“Dasar pelacur, cuiiiih…!!!!” seraya mulut pemuda itu meludah tepat di muka Marni. Sembari ia melempar selembar uang lima
puluh ribu. Marni hanya menangis, entah apa kesalahannya terhadap
pemuda itu. Berulang kali aku melihat kejadian seperti itu menimpa
Marni. Pernah juga seorang Om-om menampar pipinya lantaran Marni
mengeluh tak mau lagi menemaninya tidur. Dikarenakan Marni sedang dating
bulan. Berbagai penjelasan dia ucap, namun Om-om itu tak peduli dan
menyangka Marni mulai tidak berminat padanya.
Begitulah sehari-hari apa yang dikerjakan Marni. Ia berangkat dari desa meninggalkan bapak Ibunya yang sudah renta. Ia ke kota
dengan alasan mencari kerja yang layak untuk bisa memenuhi kebutuhan
Ibu, Bapak dan dua orang adiknya yang masih duduk di bangku sekolah. Aku
memang tak terlalu mengenal Marni secara dekat. Aku lebih senang
menatapnya tiap malam sambil meminum sebotol bir di meja lain. Sebelum
para tamu berduit datang dan membawa Marni pergi menghabiskan malam dan
merajut surga sampai shubuh.
Seperti
malam itu, badanku sudah remuk dan gontai. Beberapa botol minuman sudah
kuteguk dengan teman-temanku. Mataku menyala-nyala. Aku mendekati Marni
yang sedang dibujuk oleh seorang pemuda. Aku memperhatikan mereka dari
setengah jam tadi, Marni tampak enggan dan tak mau meladeni pemuda itu.
Namun pemuda itu terus membujum Marni, sesekali mengelus rambut Marni.
Namun apa daya, Marni hanya terdiam dan tak ingin melawan. Ia tak mau
ada keributan lagi. I amalu sudah terlalu sering membuat keributan
ditempat ini.
Aku
memegang tangan pemuda itu, Ia pun menyingkirkan tanganku dan melawan.
“ada apa bung?” Ia melotot menatapku. “Tolonglah, jangan ganggu Marni”
Aku mencoba memberi saran. “Apa urusannya dengan anda” Pemuda itu mulai
nyolot dan seakan tidak menerima apa yang kuperbuat padanya.
“Hei
Bung, bukankah Marni ini adalah pelacur, dan aku berhak merayunya, aku
punya banyak uang” Ia mulai berdiri dan membusungkan dadanya tepat
didepanku.
“Sekarang
saya minta anda pergi, Marni tak butuh uangmu” aku pun mulai berbicara
lantang. Sembari kukeluarkan sebuah pisau kecil mengancamnya. Pemuda itu
tampak gemetar. Para pengunjung
sekeliling yang memperhatikan kami mencoba melerai dan akhirnya semua
pun berhasil di amankan. Aku dipaksa keluar oleh security. Begitulah
kejadian malam itu. Aku paling tidak suka jika ada seorang yang
memaksakan kehendaknya. Bukankah pelacur adalah manusia yang juga punya
hak dan kebebasan untuk menolak atau pun menerima pelanggannya.
Namun disisi lain, aku bingung. Gerangan apa yang membuatku begitu peduli sama Marni. Bukankah Ia
hanya pelacur biasa, sama seperti si Siti atau Aminah yang biasa
menemaniku tiap malam. Menghamburkan uang yang kudapat dari malak di
pasar setiap hari. Bukankah Marni juga sudah tidur dengan ratusan pria,
bukankah Marni juga pernah tidur bersama abangku. Yah, abangku. Sosok
yang begitu kuat dan tak pernah putus asa. Sosok yang membuatku
terinspirasi. Demi memenuhi permintaan istrinya membeli sebuah rumah
sederhana. Ia nekad merampok di sebuah bank. Sebelum akhirnya timah
panas membuat nafasnya berhenti berhembus. Dua peluru menembus dadanya.
Aku kecewa melihatnya mayatnya yang dikirim kerumah. Aku kecewa dan
prihatin terhadap nasib istri dan anaknya. Begitulah kehidupan kami,
kehidupan yang keras dan penuh menantang bahaya.
Malam
ini, aku masih bertanya-tanya dalam hati sembari menatap wajah Marni.
Sudah dua hari perempuan ini ku ikat kaki dan tangannya di sebuah gudang
yang jauh dari warga. Ia kupenjarakan disini. Tapi tetap kuberi makan
seperlunya. Entah kenapa, aku mengikat dan membiarkan dia disini. Aku
tak mengerti. Apakah aku mencintainya? Apakah aku mencintainya sehingga
aku tak rela Ia dihujam dan diperlakukan tak senonoh oleh beberapa
pelanggannya. Ga mungkin aku jatuh cinta sama Marni. Aku terus
melawan-lawan dan menjawab sendiri pertanyaan itu.
