CERPEN* AKU TERLALU PANIK *


OLEH: Nursubekhi

 
 “Aku terlalu panik....Aku kehilangan jejak jantung hati dan buah hatiku...” Arman masih saja duduk bersandar di salah satu pilar di lantai bawah mall terbesar di Bandung itu. Matanya liar menyusuri setiap lorong mall, dari lantai bawah sampai lantai atas, dari ujung kanan sampai ujung kiri. Sesaat matanya terpaku pada serombongan gadis berseragam SMA yang baru

masuk sambil bercanda ria. Ingatannya kembali ke masa beberapa tahun yang lalu ketika dia begitu terpana melihat kecantikan seorang gadis kelas 2 SMA yang setiap hari berjalan melewati kantin kampusnya, sebuah perguruan tinggi swasta di bilangan Bandung selatan tempat dia belajar.

Sebagai anak kampung Arman hanya bisa mengagumi kecantikan gadis itu dari jauh, maklum di salah satu desa di Sukabumi tempat dia dilahirkan sampai dengan lulus tidak pernah ditemui gadis yang menarik perhatiannya. Seminggu terakhir dia selalu mengintip dari balik jendela kantin, dengan bermodalkan segelas es teh manis dia bakalan betah berjam-jam menunggu gadis yang dikaguminya. “Hayooo!!!ngintip lagi ya?”. Arman kaget bukan main, ternyata dibelakang dia muncul gadis yang dia kagumi selama ini. “Kenalkan saya Arleta!”, katanya sambil menyodorkan tangannya .

Ragu-ragu Amran menyambut uluran tangan Arleta , “Saya Arman”. Sejak saat itu mereka sering ngobrol tentang banyak hal. Arman lebih banyak mendengarkan karena dia merasa bagai pungguk merindukan bulan seandainya harus berharap banyak dari Arleta walaupun dalam hati ada rasa suka. Sampai suatu saat senior di kampus, Intan, mendekati dia,“Man, Leta jatuh hati tuh sama kamu!”.

Arman kaget, tapi jawaban Intan menjelaskan semuanya,“ Aku kakak satu-satunya Arleta, dia adikku satu-satunya, aku tau kamu dari dulu, dibalik penampilanmu yang mirip preman , ada pribadi yang layak dicintai dan aku rela kamu jadian sama Leta”. Memang secara penampilan Arman berambut gondrong, selalu pake kaos oblong, celana jeans yang dipakai juga bolong-bolong. Seringkali dia terlihat menghisap sebatang rokok sambil nongkrong. Tapi itulah cara dia menyesuaikan dengan kawan-kawan di kostnya yang umumnya anak punk. Jatidiri sebagai anak desa rupanya masih membuat Arman minder sehingga setelah jadian dengan Arleta dia lebih memilih backstreet.

Sebaliknya, bagi Arleta, Arman sudah jadi cinta matinya. Tak seharipun lewat tanpa berdua dengan kekasihnya itu. Dia rela kehujanan di atas sepeda motor Honda Grand butut milik Arman, dia ikhlas makan jagung bakar di pinggir jalan yang penting berduaan. Sementara Intan, sang kakak, yang sejak semula memang mendukung hubungan mereka hanya tersenyum memperhatikan dari jauh. Dia ikut bahagia melihat adiknya bahagia. Hal ini membuat Arman ada keberanian untuk berterus terang kepada orang tua Arleta. Rumah mewah bagai istana cukup membuat kecut nyali Arman. Langkah kaki Arman untuk cabut dari halaman rumah itu tertahan oleh tarikan tangan Arleta yang memaksa dia untuk masuk ke ruangan yang penuh dengan pernak-pernik kristal berbagai ukuran, sebuah patung macan dengan taring yang cukup menyeramkan duduk dengan anggunnya di tengah ruang tamu, dari foto keluarga terlihat bahwa ayah Arleta seorang perwira tinggi angkatan darat. “ Maa, Paa, sini aku kenalin sama pacarku.....” Arleta masuk ke dalam sambil teriak-teriak.

Arman menunggu... Tiba-tiba keluar seorang wanita dengan penampilan cukup elegan,tapi langkahnya terhenti setelah melihat Arman. Dia perhatikan Arman sejenak, lalu bergegas dia kembali masuk. Tidak berapa lama, seorang bapak keluar dan mendekat, dengan cepat Arman berdiri mengulurkan tangan, tapi tidak bersambut. Arman salah tingkah melihat si bapak hanya diam, melihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki seolah-olah ingin menelanjangi sampai kedalam hatinya.“ Berani sekali kamu mendekati anak saya!...sekali-kali tidak akan saya ijinkan anak saya berhubungan dengan potongan berandalan seperti kamu. Sekarang juga kamu pergi dan jangan temui anak saya lagi!”. Arman gemetar, bukannya sambutan hangat tapi justru makian yang di dapat. “Apakah ini karena penampilan luar saya?”, Arman mencoba menerka-nerka dalam hati.“Keluar!”, Arman tersadar, dengan penuh ketakutan dan langkah tergesa-gesa Arman segera pergi, sayup-sayup dia masih sempat mendengar tangisan Arleta “Ada apa ini Pa, Ma? kenapa Mas Arman diusir? Apa salah dia?”. Berhari-hari Arleta bagai orang gila, setiap hari dia mencari Arman di seluruh pelosok kampus, matanya yang sembab menunjukkan bahwa dia terlalu sering menangis. Arman seolah menghilang dari peredaran, tidak ada yang bisa menunjukkan jalan, dicari di tempat kost pun tidak ditemukan.

Arman sadar akan hal itu, hatinya sebenarnya perih harus menyembunyikan diri di salah satu ruangan di kampus itu, sementara di luar sana ada seorang gadis yang sangat dia cintai harus mengabaikan perasaan malu berlari kesana kemari sambil bertanya kepada setiap orang yang dia temui tentang keberadaan Arman. Tapi Arman berfikir bahwa itu mungkin jalan yang terbaik, percuma dia tetap menjalin hubungan yang sama sekali tidak direstui oleh orang tua kekasihnya.

Tamparan keras mendarat di pipi Arman ketika dia dengan sembunyi-sembunyi keluar lewat gerbang belakang kampus. “ Ada apa ini mbak? Apa salah saya?”. Arman tidak marah, dia hanya kaget, dia tahu kenapa Intan tiba-tiba muncul dan menamparnya.“Kamu mau membunuh Leta? Kamu mau membuat adikku satu-satunya gila?” Intan tidak mampu melanjutkan kata-katanya, dia terduduk dan menangis sejadi-jadinya. “ Aku juga sakit mbak, Arleta seperti dewi dalam hidupku, dia itu yang membuat hari-hari berjalan dengan indah. Senyumnya membuat masalah apapun yang aku hadapi seolah sirna.

Keikhlasan dia untuk selalu bersama dalam suka dan duka selama ini membuat aku merasa berharga. Dan tiba-tiba aku harus meninggalkan semua itu? Mbak paham apa yang aku rasakan?”. Arman duduk disebelah Intan sambil matanya menerawang.” Apa yang harus aku lakukan Mbak?”. “ Man, temui Arleta, entah apa yang akan kamu katakan tapi buat dia kembali jadi adikku yang dulu lagi, sekarang aku benar-benar kehilangan sosok Arleta yang ceria” Pelukan Arleta benar-benar membuat Arman tidak bisa bernapas. “ Sudah Arleta, malu sama orang, kita di tengah jalan nih”. Arleta memang terlihat kurus, badannya tidak terawat, rambutnya acak-acakan, mukanya pucat, kantung matanya menghitam. Tapi senyum Arleta menghapus semuanya“ Dia benar-benar dewiku” batin Arman. Betapapun kondisi dia, selalu mampu membuat Arman kembali bergairah menjalani hidup. Suara merdunya yang selama ini hilang dan sempat membuat hatinya gersang sekarang mampu menumbuhkan kesejukan.

Untuk sejenak Arman merasa bahagia. Namun jauh di lubuk hatinya dia masih tidak belum tau apa yang harus dibicarakan dengan Arleta. Rasanya sangat kejam seandinya kebahagiaan mereka saat itu harus kembali hancur karena pembahasan masalah penolakan orang tua Arleta atas hubungan mereka. Arman hanya membiarkan kepala pujaan hatinya itu bersandar pasrah di dadanya. Masing-masing terdiam, masing-masing ingin meresapi kebahagiaan yang sedah mereka rasakan. Sunyi. Sepi. “ Man, aku hamil aja ya!”. Arman terlonjak, benar-benar tidak menyangka muncul kata-kata itu. Begitu lama saling diam ternyata muncul kata-kata yang bahkan tidak pernah terlintas dalam angan-angan Arman yang paling liar sekalipun. “ Man, kalo aku hamil Papa dan Mama pasti mengijinkan kita menikah, aku tidak mau kehilangan kamu Man”. Arman selanjutnya hanya terdiam, “ Apakah benar begitu?” Arman membatin. “ Aku mencintai Arleta sepenuh hatiku, seminggu tidak ketemu Arleta serasa seabad, tidak mendengar suaranya membuatku seperti terlempar di padang yang gersang.

Sejujurnya aku mengharapkan menikah dengannya. Tapi apakah harus dengan jalan seperti ini? tapi...., apakah ada cara lain?”. Hari-hari bahagia kembali mengiringi dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Rona bahagia Arman, keceriaan Arleta, tak pelak membuat hati Intan bergembira. Sampai kemudian didapati Arleta positif hamil. Hal yang memang ditunggu-tunggu oleh sepasang kekasih itu.

Mereka berharap ini bisa menjadi pengikat hubungan mereka berdua. Mereka berharap orang tua Arleta akan luluh mendengar buah hatinya akan mempersembahkan cucu yang tentunya akan melengkapi keceriaan di dalam rumah mereka yang belum pernah terdengar celotehan bayi mungil, buah hati Arleta dan Arman. “Apaaa...!!!” , suara Papa Arleta begitu menggelegar, tidak pernah sekalipun Arleta mendengar papanya berteriak sekeras itu. Apalagi ditambah suara mamanya yang diiringi tangisan mempertanyakan perihal kehamilannya itu. “ Siapa yang berbuat Nak!, katakan sama Mama, siapa yang bertanggung jawab terhadap jabang bayi yang kamu kandung?”. Arleta sudah menduga akan seperti ini, dia sudah siap mental untuk dimarahi papa dan mamanya. Sementara itu, Intan diam-diam mengintip apa yang terjadi di ruang keluarga.

Dia tidak berani keluar, cukup mencuri dengar dari pintu kamarnya. Dia baru bisa menebak-nebak kira-kira siapa yang jadi ayah dari bayi yang dikandung Arleta. “ Arman Pa, Ma....”, jawab Arleta lirih. Saat itu Intan tidak tahu harus sedih karena adiknya hamil di luar nikah, atau tersenyum karena ternyata yang ada dalam kandungan Arleta adalah buah dari Arman. Intan tersenyum “ Hi hi...pasti Papa dan Mama minta Arman untuk bertanggung jawab”. “ Anak berandalan itu ternyata memang bajingan! Ma, bawa Leta ke kamar, kunci dari luar, jangan sekali-kali dia boleh keluar. Ambil hapenya, cabut telepon yang ada di kamarnya. Arman bajingan!”.

Papa Arleta langsung keluar rumah sambil menggebrak pintu, sementara tangisan Arleta pecah sampai kemudian hilang setelah masuk ke dalam kamar. Mama Arleta tergopoh-gopoh membawa hp, telepon kamar dan kunci kamar kemudian bergabung dengan suaminya di beranda rumah. Mendiskusikan sesuatu. Sudah beberapa hari Arman sama sekali tidak mendapat kabar tentang Arleta.

