Entah sudah kali keberapa kupandangi luka di tanganku, tanpa kusadari
setetes air meleleh mengalir dipipiku. Ada rasa sesal dan kecewa,
kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar
yang sedang memutar scene demi scene. Membuat hati ini campur aduk dan
sedikit sesak.
6 bulan yang lalu,
Perlahan kubuka mataku, kudapati seorang lelaki tua sedang menggendong tubuh mungilku. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, tubuhku lemas seperti telah terjadi sesuatu,
“Perih” keluhku lirih, kurasakan perih ditanganku, tangispun tidak dapat aku bendung lagi.
"Sebentar lagi sampai, sudah tidur saja, iya bapak tahu perih." gumam lelaki itu.
Saat itu aku sedang berada di jalan, disebuah motor dan digendong
seorang lelaki tua. Perlahan aku menoleh kudapati dia nampak panik
dengan keadaanku, ku angkat tanganku yang penuh dengan darah, ku coba
meraih punggungnya, aku tahu dia pasti sangat mengkhawatirkanku.
Sesekali dia menoleh ke arahku dan mencoba meraih tanganku, aku
tersenyum kecil untuknya, meyakinkan dia aku tidak apa-apa.
“Sudah nak jangan menoleh terus, sebentar lagi sampai.” gumam lelaki itu lagi.
Setelah itu aku tak sadarkan diri, entahlah apa yang dia pikirkan. Kudengar suara panik disekitarku, tubuhku seperti melayang dan perlahan aku membuka mataku, syukurlah aku mendapatinya sedang menggendongku. Kali ini aku berada di sebuah ruangan, perlahan tubuhku direbahkan di sebuah tempat tidur, dia melepas helm yang masih melekat dikepalaku.
Aku masih tidak tahu apa yang terjadi, aku hanya terus menangis menahan rasa sakit di tubuhku. Dia terus memegang tanganku dan menagis,
“Maafkan aku, bagaimana aku mengatakan ini kepada orang tuamu.” Kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.
“Permisi mas.” nampak tiga orang perawat datang menghampiriku. Pertanyaan demi petanyaan meraka lontarkan kepadaku. Ternyata aku baru saja mengalami kecelakaan. Seorang tengah membersihkan lukaku, seorang lagi sibuk membersihkan darah yang terus mengalir dari bibirku.
“Ini giginya patah dan bibirnya harus di jahit ya mas” kata seorang perawat. Separah itukah aku, gumamku dalam hati. Aku masih tidak bisa berkata-kata, aku hanya melelehkan air mata, entah ini sudah lelehan yang keberapa aku tak tahu.
“Iya mbak” jawabnya. Dia nampak panik dan terus menangis. Perlahan dia mendekatiku, aku tidak tahan menahan sakit di tanganku, perawat lainnya baru saja mengobati lukaku, membubuhkan sesuatu entahlah apa dan itu sangat perih, dia memegang tanganku, menguatkan aku.
Perawat lainnya telah usai membersihkan darah di bibirku, ku dapati dia mengambil jarum dan benang. Seketika tubuhku menegang, tapi aku merasakan dekapan tangannya semakin kuat.
“Gak sakit kok mbak, diam ya tutup mata aja.” Awalnya aku tidak menutup mata, aku tidak merasakan sesuatu mungkin karena bibirku telah disuntik bius beberapa kali, aku hanya melihat jarum dan benang melintas namun pada akhirnya aku menutup mata karena aku tak sanggup melihatnya.
Semuanya telah selesai, aku mendapati diriku dengan luka di tangan yang aku rasa memang cukup parah, kakiku, bahuku, pinggulku. Aku tahu ada luka dibibirku namun aku tidak mau melihatnya, aku tidak mau ada cermin. Aku masih terus menangis, aku tidak bisa bicara, menggerakkan tanganku saja aku tidak mampu. Dia terus memegang tanganku, duduk disampingku dan mengatakan sesuatu. Aku tahu ada raut ketakutan diwajahnya, ada sebuah penyesalan dan entahlah aku sendiri tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat itu.
“Sudah nak jangan menoleh terus, sebentar lagi sampai.” gumam lelaki itu lagi.
Setelah itu aku tak sadarkan diri, entahlah apa yang dia pikirkan. Kudengar suara panik disekitarku, tubuhku seperti melayang dan perlahan aku membuka mataku, syukurlah aku mendapatinya sedang menggendongku. Kali ini aku berada di sebuah ruangan, perlahan tubuhku direbahkan di sebuah tempat tidur, dia melepas helm yang masih melekat dikepalaku.
Aku masih tidak tahu apa yang terjadi, aku hanya terus menangis menahan rasa sakit di tubuhku. Dia terus memegang tanganku dan menagis,
“Maafkan aku, bagaimana aku mengatakan ini kepada orang tuamu.” Kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.
“Permisi mas.” nampak tiga orang perawat datang menghampiriku. Pertanyaan demi petanyaan meraka lontarkan kepadaku. Ternyata aku baru saja mengalami kecelakaan. Seorang tengah membersihkan lukaku, seorang lagi sibuk membersihkan darah yang terus mengalir dari bibirku.
“Ini giginya patah dan bibirnya harus di jahit ya mas” kata seorang perawat. Separah itukah aku, gumamku dalam hati. Aku masih tidak bisa berkata-kata, aku hanya melelehkan air mata, entah ini sudah lelehan yang keberapa aku tak tahu.
“Iya mbak” jawabnya. Dia nampak panik dan terus menangis. Perlahan dia mendekatiku, aku tidak tahan menahan sakit di tanganku, perawat lainnya baru saja mengobati lukaku, membubuhkan sesuatu entahlah apa dan itu sangat perih, dia memegang tanganku, menguatkan aku.
Perawat lainnya telah usai membersihkan darah di bibirku, ku dapati dia mengambil jarum dan benang. Seketika tubuhku menegang, tapi aku merasakan dekapan tangannya semakin kuat.
“Gak sakit kok mbak, diam ya tutup mata aja.” Awalnya aku tidak menutup mata, aku tidak merasakan sesuatu mungkin karena bibirku telah disuntik bius beberapa kali, aku hanya melihat jarum dan benang melintas namun pada akhirnya aku menutup mata karena aku tak sanggup melihatnya.
Semuanya telah selesai, aku mendapati diriku dengan luka di tangan yang aku rasa memang cukup parah, kakiku, bahuku, pinggulku. Aku tahu ada luka dibibirku namun aku tidak mau melihatnya, aku tidak mau ada cermin. Aku masih terus menangis, aku tidak bisa bicara, menggerakkan tanganku saja aku tidak mampu. Dia terus memegang tanganku, duduk disampingku dan mengatakan sesuatu. Aku tahu ada raut ketakutan diwajahnya, ada sebuah penyesalan dan entahlah aku sendiri tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat itu.
“Maafkan aku, aku tau kamu sangat mencintaiku, aku akan selalu
menjagamu, aku janji aku tidak akan membuatmu terluka lagi, aku janji
aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Kata-kata itu aku yakin dia tulus
mengatakannya. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca namun dia memalingkan
wajahnya, mengusap air matanya lalu tersenyum kecil untukku. Aku tidak
tahu harus bagaimana, aku hanya menagis dan terus menangis, ruangan itu
menjadi saksi bisu cerita kami hari itu, menjadi saksi bisu janjinya
untukku.
Hari ini entah hari keberapa dia meninggalkanku dengan luka ini, luka abadi yang tidak akan pernah hilang dan akan selalu membekas entah sampai kapan. Ah mungkin dia sekarang sudah bahagia dengan wanita itu. Aku akan menghadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tindakan bodoh, sejauh apapun aku pergi, tidak akan pernah membantuku untuk melupakanmu, yang membantu hanyalah sikap menerima kenyataan bahwa sekarang aku telah kehilanganmu. Ya Tuhan bantu aku melupakannya.
PROFIL PENULIS
Nama : Yanuar Ayukusumaningtyas
Alamat : Jember
TTL : 23 Januari 1994
Pekerjaan : Mahasiswa
Facebook : Tyas Aiu
Twitter : @aiuhikari
Alamat : Jember
TTL : 23 Januari 1994
Pekerjaan : Mahasiswa
Facebook : Tyas Aiu
Twitter : @aiuhikari
0 comments:
Post a Comment