo kenapa? Galau ya? Galau karena Karel lagi?!” Tanya Dion sedikit membentak. Aku mengangguk pelan. “Udah gue bilang lo itu nggak cucok sama Karel, masih aja dilanjutin. Sekarang apa nyatanya? Lo nangis lagi kan? Udah deh sekarang lo ikut gue yuk?!” Dion menarik lenganku. “Mau kemana? Gue ada kelas...” Teriakku. “Udah, titip absen aja sama Kiran.”
“Ini dimana, Yon?” Tanyaku bingung. “Tunggu sebentar ya, 1..2..3.. its show time!” Teriak Dion. Tiba-tiba seekor monyet menari di depanku. Sontak Tawaku meledak. Dion melirikku, tersenyum. Saat ini hanya Dion cowok satu-satunya yang bisa buatku bahagia. Dion selalu ada disaat Aku susah maupun senang. Jika Aku ada masalah dengan Karel, Dion lah sebagai tempat curhatku. Mungkin jika Dion menaruh hati padaku, akan kujadikan pertimbangan. Tapi tidak untuk saat ini. Karena nama Karel masih terukir jelas di hatiku. “Makasih ya Dion..” Bisikku. “Gue akan lakukan apapun untuk buat lo bahagia. Karena gue nggak mau melihat lo menangis,” Ucap Dion tanpa melihatku. Straodinario! Mungkin itu satu-satunya kata yang bisa mewakili pendangan gue terhadap Dion. Ia begitu tulus menyayangiku sebagai sahabatnya. Pertunjukkan selesai, kami pun pulang. Dion mengantarku pulang sampai depan rumah. “Thanks for today, Dion!” Ucapku. Dion membuka kaca helmnya, “Sama-sama, jangan nangis lagi ya! Yang udah berlalu biarkan berlalu. Tatap masa depan. Semangat!!” Dion mengangkat tangannya bak pejuang. Aku mengangguk cepat. Dion memakai helmnya dan berlalu.
*****
“Cieee yang mau manggung for first time..semangat ya,” Kiran memelukku. “Aaaa Kiran! Doakan Aku ya teman,” Ucapku. Kiran mengantarku ke tempat pentas. Ya, hari ini Aku akan tampil di sebuah acara. Sebelum manggung Aku mencoba sms Karel, minta doa restu. *Karel..Aku mau manggung, doakan semua lancar yaa-Audrey*. Tapi sms-ku tak kunjung dibalas. Positive thinking, mungkin Karel sedang sibuk. Aku yakin dia mendoakanku dari sana. “Dion mana ya?” Tanyaku. “Lagi di jalan, bentar lagi sampai kok,” Jawab Kiran. Hatiku deg-degan takut gagal. Tak berapa lama namaku dipanggil. Aku naik ke panggung dan mulai bernyanyi. Syukurlah, sampai di akhir lagu semua dalam keadaan good. Penonton sepertinya menikmati suaraku. Aku turun lalu menghampiri Kiran dan Dion yang sudah menunggu di pojok. “Congrats ya Au! Gue bangga punya sahabat kayak lo,” Ucap Dion. Aku hanya tersenyum. Tiba-tiba seseorang membawakan bunga yang di dalamnya terdapat secarik kertas. Saat kutanya siapa pengirimnya, orang tersebut menggeleng. Kubaca tulisan di kertas itu, *Aura suara dan senyumanmu buat bahagiaku*. Aku melihat sekeliling tapi tak ada tanda apapun. “Ciee baru sekali manggung aja udah dapat secret admirer..” Ledek Kiran. “Iya dong, siapa dulu? Audrey...” Pamerku.
Sepulang dari show, Dion mengajakku ke suatu tempat. Katanya ini sebagai hadiah karena Aku telah sukses manggung. Tempat yang tak asing bagiku, karena dulu Karel sering mengajakku kesini. Lagi-lagi Karel yang muncul di benakku. “Sunny, kenapa kamu tak kunjung beriku kabar?” Batinku lirih. Dion menarik lenganku mengajakku berlari ke tempat itu. Taman warna, dimana setiap malam ada pesta kembang api disini. Duar! Duar! Duar! Suara kembang api mulai bergeming. Aku tersenyum bahagia sembari melirik Dion. Dion menatapku, “Audrey, gue sayang sama lo!”. “Aku juga, Kar...” Kalimatku terputus. Aku tersadar kalau yang ada di hadapanku bukanlah Karel, melainkan Dion. Astaga! Mikir apa Aku ini? Mengapa hati ini terus berharap? Dion...maafkan Aku.
“Makasih ya Dion, lagi-lagi lo yang nganter gue pulang,” Ucapku. Dion mengangkat kedua bahunya, “Santai aja kali. Udah sana masuk! Have a nice dream,” Dion pun berlalu. Nyatanya ia memang begitu baik. Harusnya saat ini Aku mulai berfikir untuk belajar mencintainya. Aku yakin Dion ada rasa padaku. Lagi pula, kami sudah terbiasa bersama-sama sejak lama. Jadi nggak ada salahnya kalau Aku mencoba untuk move on. Saat Aku memasuki rumah, Aku mendapati mawar dan secarik kertas, lagi. “Apalagi ini?” Batinku. *Untuk bahagiamu, selamat atas kesuksesanmu*. Siapa sebenarnya secret admirer ini???
*****
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Sekarang kuliahku sudah memasuki semester enam. Hari ini adalah hari paling membahagiakan untuk Aku, Kiran dan khususnya Dion. Karena hari ini adalah hari wisuda Dion. Sejak saat itu, hubungan Aku dan Dion semakin dekat. Layaknya sepasang kekasih. Tapi, Aku belum memberikan status yang jelas untuknya. Karena jujur, hati ini masih berharap kalau Karel akan kembali tahun depan. Aku bersiap-siap untuk menghadiri wisuda Dion. Mandi, sarapan dan berangkat. Saat Aku hendak mengeluarkan mobil, lagi-lagi ada mawar dan secarik kertas di atas mobilku. Ini adalah mawar kelima yang kudapat dari secret admirer yang sampai saat ini tak kuketahui identitasnya. Kubuka tasku lalu kubaca kembali kertas-kertas yang lalu. *Derai penantian, gantilah dengan masa depan*, *Rasaku semakin kuat namun rasamu semakin pupus*. Dan ini kertas terakhir yang kuterima, *Entahlah, semuanya ada padamu*. “Dert..dert..” Ponselku berdering. Masih dalam lamunan, kuangkat telefon dari Kiran. “Iya Kiran?” Sapaku. “Woi! Buruan!!!” Teriaknya. Segera kututup ponsel lalu bergegas pergi.
“Dion Chandrawinata!” Panggil MC. Huh, walaupun telat, setidaknya Aku masih bisa mendengar nama Dion dipanggil sebagai lulusan terbaik tahun ini. Sembari membawa bunga, Dion menghampiriku yang duduk manis di kursi paling belakang. “Audrey, gue lulus!” Teriaknya lalu memelukku. “Selamat ya. Gue bangga sama lo,” Bisikku. Dion melepaskan pelukannya lalu mengajakku ke taman belakang kampus. Hatiku bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya ingin diakukan Dion. “Audrey, gue mau bicara sesuatu. Tolong dengarkan sampai selesai baru boleh komentar. Kalau lo berani potong pembicaraan gue, awas lo!” Ancamnya. Aku mengangguk cepat.
“Au, gue udah lulus dan gue juga udah dapat pekerjaan. Kita udah sama-sama dewasa. Nggak munafik selama tujuh tahun kita bersama-sama, dari mulai kita SMP, rasa sayang gue ke elo muncul walau hanya sebatas sahabat. Tapi setelah Karel putus sama lo dan kita semakin dekat, rasa cinta itu ada. Gue pikir, hari ini adalah saat yang tepat untuk meresmikan hubungan kita. Lo mau kan jadi calon istri gue?” Dion melamarku. Tuhan...apa yang harus Aku perbuat? Aku sayang Dion, tapi Aku masih penasaran dengan perasaan Karel. mengapa begitu sulit untukku menerimanya?. “Dion...” Ucapku merendah. “Gue sayang lo. Tapi untuk komitmen, gue belum bisa jawab sekarang. Tunggu jawaban gue tahun depan, gue janji!” Timpahku. Dion tertunduk. Tampak raut kecewa di wajahnya. Berapa saat kemudian Dion menatapku seraya berkata, “Baiklah, gue akan tagih janji lo tahun depan.”
*****
1 TAHUN KEMUDIAN...
“Mbak Audrey? Cantik banget...” Teriak Kiran. “Kiran..sebentar lagi gue udah nggak single,” Aku memeluknya. “Asik banget sih! lulus dengan nilai terbaik, dapet suami idaman lagi!” Gerutu Kiran. “Jangan iri gitu. Pasti lo juga akan merasakan hal yang sama suatu saat nanti,” Aku mengelus pundak Kiran. Seseorang mengetuk pintu, “Sayang, tamu udah pada menunggu di bawah. Eh, ada Kiran. Hai Kiran?!” Ucapnya, calon suamiku. “Hallo juga Dion! Akhirnya..kalian jadi juga,” Goda Kiran. Dion tersenyum sembari memberiku isyarat kalau ia menunggu kehadiranku di ruang bawah. Ya, sebentar lagi aku akan menikah dengan Dion, pria yang melamarku setahun yang lalu. Aku memutuskan untuk menerimanya karena sampai saat ini Karel tak kunjung datang. Aku menyadari kalau harapanku sudah pupus padanya. Harapanku saat ini ada pada Dion.
Wajahku kini sudah berlumur make up. Saat Aku sedang asik bercanda dengan Kiran, satpam rumahku masuk memberiku mawar dan secarik kertas, lagi. Aku dan Kiran saling memandang heran. Kubuka kertas itu lalu kubaca. *Yang terakhir dariku, selamat atas pernikahanmu*. Aku bertanya pada satpam itu tentang identitas si pengirim. “Orangnya baru saja keluar. Wanita, pakai baju ungu”. Segera Aku berlari mencari wanita yang dimaksudnya. Di taman dekat pintu keluar Aku menemukannya. Kutepuk pundaknya, “Hai..kamu yang selama ini mengirimkan Aku bunga?”. Wanita itu menoleh, tersenyum dan memberiku kertas lagi. Tapi kali ini agak lebih besar, seperti surat. Aku menatap wanita itu lalu beralih menatap Kiran. Mata Kiran menunjukkan isyarat kalau Aku harus membuka surat itu. Hatiku berdegup kencang saat membacanya. Lalu kututup surat itu dengan air mata. Wanita itu menjelaskan semuanya lalu pergi. Masih dalam suasana haru, Kiran memelukku erat sekali. Membuatku lebih tenang dari sebelumnya.
“Sayang, kamu nggak apa-apa?” Dion meraba wajahku. Aku mengangguk berat. Kiran menatapku tajam, “Ini hari pernikahan lo! Yang lalu biarkan berlalu. Sekarang masa depan lo ada pada orang ini,” Bisik Kiran. Tak mau membuat Dion kecewa, segera kuhapus air mata dan mencoba tersenyum demi Dion walau berat rasanya. “Kamu udah siap?” Tanya Dion. Kutatap Kiran dan Kiran membalas dengan angkat jempol. “Aku siap Dion, calon suamiku,” Ucapku lantang. Dion menarikku ke pelaminan.
Semua proses telah dilaksanakan. Aku bahagia, akhirnya Aku bisa menemukan pendamping yang tepat untukku. Walaupun orang itu bukan cinta pertamaku. Tapi Aku tak menyesal pernah mengenal Karel. Karena kalau Aku tak mengenalnya dan pernah menjadi orang yang berarti di hidupnya begitu juga ia di hidupku, mungkin endingnya nggak akan seperti ini. Karena pengalaman itulah yang membuatku belajar banyak. Masalah surat tadi, ternyata semua mawar dan kertas itu adalah dari Karel. Karel mempunyai orang suruhan untuk menjagaku disini. Satu yang kusesali, Aku tak tau kalau Karel ternyata sakit dan harus dibawa ke Jepang untuk berobat. Dan saat ini Karel sudah tiada. Ia meninggal dua hari yang lalu. Inilah mawar sekaligus surat terakhir darinya. Sekarang aku sudah resmi menjadi istri dari Dion Chandrawinata dan aku bahagia. “Aku mencintaimu istriku, Audrey Dwita Anggrainy,” Dion mencium keningku. “Aku juga mencintaimu suamiku, Dion Chandrawinata.”
Surat dari Karel -
“Aura suara dan senyumanmu buat bahagiaku. Untuk bahagiamu, selamat atas kesuksesanmu. Derai penantian, gantilah dengan masa depan. Rasaku semakin kuat namun rasamu semakin pupus. Entahlah, semuanya ada padamu. Yang terakhir dariku, selamat atas pernikahanmu.
Huruf dari namamu kuuntai menjadi kata-kata yang menggambarkan kisah hidupmu saat ku tak ada di sisimu. Aku bukan penyuka sastra, namun karena rasa ini, membuatku merasa layaknya sastrawan. Satu hal dalam hidupku yang paling membahagiakan. Yaitu mengenalmu sebagai cinta pertamaku, A.U.D.R.E.Y.”
KAREL DINATA
“Audrey,” Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh. “Ka..ka..karel...” Ucapku terbata. Air mata mengalir juga di wajah itu. Karel memelukku. “Karel, kenapa kamu pindah? Apa kamu benci sama Aku? Salah Aku dimana? Bilang Karel..” Ucapku dengan nafas tersengal-sengal. Karel mendaratkan jari telunjuknya di bibirku, “Sshhh..kamu nggak salah. Ini murni salah Aku. Aku akan pergi ke Jepang untuk kuliah. Mungkin Aku akan tinggal disana selama empat tahun,” Karel tersenyum. “Aku akan menunggu kamu sampai kamu kembali!” Tegasku. “Aku akan menunggu kamu sampai kamu kembali!” Tegasku. Karel menatapku dalam, “Hei, kamu jangan tunggu Aku! Carilah pengganti lain yang lebih baik dari Aku. Karena Aku belum pasti kembali...”. Lagi-lagi aku terdiam, stak di posisi ku sekarang. Sedangkan Karel semakin menjauh. Raga ini yakin tak bisa mencegahnya. hanya bisa berharap akan perasaannya padaku. “Karel...kalau kamu masih sayang sama Aku, plis lihat Aku!” Batinku. Karel terus berlari menuju tempat keberangkatannya. Aku masih menunggu, namun sepertinya penantianku ini akan berakhir sia-sia. Sudahlah sebaiknya Aku jangan terlalu berharap...
“Udah dong Au, jangan nangis terus...” Terlihat Kiran menghawatirkan keadaanku. Entah mengapa mata ini terus memaksaku untuk mengeluarkan air mata. Mobil terus melaju menuju kampus. Walau sudah telat, biarlah. Aku bisa masuk kelas sore. akhirnya mobil memasuki pelataran. Aku dan Kiran turun lalu bergegas ke kantin, tempat kita biasa nongkrong. “Gue yakin kok, Karel itu masih cinta sama lo..” Ucap Kiran berusaha menghiburku. “Udahlah Ran, gue nggak apa-apa kok. Mungkin semua ini udah takdir gue, harus kehilangan cinta pertama gue..” Ucapku sedih. “Woi! Pada kenapa kalian? Lo lagi, Au. Kenapee?” Tiba-tiba seseorang muncul dengan riang gembira. “Ihh, kepo amat sih lo Dion?! Huss huss sana minggir!” Usir Kiran. “Yee..kok lo yang sensi? Kan gue mau ketemu Audrey. Wekk,” Dion ( kakak tingkatku sekaligus sahabatku) memeletkan lidahnya ke arah Kiran. Aku hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabatku ini. Kehadiran mereka sungguh berarti. “Audrey cantik, lo kenapa? Galau ya? Galau karena Karel lagi?!” Tanya Dion sedikit membentak. Aku mengangguk pelan. “Udah gue bilang lo itu nggak cucok sama Karel, masih aja dilanjutin. Sekarang apa nyatanya? Lo nangis lagi kan? Udah deh sekarang lo ikut gue yuk?!” Dion menarik lenganku. “Mau kemana? Gue ada kelas...” Teriakku. “Udah, titip absen aja sama Kiran.”
“Ini dimana, Yon?” Tanyaku bingung. “Tunggu sebentar ya, 1..2..3.. its show time!” Teriak Dion. Tiba-tiba seekor monyet menari di depanku. Sontak Tawaku meledak. Dion melirikku, tersenyum. Saat ini hanya Dion cowok satu-satunya yang bisa buatku bahagia. Dion selalu ada disaat Aku susah maupun senang. Jika Aku ada masalah dengan Karel, Dion lah sebagai tempat curhatku. Mungkin jika Dion menaruh hati padaku, akan kujadikan pertimbangan. Tapi tidak untuk saat ini. Karena nama Karel masih terukir jelas di hatiku. “Makasih ya Dion..” Bisikku. “Gue akan lakukan apapun untuk buat lo bahagia. Karena gue nggak mau melihat lo menangis,” Ucap Dion tanpa melihatku. Straodinario! Mungkin itu satu-satunya kata yang bisa mewakili pendangan gue terhadap Dion. Ia begitu tulus menyayangiku sebagai sahabatnya. Pertunjukkan selesai, kami pun pulang. Dion mengantarku pulang sampai depan rumah. “Thanks for today, Dion!” Ucapku. Dion membuka kaca helmnya, “Sama-sama, jangan nangis lagi ya! Yang udah berlalu biarkan berlalu. Tatap masa depan. Semangat!!” Dion mengangkat tangannya bak pejuang. Aku mengangguk cepat. Dion memakai helmnya dan berlalu.
*****
“Cieee yang mau manggung for first time..semangat ya,” Kiran memelukku. “Aaaa Kiran! Doakan Aku ya teman,” Ucapku. Kiran mengantarku ke tempat pentas. Ya, hari ini Aku akan tampil di sebuah acara. Sebelum manggung Aku mencoba sms Karel, minta doa restu. *Karel..Aku mau manggung, doakan semua lancar yaa-Audrey*. Tapi sms-ku tak kunjung dibalas. Positive thinking, mungkin Karel sedang sibuk. Aku yakin dia mendoakanku dari sana. “Dion mana ya?” Tanyaku. “Lagi di jalan, bentar lagi sampai kok,” Jawab Kiran. Hatiku deg-degan takut gagal. Tak berapa lama namaku dipanggil. Aku naik ke panggung dan mulai bernyanyi. Syukurlah, sampai di akhir lagu semua dalam keadaan good. Penonton sepertinya menikmati suaraku. Aku turun lalu menghampiri Kiran dan Dion yang sudah menunggu di pojok. “Congrats ya Au! Gue bangga punya sahabat kayak lo,” Ucap Dion. Aku hanya tersenyum. Tiba-tiba seseorang membawakan bunga yang di dalamnya terdapat secarik kertas. Saat kutanya siapa pengirimnya, orang tersebut menggeleng. Kubaca tulisan di kertas itu, *Aura suara dan senyumanmu buat bahagiaku*. Aku melihat sekeliling tapi tak ada tanda apapun. “Ciee baru sekali manggung aja udah dapat secret admirer..” Ledek Kiran. “Iya dong, siapa dulu? Audrey...” Pamerku.
Sepulang dari show, Dion mengajakku ke suatu tempat. Katanya ini sebagai hadiah karena Aku telah sukses manggung. Tempat yang tak asing bagiku, karena dulu Karel sering mengajakku kesini. Lagi-lagi Karel yang muncul di benakku. “Sunny, kenapa kamu tak kunjung beriku kabar?” Batinku lirih. Dion menarik lenganku mengajakku berlari ke tempat itu. Taman warna, dimana setiap malam ada pesta kembang api disini. Duar! Duar! Duar! Suara kembang api mulai bergeming. Aku tersenyum bahagia sembari melirik Dion. Dion menatapku, “Audrey, gue sayang sama lo!”. “Aku juga, Kar...” Kalimatku terputus. Aku tersadar kalau yang ada di hadapanku bukanlah Karel, melainkan Dion. Astaga! Mikir apa Aku ini? Mengapa hati ini terus berharap? Dion...maafkan Aku.
“Makasih ya Dion, lagi-lagi lo yang nganter gue pulang,” Ucapku. Dion mengangkat kedua bahunya, “Santai aja kali. Udah sana masuk! Have a nice dream,” Dion pun berlalu. Nyatanya ia memang begitu baik. Harusnya saat ini Aku mulai berfikir untuk belajar mencintainya. Aku yakin Dion ada rasa padaku. Lagi pula, kami sudah terbiasa bersama-sama sejak lama. Jadi nggak ada salahnya kalau Aku mencoba untuk move on. Saat Aku memasuki rumah, Aku mendapati mawar dan secarik kertas, lagi. “Apalagi ini?” Batinku. *Untuk bahagiamu, selamat atas kesuksesanmu*. Siapa sebenarnya secret admirer ini???
*****
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Sekarang kuliahku sudah memasuki semester enam. Hari ini adalah hari paling membahagiakan untuk Aku, Kiran dan khususnya Dion. Karena hari ini adalah hari wisuda Dion. Sejak saat itu, hubungan Aku dan Dion semakin dekat. Layaknya sepasang kekasih. Tapi, Aku belum memberikan status yang jelas untuknya. Karena jujur, hati ini masih berharap kalau Karel akan kembali tahun depan. Aku bersiap-siap untuk menghadiri wisuda Dion. Mandi, sarapan dan berangkat. Saat Aku hendak mengeluarkan mobil, lagi-lagi ada mawar dan secarik kertas di atas mobilku. Ini adalah mawar kelima yang kudapat dari secret admirer yang sampai saat ini tak kuketahui identitasnya. Kubuka tasku lalu kubaca kembali kertas-kertas yang lalu. *Derai penantian, gantilah dengan masa depan*, *Rasaku semakin kuat namun rasamu semakin pupus*. Dan ini kertas terakhir yang kuterima, *Entahlah, semuanya ada padamu*. “Dert..dert..” Ponselku berdering. Masih dalam lamunan, kuangkat telefon dari Kiran. “Iya Kiran?” Sapaku. “Woi! Buruan!!!” Teriaknya. Segera kututup ponsel lalu bergegas pergi.
“Dion Chandrawinata!” Panggil MC. Huh, walaupun telat, setidaknya Aku masih bisa mendengar nama Dion dipanggil sebagai lulusan terbaik tahun ini. Sembari membawa bunga, Dion menghampiriku yang duduk manis di kursi paling belakang. “Audrey, gue lulus!” Teriaknya lalu memelukku. “Selamat ya. Gue bangga sama lo,” Bisikku. Dion melepaskan pelukannya lalu mengajakku ke taman belakang kampus. Hatiku bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya ingin diakukan Dion. “Audrey, gue mau bicara sesuatu. Tolong dengarkan sampai selesai baru boleh komentar. Kalau lo berani potong pembicaraan gue, awas lo!” Ancamnya. Aku mengangguk cepat.
“Au, gue udah lulus dan gue juga udah dapat pekerjaan. Kita udah sama-sama dewasa. Nggak munafik selama tujuh tahun kita bersama-sama, dari mulai kita SMP, rasa sayang gue ke elo muncul walau hanya sebatas sahabat. Tapi setelah Karel putus sama lo dan kita semakin dekat, rasa cinta itu ada. Gue pikir, hari ini adalah saat yang tepat untuk meresmikan hubungan kita. Lo mau kan jadi calon istri gue?” Dion melamarku. Tuhan...apa yang harus Aku perbuat? Aku sayang Dion, tapi Aku masih penasaran dengan perasaan Karel. mengapa begitu sulit untukku menerimanya?. “Dion...” Ucapku merendah. “Gue sayang lo. Tapi untuk komitmen, gue belum bisa jawab sekarang. Tunggu jawaban gue tahun depan, gue janji!” Timpahku. Dion tertunduk. Tampak raut kecewa di wajahnya. Berapa saat kemudian Dion menatapku seraya berkata, “Baiklah, gue akan tagih janji lo tahun depan.”
*****
1 TAHUN KEMUDIAN...
“Mbak Audrey? Cantik banget...” Teriak Kiran. “Kiran..sebentar lagi gue udah nggak single,” Aku memeluknya. “Asik banget sih! lulus dengan nilai terbaik, dapet suami idaman lagi!” Gerutu Kiran. “Jangan iri gitu. Pasti lo juga akan merasakan hal yang sama suatu saat nanti,” Aku mengelus pundak Kiran. Seseorang mengetuk pintu, “Sayang, tamu udah pada menunggu di bawah. Eh, ada Kiran. Hai Kiran?!” Ucapnya, calon suamiku. “Hallo juga Dion! Akhirnya..kalian jadi juga,” Goda Kiran. Dion tersenyum sembari memberiku isyarat kalau ia menunggu kehadiranku di ruang bawah. Ya, sebentar lagi aku akan menikah dengan Dion, pria yang melamarku setahun yang lalu. Aku memutuskan untuk menerimanya karena sampai saat ini Karel tak kunjung datang. Aku menyadari kalau harapanku sudah pupus padanya. Harapanku saat ini ada pada Dion.