Setiap
pagi aku meninggalkannya untuk mencari uang dan siangnya aku kembali
membawa sejumlah makanan dan minuman untuk kami makan bersama. Berulang
kali Ia mencoba melawan. Namun, Ia
hanya perempuan dan badannya tak setangguh lelaki. Ia hanya bisa
meronta-ronta dan sesekali meludahiku disaat aku mencoba menyuapkan
sesendok nasi ke mulutnya. Bahkan ketika aku mencoba mengganti
pakaiannya, Ia menendang dadaku. Dengan keras sekali sembari
mencaci-maki.
“Dasar penjahat, apa yang kamu mau?”
“Apa yang kamu ingin dariku, kenapa kau terus mengikatku disini”
“Apakah kau akan membiarkanku mati disini”
“Apa kamu seorang gila??”
Berkali-kali pertanyaan dan
cacian itu terlontar dari mulutnya. Seperti gerimis hujan yang tak
henti jatuh dan menetes dari genteng gudang yang bocor. Maklum, gudang
ini berumurlebih lima
puluhan tahun. Dan konon juga dijadikan tenpat pembantaian PKI saat
peristiwa tanggal 30 September. Gudang ini tak pernah terpakai.
Pemiliknya pun seperti enggan menjual atau menyewakannya. Pemiliknya
sibuk berbisnis tembakau di luar kota. Gudang ini biasanya kami gunakan ngumpul sambil
minum-minuman bersama beberapa teman. Saat hasil palak di pasar
memenuhi target. Kami menghamburkannya dengan berbotol-botol minuman dan
sesekali bermain judi hingga pagi. Uang hanya sesaat berdiam di kantong
dan akhirnya lenyap dalam waktu sesaat. Orang bilang, uang panas. Tidak
akan bisa bertahan lama.
“Kenapa kamu diam?”
“Jawab, apa kamu mulai bisu?”
“Apa kamu sudah tak mampu berkata apa-apa di depanku”
Marni
nampak mulai geram. Sesekali ia berteriak, menjerit sekeras apa yang Ia
bisa. Angina, gemuruh, badai mulai menerpa. Hujan besar terus
menyeruak. Langit gelap. Musim hujan terlalu akrab dengan desa ini.
Setiap tahun hujan lebih sering membasahi disbanding panas. Desa yang
dulu pernah membuat usaha tembakau bakap bangkrut dan menelan kerugian
beratus-ratus juta. Sebelum akhirnya bapak menggantung dirinya di dalam
gudang ini. Mayatnya ditemukan sudah kaku dan diperkirakan sudah
meninggal berminggu-minggu sebelum akhirnya ditemukan warga setempat.
Sejak saat itu, warga mulai takut dan menjauhi gudang ini.
Yah,
gudang ini memiliki berbagai kenangan. Banyak orang berkata tenpat
banyak setannya. Tapi aku tak pernah takut berdiam disini. Aku sering
menghabiskan waktu disini sendiri. Menikmati malam sepi dan jauh dari
hingar-bingar dan sorak sorai warga. Tempat ini sangat bersahabat
denganku. Tempat yang juga membuatku mendapat inspirasi penuh dalam
menulis. Aku lumayan gemar menulis. Menulis tentang hidup, mimpi, darah
dan berbagai ketidak keseimbangan dalam kehidupan.
Aku
masih saja terdiam menatap Marni. Bibir tipisnya tampak gemetar menahan
dingin. Matanya berair dan pipinya tampak layu. Aku membuka jaket yang
kupakai dan mengenakan dibadannya. Aku menyentuh keningnya. Sedikit
terasa panas dan seperti sakit akan menimpanya. Aku memeluknya erat, Ia
sama sekali tak menolak. Ia juga mendekapku. Merasakan kehangatan di
badanku.
Sudah
dua hari kami tidak makan apa-apa. Disebabkan hujan tak pernah
berhenti. Hujan badai yang besar. Disertai gemuruh angin. Sedangkan
pemukiman penduduk terlalu jauh. Orang-orang yang jualan di pasar enggan
untuk keluar berdagang. Mereka lebih memilih menyimpan barang
dagangannya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri selama hujan badai
melanda. Karena baisanya diperkirakan selama seminggu hujan tak akan
berhenti.
Marni
kelihatan lemah sekali. Aku membuka semua ikatan ditubuhnya. Tubuhnya
terbaring lemas. Sakit sudah tiga hari menderanya. Panas badannya
drastic meningkat kian hari. Sementara aku hanya menahan lapar. Tubuhku
kosong sehingga tenagaku pun habis terkuras. Aku juga hanya bisa
terbujur lemas disampingnya. Aku mendekatkan bibirku ditelinganya.
Membisikinya kata yang sangat lama ingin kuungkapkan. Kata yang juga
membuat bertindak senekad ini.
