NIkah? Modalnya Bukan Hanya “Cinta” Saja!!!


NIkah? Modalnya Bukan Hanya "Cinta" Saja!!!

Mungkin sudah kesekian kalinya ana nulis tentang cinta, nikah, dan sebangsanya. Dan ternyata ana tidak merasakan kebosanan. Jujur, jika cinta ingin diuraikan, takkan ada uraian yang mencakup setiap sisi cinta. Selalu dan selalu ada sisi lain yang takkan terdefinisikan. Sungguh, cinta adalah hal yang rumit.
Pagi itu, ketika dalam perjalanan ke kantor, ana teringat kata-kata di cover buku “Jalan Cinta Para Pejuang” karya Ustadz Salim A. Fillah. Kata-kata penuh motivasi, makna, dan hikmah. Kata-kata itu…
“Jika kita menghijrahkan cinta; dari kata benda menjadi kata kerja, maka tersusunlah kalimat peradaban dalam paragraf sejarah. Jika kita hijrahkan cinta; dari jatuh cinta menuju bangun cinta, maka cinta menjadi sebuah istana, tinggi menggapai surga.”
Kembali ana korek ingatan dan bayang-bayang tentang tulisan yang pernah ana tulis dan publish. Ya, terbersit kata nikah. Remang-remang teringat bahwa nikah itu bukan sekedar menyatukan hati dua insan, tapi lebih dari itu. Nikah menyatukan dua keluarga yang terekatkan dalam jalinan silaturahmi penuh keridhaan. Insya Allah itulah nikah secara sederhana.
Teringat kembali dasar pertimbangan untuk menikah, ada banyak option pertimbangan dalam mengambil keputusan menikah: cinta, kecocokan hati, karakter, perjodohan dari keluarga, dan masih banyak lagi. Pendapat umum bahwa jika dua insan telah jatuh cinta dan melangsungkan pernikahan pasti mereka bahagia. Rumus sederhana, tapi secara praktiknya tidak semudah itu. Tetap, sebagai muslim ingat dengan 4 kriteria pokoknya: cantik (secara fisik), harta, nasab (keturunan), dan akhlaq (diutamakan).
Hmmm…sungguh, nikah bukanlah perkara sepele. Nikah adalah ladang dakwah terindah. Ladang, tempat menebar benih kebarakahan. Ladang, tempat memaneh pahala dengan cara terindah. Sungguh, nikah itu sesuatu banget.
Kembali ana angkat kisah tentang Julaibib, semoga Allah memberikan keridhaan atas dirinya. Kisah yang indah, haru, penuh peluh juang, penuh linang bening air mata. Inilah ia Julaibib…
Julaibib, begitu dia biasa dipanggil. Kata ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya; kerdil. Julaibib. Nama yang tak biasa dan tak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orang tuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu, atau tak mau tahu tentang nasab Julaibib. Tak dikenal pula, termasuk suku apakah dia. Celakanya, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat sosial yang tak terampunkan.
Julaibib yang tersisih. Tampilan fisik dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak. Abu Barzah, seorang pimpinan Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang julaibib,”Jangan pernah biarkan Julaibib masuk di antara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!”
Demikianlah Julaibib.
Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmat-Nya, tak satu makhluq pun bisa menghalanginya. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di Shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. “Julaibib”, begitu lembut beliau memanggil,”Tidakkah engkau menikah?”
“Siapakah orangnya Ya Rasulallah”, kata Julaibib,”Yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”
Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau menikah?” Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.
Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pimpinan Anshar. “Aku ingin”, kata Rasulullah pada si empunya rumah,”Menikahkan puteri kalian.”
“Betapa indahnya dan betapa barakahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa Sang Nabi-lah calon menantunya.”Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram dari rumah kami.”
“Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah,”Kupinang puteri kalian untuk Julaibib.”
“Julaibib?” nyaris terpekik ayah sang gadis.
“Ya. Untuk Julaibib.”
“Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. “Saya harus meminta pertimbangan isteri saya tentang hal ini.”
“Dengan Julaibib?” isterinya berseru. “Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak, tak benasab, tak berkabilah, tak berpangkat, tak berharta? Demi Allah tidak. Tidak akan pernah puteri kita Menikah dengan Julaibib.”
Perdebatan itu tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata anggun. “Siapakah yang meminta?”
Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.
“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah-lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Sang gadis shalihah lalu membaca ayat ini;
“Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.s. Al Ahzaab [33]: 36)”
Dan Sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah,”Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah.”
Doa yang indah.
Iya, nikah bukanlah harus hanya berdasar cinta, lebih kepada ketaatan, taqwa, dan iman. Ketika cinta telah tertundukkan dalam jalan-Nya, cinta kepada insan bukanlah sesuatu yang pokok. Karena sebenarnya cinta itu lebih kepada membangun, cinta dalam kata kerja, cinta yang bekerja, memotivasi, menggairahkan. Itulah mengapa cinta harus tertundukkan, bukan menundukkan kita. Allahu a’lam.
(rewrite from: “Jalan Cinta Para Pejuang” by Salim A. Fillah)
by:Achmad Salim

Ditulis Oleh : Unknown Hari: 1:36 AM Kategori:

0 comments: