Setiap
senja, beberapa pedagang menjajakan dagangannya. Memakai rombong dan
sepeda. Langit kian mendung dan mentari enggan tersenyum. Menanti
gerimis disini, membuka kisah dulu. Saat kau tersenyum menikmati es krim
yang banyak menempel di bibir dan bahkan dipipimu. Membuatku tertawa
dan sesekali menjepret gambarmu dengan handphone. Dan kau berkata,
“Jangan foto, aku lagi jelek”. Namun aku tak peduli, tetap ku jepret
ribuan kali. “Kenapa sih difoto terus ?” Kamu nampak jengkel. Ku jawab
saja, “Aku senang memotretmu, aku senang melihat gambarmu dalam kondisi
apapun, karena kau tetap akan cantik dan senyummu selalu mampu membuatku
tersenyum tatkala sepi merajut hari-hariku”.
Namun senja sore ini beku, aku termenung sendiri melihat beberapa album foto di handphone-ku. Ada banyak fotomu disini. Dengan berbagai gaya
dan berbagai rupa. Aku hanya tersenyum sendiri sembari mengisap eskrim
yang lama membeku dan tak sempat kumakan sedari tadi. Es krim yang
selalu kau titip saat aku pulang kerja. Es krim yang menjadi awal
pertemuan kita dulu. Semuanya memang berawal dari es krim.
Aku
begitu ingat sekita satu tahun lalu, tepat dibangku ini kau lagi asyik
menikmati es krim. Dan aku pura-pura tak melihat. Kemudian aku sengaja
menabrak tanganmu. Es krim itu jatuh, mencair dan menghilang dibawah
kakimu. Aku sengaja melakukannya karena aku ingin mengenalmu. Karena
sudah tiga hari, setiap sore aku selalu melihatmu sendiri duduk dibangku
ini, memegang buku yang sama dan tangan kananmu memegang sebuah eskrim.
Matamu selalu tampak kosong, seakan titik-titik air mata menggantung
dan enggan untuk jatuh dan menetes di pipimu yang putih.
Betapa
marahnya kamu saat itu. Matamu melotot memandangku, “Buta ya mas? Belum
aku sempat menjawab, kamu langsung berkata, “Kalau jalan makanya
hati-hati, lihat depan, jangan asyik aja nelpon sambil jalan mundur
kayak badut. Nih lihat akibatnya, es krim ku jatuh, mau ganti pake apa,
ini es krim favorit ku lho, pedagangnya juga sudah pergi. Bisa saja saya
tuntut mas…!!!” Perkataannya bertubi-tubi, nampak marah sekali.
Sementara aku hanya tersenyum. Ia bengong melihatku tersenyum. Pipinya
memerah, “Lho, ni orang aneh, dimarahin kok malah tersenyum?”. Aku masih
tersenyum kecil, “Mbak nampak manis kalau marah, lihat pipi mbak, merah
merona, kalau saja saya seorang fotografer, saya pasti memotret mbak
dan akan saya promosikan jadi model internasional”. Ia sama sekali ga
peduli dengan leluconku. ‘Udah ah mas, ga lucu, sekarang saya mau
pulang, mood saya hilang ketemu sama mas”.
Ia
pun berlalu dengan sepeda mininya. Meninggalkanku yang masih ingin
lebih lama menatapnya. Yah, betapa senja telah mengantar senyumnya utuh
kepadaku. Menitip semua wajahnya disetiap cerita mimpiku. Membuatku
sering melamun dan senyum-senyum sendiri. Ia adalah bunga yang mekar dan
hadir dihidupku disaat kekasih yang lama hidup denganku meninggalkanku
dan menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih mapan dan lebih
segala-segalanya ketimbang aku. Aku menemukan sosoknya, sebuah sosok
yang mirip dan dengan senyum yang hampir sama. Hanya saja Ia jauh lebih
lincah dibanding pacarku yang dulu. Karena pacarku yang dulu sifatnya
keibu-ibuan dan sangat patuh terhadap perintah orang tuanya. Sampai
akhirnya Ia dijodohkan dengan anak kolega bapaknya yang sedang memimpin
sebuah perusahaan maju dan sukses.
Inilah
takdir. Begitulah kata seorang teman mencoba menghiburku disaat aku
terdiam sepi dalam kamar dan mulai malas beraktivitas. Tenang kawan,
hidup tak berakhir disini, masih banyak perempuan lain yang bias
menerima kita apa adanya. Jomblo bukanlah akhir segalanya. Kata-kata itu
membuatku sedikit membuka fikiran dan tak mau berlarut-larut dalam
kesedihan dan kekecewaan. Sejak itu aku mulai mencoba semangat untuk
bekerja dan mencari hal-hal baru, salah satunya memotret. Karena aku
yakin, waktu yang bisa merubah segalanya. Waktu pula yang bisa
menghilangkan bayangan mantan pacarku dan waktu jua yang kini
mempertemukanku dengan gadis itu.
Keesokan
harinya, senja masih sama seperti kemarin. Aku menyempatkan diri ke
taman itu. Memotret orang-orang yang ingin dipotret, memotret bunga yang
pantas dipotret, dan memotret senja yang masih beku dan mendung yang
mulai mengintip dari sela dedaunan. Dari balik lensa kameraku,
pandanganku tertuju pada gadis itu. Gadis kemarin yang sempat menitip
marah dan jengkelnya serta menghardikku dengan ribuan kata marah.
Bagaimana caranya mendekatinya lagi. Aku mulai berfikir dalam hati.
Kemudian aku berlari ke arah pedagang es krim. Aku putuskan membeli dua
buah es krim. Setelah mendapat es krim tersebut, aku mendekatinya.
Pandangannya sama sekali tak tertuju padaku. Ia asyik membaca buku yang
masih setia ia bawa. “Ehem…” sembari aku duduk disampingnya, “Kok cuek
mbak, aku bawain es krim lho, enak banget”. Ia sama sekali tak merespon.
“serius ne ga mau”. Sambil kulahap es krim di depannya. Ia menolehku,
bibirnya tampak menahan rasa ingin. “Ini ada satu lagi buat mbak,
itung-itung sebagai ganti es krim yang kemarin saya jatuhin”. Tak kuasa
menahan, Ia tersenyum dan mengambil es krim yang kutawarkan. “Makasih
ya…” Suaranya nampak lembut, sangat berbeda dari kemarin. Aku menatapnya
melahap es krim itu. Diam-diam aku mulai menaruh hati padanya.
Hari-hari
pun berlalu. Ribuan sore kami lalui di taman itu. Sesekali mengajaknya
mencicipi bakso, bahkan nonton. Ia begitu baik, dan sangat mengerti.
Kami pun merajut hubungan, hampir selama satu tahun, kami hanya menuai
tawa, bahagia dan sama sekali tak ada masalah dalam cerita kami. Ia
begitu hafal apa yang ku suka dan apa yang tak ku suka. Ia begitu
mengerti dan tak pernah memaksa keluar disaat aku harus menyelesaikan
beberapa tugas kantor. Aku simpulkan, aku bangga mengenalnya karena ia
selalu memberi tawa dan senyum disaat dunia memkasaku untuk mengeluh.
Dia adalah segalanya.
Namun
hanya satu tahun, sebelum semuanya berubah menjadi tangis yang
menyesakkan dadaku. Bahkan sampai sekarang, disaat aku duduk dibangku
ini. Memandang gambarnya di handphone-ku, aku sering menitikkan air
mata. Betapa aku merasa kehilangannya. Seakan seperti jiwaku setengah
telah dibawa olehnya.
Semua
berawal ketika ada sedikit yang mengganjal dihatiku. Melihat perubahan
di dalam dirinya. Betapa tidak, sebagai seorang pacar melihat kekasihnya
dalam kondisi seperti itu, aku merasa sedih. Bibirnya tampak pucat sore
itu, sepucat senja yang lupa mengantongi sisa-sisa sinar mentari.
Sepucat wajah Ibu yang terbaring lemas di pembaringan. Suaranya sangat
lemah dan langkahnya kian gontai. Berkali-kali aku menanyakan ada apa
sebenarnya. Sejuta kali aku anjurkan periksa ke dokter, Ia hanya
tersenyum dan berkata, “Cuma kecapean kok, ntar istirahat, tidur, pasti
semuanya membaik”. Ia selalu berusaha tegar sampai akhirnya Ia jatuh
terkapar di taman, rambutnya terlepas. Sejak itu aku tau kalau selama
ini Ia menggunakan rambut palsu. Kepalanya botak. Ya, botak. Selama ini
aku tak pernah membelai rambutnya. Karena memang aku bukan termasuk
orang yang romantis.
Tangisku
tak tertahankan menunggunya di ruang dokter. Sejak saat itu aku tau,
kalau Ia ternyata telah lama mengidap leukemia. Penyakit yang sebagian
besar membawa kepada kematian. Ia telah lama melakukan kemoterapi. Dan
tinggal menunggu detik-detiknya saja. Aku terdiam kaku mendengar
penjelasan dokter itu. Langkahku gontai, seperti tak menginjak tanah.
Kepalaku berat bukan main. Aku diam menangis dibalik tembok ruang rumah
sakit.
Semua
waktuku sejak itu kuberi untuknya. Sebisa mungkin aku menemaninya
melihat bunga-bunga yang layu di halaman rumah sakit, menyuapi tatkala
ia malas makan atau membawakannya film-film kartun yag Ia suka di laptop
dan nonton bersama dikamar rumah sakit.. “Kenapa tak pernah bercanda
Mas?” Tiba-tiba ia berkata demikian. “Mas sedih ya?”. Aku hanya terdiam
melihat ketegaran hatinya menunggu maut. “Jangan sedih Mas, bukankah
hidup adalah menunggu mati. Hidup hanya sementara dan maksimalkan untuk
membuat orang yang kita sayang bisa tersenyum. Jikalau kita sudah bisa
berbagi kepada orang lain. Apalagi yang kita takuti jika maut itu datang
menjemput.” Air mataku jatuh mengalir deras dan menetes di bahunya. Aku
rangkul dengan sangat erat. “Bukannya mas sedih, hanya saja mas tak tau
bagaimana mengarungi hidup ini. Jika kamu harus pergi”. “Mas takut.
Takut sekali. Pada siapa harus membagi senyum dan tangis ini. Pada siapa
harus berbagi es krim. Siapa yang akan menemani mas duduk dibangku
taman setiap senja. Siapa yang akan mas becandain.” Aku tak mampu
melanjutkan ucapanku. Nafasnya serasa tak berhembus. Kulitnya dingin.
Dan bibirnya masih tampak mengurai senyum. Pukulan yang sangat besar
dalam hidupku. Ia pergi selama-lamanya meninggalkanku dalam kesendirian.
Menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukanku.
Air mataku jatuh. Kumatikan handphone-ku setelah lama menatap photonya. Maghrib sudah mau menjelang. Taman
sudah sepi dan aku masih duduk dalam hening. Mengenangnya. Merasakan
cintanya seperti menikmati bisikan angin sepoi yang berhembus di
telinga. Bunga-bunga di taman ini mulai mekar dan selalu menitip
wajahnya pada setiap langkahku. Aku bahagia mengenalmu dan belajar
banyak darimu. Belajar tentang hakikat hidup yang sebenarnya dan
menghargai kehidupan. Membuat sesuatu yang berarti selama kita mampu.
Aku harus pulang. Setiap hari selalu kusempatkan ke taman ini. Hanya
untuk mengenang dan bukan untuk menyesali.
TAMAT
0 comments:
Post a Comment