Tapi dari Intan dia jadi tahu bahwa kekasihnya disekap di kamarnya. Akhirnya demi mempertanggung jawabkan apa yang telah dia perbuat, Arman dengan penuh percaya diri berangkat ke rumah Arleta.Suasana sore itu agak gerimis, mobil dinas ayah Arleta sudah berada di garasi. Bel sudah dipencet tapi belum ada tanda-tanda orang tua Arleta akan keluar dari rumah. Tiba-tiba pintu terbuka dan sesaat sebuah bogem mentah mendarat tepat di muka Arman, dia terjungkal beberapa meter ke belakang, belum sempat dia bangun sebuah tendangan mendarat di perutnya, dia mengaduh, tapi masih ada tenaga untuk berdiri. Tapi terlambat, ayah Arleta sudah mengokang pistolnya dan mengacungkannya ke arah Arman. Pandangan mata Arman masih kabur, darah segar mengalir deras dari hidungnya, tapi dia sudah menyadari bahwa nyawanya terancam setelah ujung laras pistol yang dingin menekan pelipisnya. “ Om, saya mau bertanggung jawab Om, saya mau menikahi Arleta Om” ratap Arman, sakit di perut dan kepalanya memang sudah tidak tertahankan lagi. “ Jangan banyak bicara anak sialan, sekarang juga kamu harus menghilang dari Bandung, atau besok tinggal jasadmu saja yang tergeletak tak bernyawa”. “Kriiiiing!!” Entah suara darimana membuat Intan terbangun tiba-tiba dari tidur lelapnya.

Dia lihat Mamanya sudah berdiri di dekat pintu kamar sambil membawa jam weker kesayangan Papa, padahal sekilas dia lihat jam dinding baru menunjukkan pukul lima pagi. “ Intan, cepat berkemas, bawa pakaian secukupnya, bawa semua buku kuliah yang kamu punya” , tanpa ekspresi Mama meninggalkan kamar anak sulungnya itu.

Kalau sudah begini Intan tidak berani membantah, dia tahu tabiat mamanya. “Ini pertanda buruk!”, tebak dia. segera berkemas dan masuk mobil yang sedari tadi sudah parkir di depan gerbang keluar rumah. Dilihat adiknya yang dia sayangi meringkuk di dekat jendela, tatapan matanya kosong ke arah Intan, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. “Kita mau kemana Pa?”, tanya Intan memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti perjalanan yang tidak jelas kemana arahnya. Tanpa menoleh ke arah Intan, Papanya hanya menjawab “ Kalian lebih baik pindah sekolah daripada tetap di Bandung tapi bikin malu keluarga!”. Intan tidak berani membantah atau melawan kata-kata papanya. Bulan berlalu.....Intan dan Arleta tidak ada kabar berita....Arman melarikan diri tepat ke Yogya pada malam dia diancam akan dibunuh oleh papa Arleta. Berulang kali kerinduan terhadap jantung hati dan buah hatinya harus dipendam karena tidak tahu harus menghubungi siapa. Telpon rumah Arleta sudah diganti setelah beberapa kali dia mencoba menghubungi.

Orang tua Arleta memang sengaja menutup semua akses sehingga Arman sama sekali putus komunikasi dengan Arleta maupun Intan. Arman sudah putus asa dan sedikit demi sedikit dia mampu keluar dari bayang-bayang masa lalu. Pekerjaan sekarang sebagai tourist guide sudah cukup menghidupinya dan menata hidup yang lebih baik. “ Arman ya?”, sesaat Arman kaget mendengar suara itu. Tapi kata-kata itu sepertinya tidak asing bagi dia. “Mbak Intan? Apa kabar Mbak?Dalam rangka apa mbak ke Candi Prambanan? Sama siapa mbak? selama ini kemana? Arleta mana? Anak saya gimana?....”. Rentetan pertanyaan itu sepertinya tidak butuh jawaban lagi ketika Intan menunjukkan sebuah foto bayi laki-laki mungil yang sedang tersenyum riang.

Tanpa sadar air mata Arman mengalir, air mata keharuan, air mata kebahagiaan, air mata kerinduan. Senyum bayi itu mengingatkannya pada keceriaan Arleta, melihat sorot matanya yang tajam Arman yakin bahwa bagian itu mewakili dirinya. Mudah-mudahan Arleta masih ingat dengan tatapan mata itu. “ Namanya anakmu Yoda, Arleta dinikahkan oleh Papa dengan salah satu anggota Papa”. Panitia study tour kampus Intan sudah memaksa mereka naik bis, entah karena terlalu bahagianya hingga Arman lupa menanyakan di mana mereka sekarang. Arman menyesal, tapi potret buah hatinya sudah berada digenggamannya, hari-hari selanjutnya membuat Arman bertekad untuk dapat melihat buah hatinya secara langsung. Sudah seminggu Arman kembali ke Bandung, dengan alasan ngambil cuti ke Sukabumi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk memata-matai rumah Arleta. Tapi hasilnya masih nihil.
“ Kalaupun Arleta sudah tidak di rumah ini, aku yakin dia masih di sekitaran Bandung, bukannya suaminya sekarang adalah anak buah papanya?” demikian perasaan Arman menebak. Sore itu Arman mengajak kawan-kawan yang dulu satu kost dengan dia jalan-jalan ke mall tempat biasa mereka mangkal. Mall yang lumayan besar. Walaupun hanya sekedar duduk-duduk di lantai dasar mall sambil ngobrol cukup membuat Arman kembali mengingat masa-masa dulu. Waktu kuliah di kota itu. “Sudah cukup banyak perubahan” batin Arman sambil menyusuri lantai demi lantai. Tiba-tiba, deggg.....jantung Arman terasa berhenti. Dilantai tiga dia lihat seorang perempuan yang tidak mungkin dia tidak mengenalinya. Rambut panjang, langkah yang gemulai, walaupun badannya sedikit kurus tapi dia yakin bahwa itu Arleta, sosok yang dia cari selama ini. Kaca mata hitam yang dia kenakan tetap tidak membuat Arman lupa parasnya yang cantik.

Sementara beberapa langkah di belakangnya, seorang laki-laki dengan potongan yang tegap, rambut cepak,menggendong bayi mengikuti kemana perginya Arleta. “ Pasti suaminya, karena yang digendong itu Yoda, anakku yang aku cari “ Arman mengguman sambil bangkit. Sambil berlari naik ke atas, mata Arman tidak sekalipun lepas dari sosok Arleta yang masih tidak sadar bahwa ada ayah dari Yoda di tempat yang sama. Arman sudah berada di lantai yang sama, dia mengambil arah dari depan Arleta. Semakin dekat...dan semakin dekat. Jarak mereka hanya tinggal beberapa meter. Arman terdiam di tempat tidak sanggup berkata apa-apa. Sementara Arleta juga ikut terdiam, sepertinya dia kaget ada seseorang yang tiba-tiba berhenti tepat dihadapannya, perlahan-lahan dia lepas kaca mata hitamnya. Nampak jelas matanya sudah berkaca-kaca, bahkan beberapa butir air matanya mulai menetes deras membasahi pipi. Bibirnya bergetar, seakan kerinduan yang selama ini begitu menyesakkan dadanya akan meledak saat itu juga. “ Arman?....” terdengar lemah di telinga Arman tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa Arleta juga memiliki kerinduan yang sama. Arman perlahan mendekat, mengulurkan tangannya, demikian juga Arleta. “ Ada apa Ma?” suasana itu terobek oleh kata-kata suami Arleta yang melihat ada yang aneh dengan istrinya. Sepertinya kehadiran Arman di tempat itu tidak begitu diperhatikannya. Arman panik, segera saja dia melanjutkan langkahnya, cepat-cepat menjauh dari mereka. “ Nggak apa-apa Mas, mata saya kelilipan”. Itulah suara Arleta yang terakhir kali terdengar oleh Arman. Setelah merasa sudah cukup aman, Arman kembali balik kanan untuk bergerak menuju lokasi Arleta dan suaminya.

Tapi suasana mall sangat ramai, berkali-kali Arman harus berdesak-desakan untuk mendapatkan jalan sampai didapati Arleta dan suami serta anaknya sudah tidak ada lagi di tempat semula. Seperti kesetanan Arman berlari ke sana kemari, matanya liar mencari dari lantai bawah sampai lantai paling atas namun jantung hati dan buah hatinya tidak di dapati. Tapi dia terus mencari dan mencari. Berjam-jam Arman mencari, berlari dari lantai bawah ke atas, kembali lagi, keringat yang membasahi tubuhnya tidak dihiraukan. Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa mereka masih berada di mall. Arman hanya bisa terduduk di lantai bawah mall. Kecapekan. Menyesal. Sedih. Aku terlalu panik....Aku kehilangan jejak jantung hati dan buah hatiku...”

Ditulis Oleh : Unknown Hari: 5:20 AM Kategori:

0 comments: