Serentak
tangannya mengepal rokok ditangan. Raut mukanya begitu kasar dan kian
geram. Andi, ya demikian nama pemuda itu. Pemuda yang sehari-harinya
sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta itu tampak
marah. Ia kecewa mendengar keputusan kekasihnya yang berniat pergi
meninggalkannya. Gadis itu bernama Ayuni. Gadis yang dua tahun terakhir
ini masih setia bersamanya. Dan hampir tidak ada masalah yang begitu
besar dalam hubungan mereka. Bahkan teman-teman dikampus menganggap
mereka adalah pasangan paling romantis. Bagaimana tidak, selama dua
tahun berpacaran, Andi sangat setia mengantar jemput gadis itu ke
kampus, dan mereka sangat romantis dalam keseharian. Selalu terlihat
senyum dan tawa dari pasangan ini. Sehingga teman-temanya menjadi iri
dan ingin seperti mereka.
Namun kali ini badai besar tampaknya menerpa jiwa Andi. Setelah membaca sebuah pesan kekasihnya di inbox handphone-nya. Pesan yang membuat Andi terdiam sejenak. Pesan itu berbunyi, “Andi,
terima kasih banyak untuk semua waktu dan pengorbananmu. Terima kasih
telah menemani selama ini. Tapi jalan kita terlalu jauh. Maaf, aku harus
pergi meninggalkanmu. Mohon mengerti, karena kelak Tuhan pasti mengirim
seorang yang jauh lebih baik menjadi jodohmu dan menemani hidupmu
selamnya…”. Andi tak berniat membalas pesan tersebut. Ia langsung meluncur ke rumah Ayuni kekasihnya.
Siang,
sekitar jam dua belas lebih, Andi sudah sampai didepan rumah Ayuni.
Jalanan sepi, kebanyakan orang lebih senang menghabiskan waktu waktu
dengan istirahat dikamar. Karena beberapa minggu terakhir ini cuaca
begitu panas dan menyebabkan orang malas bepergian dan keluar rumah.
Rumah Ayuni siang itu tampak lengang, tak ada seorangpun diluar. Andi
mengeluarkan HP dari kantong dan mencoba menghubungi nomer kekasihnya.
Alhasil, setelah beberapa kali ditelepon, nomer itu tak aktif. Andi
semakin bingung. Ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah itu.
Setelah beberapa kali diketuk, barulah seorang perempuan dengan sarung
muncul membuka pintu. Perempuan itu adalah Ibunda Ayuni.
“ Assalamu’alaikum Bu…” Andi mencoba memulai percakapan.
“Wa’alaikumsalam Nak…” Tampak suara Ibu itu kurang sehat.
Andi
tersenyum kecil dan mencium tangan Ibu Ayuni. Seperti biasa, Ibu
separuh tua itu mengusap kepala Andi dan bibirnya komat-kamit seperti
mendo’akan.
“Silahkan masuk Nak…” Ibu
itu tampak membuka pintu lebar-lebar dan masuk duluan ke rumah. Andi
pun mengikuti dan duduk di sebuah karpet yang memang sudah tersedia di
ruang tamu. Andi sedikit kelelahan, karena cuaca begitu panas dan juga
jadwalnya jam kuliah dari pagi hari. Ibu Ayuni masuk ke dapur. Dan
seseaat keluar dengan segelas air putih. Ia begitu hafal kalau Andi
nampaknya kehausan dan butuh segelas air.
“Silahkan diminum dulu Nak…!!! Suara seorang ibu yang begitu lembut sambil menyodorkan segelas air ke tangan Andi.
“Makasih Bu…” Balas
Andi sambil mengambil gelas dan meminumnya secukupnya. Ia kemudian
menghela nafas dan sepertinya bingung harus memulai percakapan dari
mana.
“Bu, Ayuni-nya ada…?”
dengan sedikit tersenyum, Andi langsung bertanya. Ibu separuh baya itu
hanya terdiam. Seakan ingin berkata, namun begitu berat sekali. Beberapa
saat Ia terdiam dengan air mata menggantung dimatanya. Tampak berat
sekali masalah menderanya. Tak seperti biasa, Ibu yang selalu ceria
dalam kesehariannya. Ibu yang selalu menenangkan hati Andi tatkala ia
ada masalah kecil dengan anaknya. Andi semakin bingung, ia juga terdiam
melihat sang Ibu dengan tatapan kosong. Setelah beberapa saat, Ia
kembali bertanya.
“Sebenarnya ada apa Bu?”
dengan wajah penasaran dan ingin tahu sebenarnya apa yang menimpa
kekasihnya sampai ia pergi meninggalkannya. Karena terakhir kali bersama
empat hari lalu hubungannnya sangat baik. Bahkan mereka sempat keluar
makan bakso bersama di warung bakso depan kampus, dan Ayuni tampak
bahagia malam itu.
Ibu itu mencoba tersenyum dan menjawab, “Tidak
ada apa-apa Nak, semua adalah jalan Tuhan dan Ibu yakin seberat apapun
masalah, kamu pasti bisa tegar dan ikhlas menerimanya”.
Kali
ini Andi menghela nafas panjang dan rintik-rintik hujan mulai menetes
dimatanya. Fikirannya berkecamuk dan hatinya begitu remuk. Ia masih tak
mengerti apa yang diucapkan Ibunda Ayuni. Ia menunggu Ibu Ayuni
mengucapkan sesuatu lagi. Perkataan yang mungkin bias membuatnya
menangis atau mungkin mengutuk takdirnya.
“Nak…” Ibunda Ayuni tampak melanjutkan ucapannya, “Ibu
tau, Kamu begitu sayang sama Ayuni. Kamu selalu ada buat Ayuni. Bahkan,
Ibu sendiri sangat sayang sama kamu Nak. Ibu sudah anggap kamu sebagai
anak sendiri. Kamu sedikitpun tidak pernah menyakiti Ayuni. Sedikitpun
kamu tidak pernah membuatnya kecewa. Ibu tau, karena apapun dan
kemanapun kalian pergi, Ayuni selalu cerita dan curhatnya kepada Ibu.
Jadi Ibu tau semuanya. Bagaimana kamu meninggikan Ayuni dihatimu.
Walaupun terkadang kamu sedikit agak kecewa dengan sikapnya Ayuni yang
agak sedikit manja dan suka kekanak-kanakan. Jadi, Ibu mohon, tolong
kamu maafkan semua kesalahan yang pernah Ia perbuat, karena bagaimanapun
Ia juga begitu menyayangimu. Ia begitu menjaga hubungannya dengan kamu.
Sekian banyak cowok yang Ibu lihat dating bertau kerumah. Sedikitpun Ia tak pernah memberi hati. Karena satu-satunya yang sangat Ia harapkan adalah kamu Nak”.
Air
mata mulai tak terbendung dari mata sang Ibu. Air mata yang begitu
dalam seperti musim penghujan yang datang ditengah kemarau. Air mata
seorang Ibu yang begitu sayang sama anaknya. Andi juga tak mampu
membendung air matanya ditengah penasaran apa sebenarnya yang dialami
kekasihnya. Apa sebenarnya yang terjadi, ia dihantui beribu pertanyaan.
Pertanyaaan yang seakan membuat jantungnya berhenti sejenak. Pertanyaan
yang seakan mengiris satu kepingan hatinya. Yah, betapa Ia begitu
menyayangi Ayuni. Ia sedikitpun tak pernah membuatnya sakit hati. Ia
selalu mengalah jika ada perdebatan kecil ditengah hubungan mereka.
Andi
bersandar sejenak dan menghela nafas panjang dan pandangannya tak henti
menatap mata seorang Ibu yang duduk tak jauh didepannya. Mata yang
sudah terbungkus dan digenangi air mata. Mata yang persis seperti dua
tahun lalu. Ketika Ibu Andi menangis sebelum menemui ajalnya. Ia begitu
melihat jelas Ibunya sendiri dalam mata Ibu Ayuni.
“Bu,
apapun yang terjadi kepada Ayuni, aku akan tetap menyayanginya.
Sedikitpun perasaan ku tak akan berubah. Tolong Bu, ceritakan sebenarnya
apa yang terjadi !”
Ibu
separuh baya itu menyeka air matanya dengan sebuah tisu. Ia nampak tak
kuat untuk memberi tahu Andi apa sebenarnya yang terjadi. Ia begitu
sadar hati Andi akan terpukul mendengar kenyataan ini. Tapi melihat
ketegaran dan bola mata yang begitu tajam dari pemuda itu, akhirnya Ibu
Ayuni mencoba menceritakan keadaan sebenarnya.
“Nak,
Ibu sebenarnya sangat berat menceritakan semua ini. Karena Ayuni juga
menitip pesan kepada Ibu untuk tidak menceritakanmu apa yang terjadi.
Tapi Ibu juga tak tega melihat kamu dilanda kebingungan seperti ini.
Begini Nak, tiga hari lalu. Tepatnya hari Selasa. Ketika Ayuni pergi
dengan pamannya. Mereka mengalami musibah dan…” perkataan Ibu itu
terhenti, Ia tak kuasa menahan air matanya yang mengalir deras dan
membentuk muara kesedihan di pipinya. Kulitnya yang sedikit keriput
seakan dibalut sejuta kesedihan. Begitupun dengan Andi, Ia nampak kaget mendengar ucapan sang Ibu.
