Kepada
lelaki yang selalu menghujaniku dengan segala perhatian di tiap
pesannya. Hari ini kuluangkan sedikit waktu menulis untukmu. Lewat tinta
yang mengalir dari hati. Aku berucap, terima kasih. Kau sudah memberi
warna indah dan meyakinkanku bahwa ada orang yang sungguh menyayangiku.
Bahwa ada orang yang masih peduli dan mengikuti setiap detik kisahku.
Bahwa ada seseorang yang paling tidak bisa menyamai kasih-sayang yang
kudapat dari seorang Bapak.
Kau
tuang segenap madu namun sekian kali kuberi perih. Kau tak henti
memberi semua apa yang kubutuh. Walau aku terkadang jenuh. Kau tukar
semua tawamu untukku dan senantiasa tersenyum padaku. Walau aku terdiam
dan terkadang jemu. Memandangmu kelu.
Ingatkah
kau, pertama kali bertemu. Aku yang mencoba menawarkan perkenalan.
Kuambil handphone-mu yang terdiam terlentang diatas meja kerjamu.
Kupahat namaku di dalam phonebook-nya dan kusimpan 12 digit nomerku.
Angka yang berbulan-bulan lamanya kau dekap dalam kepingan hatimu. Angka
yang tiap hari selalu kau pencet untuk menghubungiku berkali-kali.
Angka yang membuatmu sering menitip rindu pada bait-bait puisimu
tentangku. Angka yang kemudian menjadi luka terdalam disepanjang cerita
perasaanmu. Terkadang aku menyesal, kenapa harus bertemu ditanggal 8
Oktober itu. Kenapa kau harus menitip perasaan sebesar ini. Perasaan
berkabut seperti ombak besar yang setiap saat mencubit ujung jari
kakiku. Ombak nan biru yang sama sekali tak kutangkap indahnya. Yang
sama sekali tak mampu membuatku menitip satu pertanyaan saja.
Kenapa
harus aku?. Aku tak mau bertanya karena kutau kau pasti akan menjawab
seperti biasa. “Cinta datang dengan sendiri, menetes di sela-sela
rambut, keluar dari ujung jemari dan bermuara pada sebuah hati. Cinta
adalah perasaan tiba-tiba dan berkekuatan lebih cepat melebihi udara.
Cinta adalah senyum pagi hari setelah menghirup kopi dan memberi salam
pada kekasih tercinta. Cinta, ya cinta adalah kamu yang dengan melihatmu
sedetik saja aku akan tersenyum dan hatiku bergetar. Itulah cinta, maka
jangan pernah tanyakan lagi kenapa aku mencintaimu”.
Seperti
itulah jawabanmu, aku senang mendengarnya. Aku senang melihatmu
mengucapnya dan aku benci dengan hatiku yang tak bisa sedikitpun memberi
mu ruang hanya untuk sekedar berteduh atau mengeringkan bajumu selepas
hujan di ujung Nopember.
Kepada
lelaki yang sungguh-sungguh mencintaiku dengan hati. Telah kau
korbankan perasaan dan waktumu hanya untuk memikirkanku. Walau aku tak
pernah membuka hati sedetikpun memikirkanmu. Taukah kau, saat gerimis
dan hujan disini. Kau selalu datang menawarkan pelangi. Berwarna-warni,
namun tak mampu kulihat kebesaran hatimu. Kau selalu berkata, aku
mencintaimu dengan caraku sendiri. Cara yang indah dan membuatku jadi
perempuan seutuhnya. Perempuan yang bingung, dan tak mampu mencintaimu.
Perempuan yang dewasa namun memiliki hati yang sempit.
Berulang
kali, aku tegaskan padamu, jangan pernah berharap hanya kepada satu
orang saja. Sebab nantinya kau terluka dan menyesali. Namun kau pun
menjawab, “Bukankah cinta konsekuensinya adalah luka, dan bukankah luka
adalah proses kedewasaan. Aku tak pernah luka, aku tulus mencintaimu,
maka tatkala kebetulan kita berjumpa dan kau sedang merajut cerita
cinta, berbaring dipeluknya, maka aku mencoba tersenyum, menggaruk-garuk
kepala atau mungkin meniti malam sepi di ranjang dan bermain boneka”.
Begitulah, begitu ringan kau menafsirkan kekecewaanmu, namun aku tau
matamu tak mampu berbohong. Matamu berair jauh dikedalamannya. Walau
senyum kau tebar, ku tau kan
memendam luka dalam. Namun itulah kau, sebisa mungkin kau terlihat
tegar di depanku. Kau seperti tak pernah merasa sedih atau lemah.
Walaupun sesekali aku tau kau sering menangis dalam kamarmu. Tatkala
hujan enggan membawa wajahku atau disaat angin menerbangkannya jauh dari
penglihatanmu. Kau akan berteriak sekeras-kerasnya dalam hati dan akan
mengirim seratus pesan yang sama dan tak mampu kubalas. Karena aku pun
enggan terlalu jauh memberi harapan yang kelak bias menghancurkan dan
menenggelamkanmu ke laut yang terdalam.
Kepada
lelaki yang selalu memuji-muji dan membanggakanku disetiap bait
puisinya. Ya, puisi, kau memang terlalu sering berpuisi. Dan ku tau
setiap puisi itu sebagian besar adalah perasaanmu bahkan sesekali rasa
kesalmu terhadapku. Aku memang bukan pembaca yang baik. Aku memang tak
pernah sekalipun membahas bahkan menilai puisimu. Tapi secara tidak
langsung aku faham makna dan inti setiap puisimu. Ada satu puisi yang begitu membuatku sedikit terdiam dan memikirkanmu sejenak, kira-kira seperti ini penggalan baitnya :
Dia seperti malaikat, membelai dan menunggui pagimu
Menyeka air mata dan menenteramkan sakitmu, selaluJarum jam yang kupunya terbatas, meniti pada kesibukan
Untuk segala mimpi-mimpiku tanpa harus mengabaikanmu
Andai saja jarum jam yang kau beri bisa lebih, mungkin aku bisa
Paling tidak hanya untuk sekedar menyamai apa yang ia beri untukmu
Menyeka air mata dan menenteramkan sakitmu, selaluJarum jam yang kupunya terbatas, meniti pada kesibukan
Untuk segala mimpi-mimpiku tanpa harus mengabaikanmu
Andai saja jarum jam yang kau beri bisa lebih, mungkin aku bisa
Paling tidak hanya untuk sekedar menyamai apa yang ia beri untukmu
Aku
mengerti, ini kau buat disaat pertama kali kau melihatku sedang lelap
dalam peluknya, meniti sakit yang panjang dan kau berniat menjenguk.
Membawa sekantong buah yang kau bungkus dengan keikhlasan. Menyisakan
sedikit waktu dalam kesibukanmu. Meninggalkan pekerjaan yang seharusnya
menjadi kewajibanmu. Hanya untuk melihatku yang sedang terbaring kaku.
Namun apa yang kau dapat. Bulan yang kau damba sedang begitu dekat
dengan lelakinya. Namun kau begitu tegar, seakan yang kau temui hanya
aku. Tanpa peduli Ia masih disana menemaniku. Aku tau kau begitu
terpukul melihat kenyataan bahwa ada lelaki lain yang selalu dsisiku.
Namun lagi-lagi kau tersenyum.
Aku
menangis waktu itu, bukan tangis kepedihan karena sakit yang menderaku,
tapi aku menangis menyalahkan waktu. Karena ku yakin kau pun tau
sendiri bahwa dilema terbesar bagi seorang perempuan adalah disaat ia
bersama diantara dua orang lelaki. lelaki yang mencintainya dan lelaki
yang ia cintai. Dan malam itu kau pun berlalu dan merangkul tanganku.
Dingin sekali.
Kepada
lelaki yang pernah mengantarkan sebuah kue dihari ulang tahunku. Sebuah
kejutan di malam yang beku. Saat lampu dirumahku gelap dan menyisakan
embun dalam perjalananmu. Maaf, terlalu banyak pengorbanan yang tak bisa
kubalas. Entah dengan apa membalas. Karena hati tak mungkin bisa dibagi
atau pun diiris menjadi dua potongan kecil. Dan kusuapkan masing-masing
kepada kalian. Malam itu kau mengantar hatimu penuh. Terbungkus rapi
nan utuh. Kau tak pernah sadar dan tak pernah mau tau, ia telah berkuasa
penuh dihatiku. Kau tawarkan hatimu berulang kali. Namun, terlalu
sering kubuang hatimu percuma, bahkan kurobek dan kucampakkan di halaman
rumah. Dan terinjak-terinjak oleh kucing berkalung sekian bulan. Kucing
yang malam itu ikut menangis menatapmu. Namun kau begitu tulus, tak
letih, tak penat dan tak henti memberiku segenap rindu dan berbagai
pelajaran hidup. Walau kau tau, aku lama hidup bersamanya. Walau kau
tau, aku merajut cinta dengannya dan sering membuatmu terluka dan bahkan
terhina. Hanya ada kata maaf, karena hidup tak selalu dan tak selamanya
harus meraih apa yang kita angan-angankan. Terima kasih banyak.
TAMAT
0 comments:
Post a Comment