“Marni,
satu hal yang sangat ingin kukatakan padamu. Terlalu lama aku
memendamnya. Karena aku masih ragu, sebenarnya perasaan apa yang
kumiliki padamu. Aku ragu, apakah aku hanya mengagumi keindahan tubuhmu
yang biasa terbungkus dengan pakaian serba mini atau aku hanya menaruh
simpati padamu atas perlakuan kasar dari pemuda-pemuda yang mengaku
langgananmu. Aku bingung Marni, selama hidup aku pernah berucap takkan
pernah jatuh hati pada siapapun. Karena dunia terlanjur menjerumuskan
kami ke dalam hidup yang penuh dengan kekerasan dan kebencian. Hidup
yang sehari-hari hanya terisi dengan omongan kotor dan sesekali diwarnai
darah para musuh yang membangkang. Musuh, ya kami menyebutnya sebagai
musuh. Adalah orang-orang yang menentang dan tak mematuhi peraturan
kelompok kami. Orang-orang yang malas memberi kami uang. Orang yang
merasa kami adalah pencuri. Kami adalah buronan Marni, beberapa kasus di
desa ini. Si Udin terbunuh di dekat jembatan, Si Amang dipenggal
kepalanya shubuh-shubuh, bahkan Bu Maniah yang harus kehilangan suaminya
lantaran ia membangkang. Semua kami binasakan dengan bersih dan tanpa
cacat. Para polisi tak henti mengendus
langkah kami. Namun aku begitu yakin Marni, aku begitu tak punya rasa
takut. Aku santai saja menikmati hidup, berpoya-poya dan bahkan mengelar
pesta minum dan judi setiap malam. Ditemani wanita-wanita cantik yang
rela memberi kehormatannya hanya untuk selembar uang”.
Aku
terdiam sejenak. Kutatap Marni, matanya tak berkedip. Air matanya
menetes pelan. Ia menatap mataku. Ia seperti ingin tersenyum, berkata
dan mungkin ingin mencaciku dengan ribuan kata kasar. Entahlah, Entah
apa yang Ia ingin ungkap ditengan kesakitan yang menimpanya.
“Marni,
terlalu banyak penyesalan dan kesedihan yang harus ditangisi. Membuatku
enggan dan malas hanya untuk sekedar menitik air mata. Bagaimana
bapakku meninggal gantung diri saat aku masih berumur tujuh tahun.
Bagaimana abangku tertembak polisi di saat aku harus membutuhkan banyak
dana melanjutkan sekolahku selepas tamat di SMP. Aku enggan menangis.
Aku enggan menangisi hanya untuk sekedar menangisi hidup. Tapi lihat
malam ini Marni, air mataku menetes dengan derasnya. Lihatlah air mataku
yang sesekali jatuh ke pipimu. Hangat bukan?. Aku tak tau kenapa ia
sampai jatuh,aku tak tau kenapa aku harus membawa mu ke tempat ini dan
meniti berbagai penderitaan. Tanpa makan, tanpa minum. Mungkin kau akan
membunuhku, menyiapkan rencana untuk menghabisi nyawaku. Mungkin kau
akan mencincan-cincang tubuhku dan memberi kepada anjing-anjing diluar sana.
Terserah Marni, tapi taukah engkau. Aku hanya ingin melihatmu Marni,
aku ingin melihatmu lebih lama. Aku hanya ingin menatapmu sebagai orang
pertama tatkala aku terbangun. Maaf marni, jauh dikedalaman hatiku, aku
berucap, aku begitu mencintaimu. Aku begitu mencintai dan menyayangimu.
Meskipun aku tak pernah tau apa yang dinamakan cinta. Meskipun bapak
enggan membahas dan mengajariku arti cinta. Aku hanya bias meraba-raba
arti sebuah cinta, tatkala abangku harus meninggal demi memenuhi
keinginan istrinya. Mungkin itu arti cinta, atau tatkala kau tidur
dengan ratusan lelaki setiap malam. Entahlah, aku tak bias
mendefinisikannya. Tapi, aku sadar. Sejak pertama menatapmu, ada semacam
keinginan yang menarikkku untuk ingin kembali melihat senyummu. Ingin
mendengar suaramu dan bahkan mencium aroma tubuhmu yang sesekali
menerpaku saat kau berjalan dengan seorang pemuda melewatiku. Itulah
kenapa aku selalu menyempatkan diri duduk dan minum di tempat mu kerja.
Marni, aku mencintaimu”.
Marni meneteskan air mata lagi. Hujan tak pernah reda. Di luar sana,
jejak-jejak kaki mulai terdengar. Sebuah tembakan melesat di udara.
Tubuh Marni bergetar memelukku. Nampaknya polisi sudah mulai mengendus
tempat ini. Aku ingin mati disini.
0 comments:
Post a Comment