Wajahku kini sudah berlumur make up. Saat Aku sedang asik bercanda dengan Kiran, satpam rumahku masuk memberiku mawar dan secarik kertas, lagi. Aku dan Kiran saling memandang heran. Kubuka kertas itu lalu kubaca. *Yang terakhir dariku, selamat atas pernikahanmu*. Aku bertanya pada satpam itu tentang identitas si pengirim. “Orangnya baru saja keluar. Wanita, pakai baju ungu”. Segera Aku berlari mencari wanita yang dimaksudnya. Di taman dekat pintu keluar Aku menemukannya. Kutepuk pundaknya, “Hai..kamu yang selama ini mengirimkan Aku bunga?”. Wanita itu menoleh, tersenyum dan memberiku kertas lagi. Tapi kali ini agak lebih besar, seperti surat. Aku menatap wanita itu lalu beralih menatap Kiran. Mata Kiran menunjukkan isyarat kalau Aku harus membuka surat itu. Hatiku berdegup kencang saat membacanya. Lalu kututup surat itu dengan air mata. Wanita itu menjelaskan semuanya lalu pergi. Masih dalam suasana haru, Kiran memelukku erat sekali. Membuatku lebih tenang dari sebelumnya.
“Sayang, kamu nggak apa-apa?” Dion meraba wajahku. Aku mengangguk berat. Kiran menatapku tajam, “Ini hari pernikahan lo! Yang lalu biarkan berlalu. Sekarang masa depan lo ada pada orang ini,” Bisik Kiran. Tak mau membuat Dion kecewa, segera kuhapus air mata dan mencoba tersenyum demi Dion walau berat rasanya. “Kamu udah siap?” Tanya Dion. Kutatap Kiran dan Kiran membalas dengan angkat jempol. “Aku siap Dion, calon suamiku,” Ucapku lantang. Dion menarikku ke pelaminan.
Semua proses telah dilaksanakan. Aku bahagia, akhirnya Aku bisa menemukan pendamping yang tepat untukku. Walaupun orang itu bukan cinta pertamaku. Tapi Aku tak menyesal pernah mengenal Karel. Karena kalau Aku tak mengenalnya dan pernah menjadi orang yang berarti di hidupnya begitu juga ia di hidupku, mungkin endingnya nggak akan seperti ini. Karena pengalaman itulah yang membuatku belajar banyak. Masalah surat tadi, ternyata semua mawar dan kertas itu adalah dari Karel. Karel mempunyai orang suruhan untuk menjagaku disini. Satu yang kusesali, Aku tak tau kalau Karel ternyata sakit dan harus dibawa ke Jepang untuk berobat. Dan saat ini Karel sudah tiada. Ia meninggal dua hari yang lalu. Inilah mawar sekaligus surat terakhir darinya. Sekarang aku sudah resmi menjadi istri dari Dion Chandrawinata dan aku bahagia. “Aku mencintaimu istriku, Audrey Dwita Anggrainy,” Dion mencium keningku. “Aku juga mencintaimu suamiku, Dion Chandrawinata.”
Surat dari Karel -
“Aura suara dan senyumanmu buat bahagiaku. Untuk bahagiamu, selamat atas kesuksesanmu. Derai penantian, gantilah dengan masa depan. Rasaku semakin kuat namun rasamu semakin pupus. Entahlah, semuanya ada padamu. Yang terakhir dariku, selamat atas pernikahanmu.
Huruf dari namamu kuuntai menjadi kata-kata yang menggambarkan kisah hidupmu saat ku tak ada di sisimu. Aku bukan penyuka sastra, namun karena rasa ini, membuatku merasa layaknya sastrawan. Satu hal dalam hidupku yang paling membahagiakan. Yaitu mengenalmu sebagai cinta pertamaku, A.U.D.R.E.Y.”
KAREL DINATA
PROFIL PENULIS
Nama : Annisa Vee Lestari
Add fb : http://www.facebook.com/nissa.vibra /(nissa vibra)
Add fb : http://www.facebook.com/nissa.vibra /(nissa vibra)
0 comments:
Post a Comment