Cerpen - Percakapan Singkat di Lobi Bandara

“Jenggotmu sudah panjang, cukur saja” Begitulah temanku mencoba bercanda pagi itu. Saat pelanggan mulai berdatangan di toko yang saya kelola bersama istri. Kami sudah tinggal hampir selama sepuluh tahun di Negara ini. Saya memiliki seorang anak yang masih berumur tujuh tahun. Anak yang sangat lucu dan menjadi penenang di saat galau. Menjadi tawa disaat air mata harus menetes.
Setiap hari aktivitasku hanyalah menunggu sebuah toko. Lebih tepatnya sebagai manager di toko sendiri. Pegawai kami lumayan banyak, maklum toko yang saya rintis sepuluh tahun lalu ini lumayan berkembang pesat. Dan alhamdulillah saya makmur hidup dan menetap disini. Kami memiliki sebuah rumah di kota ini, California, USA. Orang-orang disini sangat ramah. Tetangga-tetangga satu komple biasanya berkumpul sore-sore. Selalu ada aja hal menarik yang dibahas.
Seperti sore itu, ada seorang tetanggaku, namanya Mr. Robert, lelaki setengah baya yang masih giat dalam lembaga sosial. Ia adalah seorang yang alim. Selalu menenteng kitab sucinya kemana pun ia pergi. Berkata seperti Nabi, hampir tak ada cacat dalam setiap perkataannya. Selalu sabar, apapun masalah yang menimpanya. Sore itu cuaca masih menyisakan panas. Jalanan berdebu, Mr. Robert berjalan disekitar komplek rumah. Ia memelihara due ekor kelinci. Kelinci lucu yang masing-masing bernama Alan dan Johnson. Ia memelihara dua kelinci itu sekian lama. Ia nampak begitu sayang dengan kelinci-kelincinya. Rutinitas sehari-harinya hanya mengurus kelinci itu setelah beribadat di gereja.
Tapi alangkah kagetnya dia sore itu melihat satu ekor kelincinya meninggal sore itu. Wajahnya pucat sore itu, tubuhnya gemetar, jenggotnya seakan gugur satu-satu. Ia menangis mendekap bangkai kelinci itu. Melihat keadaan itu aku mendekatinya.
“Kenapa Pak?”
“Kelinciku meninggal”
“meninggal kenapa?”
“Aku juga tak tahu, tiba-tiba aku menemukannya dalam kondisi begini”
Hidungnya tak henti mencium kelinci itu. Sesekali ia batuk karena memang Mr. Robert sudah lama mengidap penyakit batuk dan ashma. Ia tampak sedih sore itu.
“Apakah tuan mau melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib” aku mencoba bertanya. Karena disini binatang juga berhak mendapatkan perlindungan. Ia menatapku dan perlahan beranjak berdiri. Ia memegang pundakku.
“Mr. Ahmad, segala sesuatu kejadian sudah ada dalam fikiran Tuhan. Ia telah lama merancang segalanya. Tuhan itu penyayang. Tuhan itu penyabar. Ia mungkin sedang menguji kesabaranku jua. Yakinlah, Tuhan selalu memberi yang terbaik. Tuhan tak pernah salah. Akan ada rancangan terbaik untuk kita. Termasuk pula untuk kelinci ini.”
Begitulah Mr. Robert menjelaskanku, betapa Ia adalah seorang yang baik. Ia sekali pun selama sepengetahuanku tak pernah membuat orang sakit hati. Ia sangat rukun dalam bertetangga. Segala sesuatu yang terjadi selalu Ia yakini adalah keinginan Tuhan. Sehingga dengan itu ia bisa ikhlas dan selalu tersenyum.
Begitu pula dengan tetangga-tetangga yang lain. Semua baik-baik saja, semua sangat ramah dan tak pernah menggunjing atau pun memberi perlakuan berbeda kepada kami sekeluarga. Meskipun kami adalah pendatang dan sendirian seorang muslim disini. Mereka tak pernah menyinggung dan menyepelekan masalah agama. Mereka berfikiran Tuhan itu satu dan Tuhan amatlah baik.
Tapi semua berubah. Orang di sini tak lagi ramah kepada kami. Orang di sini mulai mengernyitkan dahi setiap melihat kami. Orang di sini mulai enggan dan menjauh dari kami. Semua berawal dari tragedi 11 September. Tragedi yang merenggut ribuan nyawa dan sebagian besar orang beranggapan penyebab itu adalah orang muslim. Orang muslim yang dianggap sebagai teroris. Dan teroris adalah musuh Negara. Sebuah tuduhan yang mungkin berlebihan. Mungkin, tapi inilah kenyataannya. Sebagian besar warga trauma setelah kejadian itu. Dendam tertanam dalam hati mereka. Bahwa semua orang muslim adalah musuh. Pendiskriminasian mulai terjadi. Dimana-mana.