“Astagfirullahalazim, terus dimana Ayuni sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?”
rentetan pernyaan secara spontan keluar dari bibir yang agak pucat itu.
Pertanyaan yang begitu lazim terucap disaat seseorang shock mendengar kabar mengharukan dari seorang yang Ia sayangi.
“Ayuni
sekarang berada di Rumah Sakit Nak, sudah tiga hari ini dia opname. Dia
mengalami koma selama dua hari, itu sebabnya Ia tak pernah
menghubungimu. Itu juga sebabnya kenapa handphen-nya tak pernah aktif.
Baru tadi pagi Ia sadarkan diri, dan mencoba memberi kabar kepadamu. Ia
sangat sedih dengan apa yang Ia alami. Pertama kali tersadar pun Ia tak
henti menyebut namamu sambik menangis. Yang sabar ya Nak”
Air
mata mengalir dari mata pemuda itu. Ia seakan tak mampu berkata
apa-apa. Ia mengingat apa yang dikatakan kekasihnya saat terakhir
bersamanya. Ayuni mengajaknya untuk menikah. Namun Ia tidak menjawab apapun, dikarenakan Ia masih kuliah dan belum mepunyai pekerjaan tetap.
“Lantas kenapa Ayuni harus berkata meninggalkanku Bu? Kenapa Ia harus berkata seperti itu?” Pertanyaan terucap lagi dari bibir pemuda itu.
“Nak,
kecelakaan siang itu hampir merenggut nyawanya. Syukur dia bias selamat
dan tersadar dari komanya. Namun, kenyataan pahit harus Ia terima Nak,
kakinya lumpuh karena tergilas mobil truk dalam kecelakaan itu. Salah
satu kakinya sudah tidak berfungsi. Dokter menyarankan amputasi untuk
menghindari penyebaran ke anggota tubuh yang lain. Kalau keluarga sudah
menyetujui, insyaAllah operasinya akan dilaksanakan dua hari lagi
setelah lebaran”
Tubuh
Andi lemas mendengar pernyataan itu. Seperti dihujam badai yang beitu
besar. Tubuhnya yang perkasa itu seakan roboh dan tak kuat menahan
terpaan. Matanya kosong, hambar dan tak berwarna. Gadis yang Ia sayangi
harus menerima kenyataan seperti ini. Gadis yang riang dan selalu
bercita-cita tinggi. Selepas mendengar penjelasan sang Ibu, Andi
langsung beranjak dan bergegas ke Rumah Sakit.
***
Sesampainya
di Rumah Sakit, tepatnya diruang IGD, Ia melihat tubuh Ayuni terbaring
tak berdaya. Ia langsung menggemgam erat tangan gadis itu dan mencium
keningnya.
“Kenapa
Ayuni? Kenapa harus seperti ini? Kenapa bukan aku saja yang
mengalaminya? Aku menyesal, seandainya hari itu aku yang mengantarmu
pergi, mungkin keadaan tak seperti ini. Maafkan Aku sayang, Aku penyebab
semuanya. Aku tak bias menjagamu. Padahal aku berjanji akan selalu
menjaga dan mewujudkan semua keinginanmu”. Sambil terisak-isak Ia
terus mendekap kekasihnya. Sementara Ayuni hanya terdiam kaku melihat
kekasihnya yang terus menangis dipelukannya. Hanya matanya yang
berkaca-kaca. Seakan menangis dengan jeritan yang dalam dihatinya.
Tangis yang dahulu pernah membawanya ke pelukan Andi. Tangis yang dulu
sempat membuatnya mengerti betapa hidup memang tak selalu seperti apa
yang kita inginkan.
Andi kembali melanjutkan perkataanya, “Ingatkan
sayang, terakdir kali kita bertemu. Kamu meminta aku untuk menikahimu.
Sekarang aku siap sayang, aku siap lahir bathin untuk menjadi pendamping
hidupmu. Lelaki yang akan selalu menjaga dan melindungi kehormatanmu.
Lelaki yang akan lebih dulu menangis sebelum kau menangis. Lelaki yang
akan selalu membuatmu tertawa dalam keadaan apapun. Apakah kau mau
menjadi istriku saying?” Andi menatap dalam-dalam mata kekasihnya.
Sementara Ayuni terdiam sesaat dan menatap mata Andi, dan dengan terbata-bata ia bericap, “Ia sayang, aku mau dan siap lahir bathin menjadi istrimu”.
Andi
tersenyum bahagia mendengar ucapan kekasihnya dan memeluknya dengan
segenap kasih saying yang dalam. Sementara sang Ibu yang dari tadi
berdiri dibelakang mereka tersenyum sambil menitikkan air matanya.
TAMAT
0 comments:
Post a Comment