Semua serba sulit. Di setiap tempat umum, pemeriksaan berulang terjadi. Apalagi aku menyandang nama Ahmad. Jenggotku pun lumayan panjang. Aku enggan menyukur dan karena hampir lima belas tahun aku berjenggot. Jadi ada yang berbeda jika aku harus mencukurnya. Tak apalah. Toh aku bukan teroris meskipun aku seorang muslim.
Istriku sore itu begitu khawatir melihat perubahan-perubahan orang-orang sana. “Apa ga sebaiknya mencukur jenggot aja mas!” Ia menyarankanku berulang kali. Aku hanya tersenyum dan menjawab, “Ga apa-apa dek, Mas pasti baik-baik saja”. Istriku pun mencoba tersenyum, walau ku tau kegelisahan masih menetes deras di wajahnya. Karena bagaimana pun seorang istri pasti gelisah melihat pendirianku yang tak ingin mecukur jenggot.
Karena di berbagai berita di televisi selalu memberitakan tentang ada seorang muslim dikeroyok sampai harus opname dirumah sakit. Bahkan seorang wanita dipaksa melepas jilbabnya. Berita-berita itu terus menumbuhkan kekhawatiran dan sedikit ketakutan dalam diriku. Ketakutan terhadapat keselamatan anak dan istriku. Apalagi anakku sempat bercerita sepulang sekolah. Bahwa ada tiga orang temannya mengolok-ngolok dan mengatakan dia seorang anak teroris. Dikarenakan ada nama Ahmad dibelakang namanya. Anakku mulai takut ke sekolah sendiri. Ia mulai malas. Aku berfikir lama malam itu. Apakah aku harus pergi dan kembali ke Indonesia.
Omset penjualan toko menurun drastis. Pelanggan yang biasa berdatangan tampak mulai sepi. Mereka sudah tak mau lagi berbelanja. Sempat juga aku mendengar obrolan seorang pelanggan kami, “buat apa beli di toko seorang musuh. Ia telah banyak membunuh warga kita, cuiiiiih” Ia pun meludah di depan toko dan pergi. Sampai suatu malam, jalanan nampak sepi, hanya terlihat seorang tua renta mengais-ngais sampah. Aku dan istriku berniat untuk nutup. Tiba-tiba sebuah botol melayang dan tepat mengenai etalase toko. Tepatnya tiga buah lemparan datang, aku mendekap istriku supaya Ia tak terkena pecahan kaca. Para pelaku kabur setelah melempar toko kami.
Akhirnya, setelah kejadian mengerikan itu aku berfikir harus segera pindah ke Indonesia. Karena bapak dan ibu di rumah juga selalu khawatir dengan keadaan kami. Pagi-pagi sekali aku mengantar istri dan anakku ke bandara. Mereka harus balik duluan. Karena aku harus mengurus tentang pemindah sahaman toko dan masalah sekolah anakku yang harus pindah. Air mata istriku jatuh deras saat ku peluk di bandara. “Hati-hati Ya Mas, secepatnya mas juga harus pulang”. Aku hanya tersenyum dan memeluk mereka.
Setelah beberapa hari, urusan semuanya selesai. Kebetulan ada teman yang mau membayar toko itu. Dengan syarat Ia harus mengganti nama toko yang semula menggunakan namaku. Aku pun akhirnya berniat pulang.
Di bandara. Izin dan passport tambah ribet. Perlakuan mereka tak adil. Orang asli warga sana semudahnya saja keluar masuk. Sementara aku harus melalui berpuluh-puluh peneyelidikan. Semua badanku diperiksa. Polisi-polisi berbadan besar dan tegap. Mulai banyak Tanya. Aku pun menjawab seadanya. Sampai akhirnya aku dipersilahkan ke lobi bandara. Orang-orang disekitar melihatku dengan wajah sinis dan banyak yang memperhatikan jenggotku. Aku fikir dalam hati mereka berkata, “Dasar teroris, kau sudah banyak membunuh warga kami, jenggotmu ingin kubakar saja”. Aku tak menanggapi mereka, aku hanya membaca sebuah buku yang dari tadi kupegang.
Sampai beberapa menit akhirnya seorang perempuan duduk disampingku. Perempuan kulit putih dengan tinggi sedikit lebih dari badanku. Rambutnya berwarna hitam tebal, matanya lebar dan bibirnya agak tipis. Aku seksama memperhatikannya karena Ia duduk hanya beberapa senti saja disebelahku. Ia tersenyum tatkala pandangan kami tepat berhadapan. Senyumnya manis sekali.
“Hello” Ia menyapaku. Aku pun tersenyum dan membalas “Hello”. Kami pun mulai berbincang-bincang dengan bahasa Inggris. Ia orang prancis dan nampaknya juga masih belum bisa berbahasa Inggris dengan baik.
“Mau kemana Tuan?”
“Mau balik ke Indonesia”
“Ow, kenapa harus balik?”
“Emang saatnya saya harus balik. Kebetulan istri sama anak sudah menunggu disana. Kalo Nona mau kemana?” aku mencoba bertanya.
“Saya mau balik ke Prancis. Saya seorang wartawan yang ditugaskan disini. Saya baru sebulan disini. Amerika memberi banyak hal baru” Ia hanya tersenyum.
“Jenggot” Ia menunjuk jenggotku.
Aku bingung kenapa ia menunjuk jenggotku.
“Kenapa?” Aku mencoba bertanya.
“Aku suka sama pria berjenggot” Ia nampak polos dalam berbicara.
“Apa kau seorang muslim?”
Aku kaget mendengar pertanyaanya.”Iya, kenapa Nona?
“Pacarku adalah seorang muslim. Ia sangat baik. Dia sudah lima tahun berkerja di sebuah perusahaan di Perancis. Tapi, dua bulan kemarin Ia dipindah bekerja di cabang perusahaan di sini. Ia meninggal dua minggu kemaren. Dibantai oleh dua orang pemuda yang sedang mabok. Karena ia berjenggot. Setelah pemuda itu tertangkap. Ternyata Ia menyimpan dendam dikarenakan Bapaknya juga meninggal dalam kejadian 11 September itu. Begitulah orang di sini. Terlalu cepat menyimpulkan. Apakah setiap muslim teroris dan patut dibunuh? Apakah setiap orang berjenggot adalah pengikut Bin Laden?. Apakah setiap orang muslim adalah musuh?. Aku selalu bertanya seperti itu. Bahkan aku pernah membuat artikel seperti itu di koran. Aku dikritik oleh banyak pihak. Tapi sesungguhnya aku hanya mencari sebuah kebenaran. Kebenaran yang sulit sekali disini. Kebenaran yang mungkin hanya dimiliki Tuhan. Itulah sebabnya aku mengajukan untuk pindah ke sini. Aku ingin mencari jawaban tuntas untuk masalah ini.”
Aku hanya tertegun mendengar penjelasannya. Matanya berkaca-kaca. Ia nampak sedih harus kehilangan kekasihnya yang dibantai dengan sadis. Apa salah mereka, apa daging mereka halal untuk di bantai dan di makan di negeri ini.
Ia pun melanjutkan pembicaraannya, “Buat apa agama kalo toh pada akhirnya perpecahan terjadi karena agama. Apa lebih baik tidak ada saja agama tersebut. Cukup kita meletakkan tuhan dihati kita dan berdo’a dalam kamar sendiri. Mengunci pintu rapat-rapat. Saya selalu mendapatkan pelajaran agama dari semenjak kecil. Kebetulan ayah saya adalah seorang yang taat. Ia selalu menjunjung tinggi Tuhan. Ia selalu mengajarkan bahwa Tuhan itu baik, Tuhan itu selalu tersenyum dan Tuhan tak pernah diam. Lantas apakah dengan ada kejadian seperti ini kita lantas menyalahkan satu agama. Karena saya pun begitu tau tentang Islam. Saya banyak belajar membaca di buku-buku. Islam itu agama yang baik. Semua agama juga baik. Hanya ada beberapa pihak saja yang berkepentingan dan melakukan itu. Jadi tak sepantasnya kita mendeskriminisaikan sebuah agama dan berstatemen, Islam itu Teroris. Islam itu agama yang paling keras dan menghalalkan segala macam tindakan sadis. Itu sangat tidak benar. Karena sesungguhnya Tuhan hanya satu dan kita menyembah dengan berbagai cara. Tapi tujuan kita hanya satu. Memuji dan mengagungkan Tuhan. Menjalankan perintah Tuhan dengan penuh ikhlas.”
“Lihatlah beberapa kejadian, pembantaian, perang antar agama yang banyak terjadi di setiap belahan dunia, apa motivasi mereka? Apakah mereka ingin membuktikan agama mereka lah yang paling benar. Apa mereka ingin membuktikan Tuhan mereka yang paling kuat. Sehingga agama lain harus dimusnahkan. Tuhan tak perlu di bela. Tuhan itu segala maha. Ia tak perlu dibela dan diperjuangkan dengan kekerasan. Tuhan itu di hati kita. Ia selalu menunggu dan menemani kita. Puji Tuhan”.
Matanya berkaca-kaca, waktu pun harus memisahkan kami. Pesawat akan berangkat dan dia memberikan kartu identitasnya kepadaku. Sungguh sosok yang begitu tegar dan berpandangan luas. Seandainya setiap orang berfikiran seperti Nona ini dan berkelakuan seperti Mr. Robert. Tentunya dunia ini akan damai dan tak ada perang dan ketakutan lagi. Tak ada tangis yang akhirnya merobek hati. Semua saling rangkul dan mendukung. Pasti hidup terasa indah. Aku pun berjalan meninggalkan nona itu dan berharap semoga usahanya tak ada yang sia-sia. Semoga jawaban yang selama ini dia cari bias didapatkan. Dan semoga ia baik-baik saja.
*SELESAI*

Ditulis Oleh : Unknown Hari: 12:34 AM Kategori:

0 comments: