Sapardi Djoko Damono adalah seorang penyair, budyawan, guru besar ilmu susastra, dan pujangga Indonesia terkemuka. Dia dikenal sebagai penyair dengan berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana dan bernas sehingga beberapa di antaranya sangat populer. Penyair yang juga guru besar Universitas Indonesia ini dilahirkan di Surakarta, Jawa tengah, 20 Maret 1940, sebagai anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Tempat tinggal orang tua Sapardi Djoko Damono berada di kampung Ngadijayan, tempat tinggal Pangeran Hadiwijaya, seorang Pangeran dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan sangat berdekatan dengan kampung para sastrawan besar lainnya, seperti W.S. Rendra, B. Sutiman, Bakdi Soemanto, dan Sugiarta Sriwibawa. Namun, semasa anak-anak mereka tidak saling mengenal satu sama lain walaupun jarak rumah mereka kurang lebih hanya 500 meter.
Sapardi bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Kraton
“Kasatriyan” tempat bergaul dirinya dengan para putra pangeran Kasunanan
Surakarta Hadiningrat. Sementara itu, di rumah Sapardi menikmati
kehidupan sebagai anak kampung dengan menghabiskan masa kecilnya bermain
benthik, gobaksodor, dhelikan, jamuran, cari belut di sawah-sawah, main
jailangkung, adu jangkrik, main kelereng, main layang-layang, dan
bal-balan di gang sempit atau di Alun-alun Selatan Surakarta. Suasana
perjuangan revolusi fisik yang berlangsung hingga tahun 1949, yang
kadang-kadang (bahkan sering) terdengar rentetan senjata api, pemboman
oleh pesawat terbang Belanda, dan dar-dor di malam hari oleh pejuang
kita, seperti tidak mempengaruhi keasyikan bermain masa kanak-kanak
Sapardi.
Selain bermain dengan berbagai permainan masa kanak-kanak yang khas pada
waktu itu, Sapardi juga suka mengunjungi beberapa persewaan buku yang
semasa itu banyak terdapat di kotanya. Melalui tempat persewaan buku itu
Sapardi mulai mengenal dunia rekaan yang diotulis oleh Karl May, Sutomo
Djauhar Arifin, William Saroyan, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar,
J.E. Tatengkeng, Amir Hamzah, Mochtar Libis, dan lainnya. Sapardi juga
menyenangi komik yang ketika itu banyak diciptakan R.A. Kosasih. Bahkan,
bersama adiknya Sapardi pernah “mengusahakan” persewaan komik bagi
anak-anak di kampung halamannya. Masa kanak-kanak yang menyenangkan
dirasakan Sapardi begitu lama sekali dan tidak akan pernah selesai.
Masa anak-anak dan masa muda remaja Sapardi dihabiskan di Surakarta.
Setelah lulus dari SD Kraton Kasatriyan (1952), dia melanjutkan ke SMP
Negeri 2 Surakarta (lulus tahun 1955) dan SMA Negeri 2 Surakarta (lulus
tahun 1958). Namun, semasa duduk di bangku kelas dua SMA (1957) mendadak
rumah warisan keluarganya dijual dan keluarganya pindah ke pinggir kota
di sebelah utara, di sebuah desa yang pada waktu itu belum ada listrik
dan suasana desanya diwarnai dengan rumpun bambu, kicau burung, bunga
sepatu, air kali, dan bedhidhing kalau musim kamarau tiba. Pada masa itu
dia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah dan
surat kabar nasional. Sajak pertama yang ditulis Sapardi dimuat di
ruangan kebudayaan Pos Minggu, Semarang, pada tahun 1957. Sejak itu,
sajak-sajak Sapardi kemudian muncul di ruangan kebudayaan berbagai
majalah dan surat kabar nasional dan daerah, seperti Merdeka (Jakarta),
Mimbar Indonesia (Jakarta), Konfrontrasi (Jakarta), Budaya (Yogyakarta),
Indonesia (Jakarta), Basis (Yogyakarta), Budaya Jaya (Jakarta), Gelora
(Surabaya), Sastra (Jakarta), Kompas (Jakarta), dan Horison (Jakarta).
Kesukaannya menulis berkembang saat dia menempuh kuliah di Jurusan
Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa, Sapardi terlibat berbagai
kegiatan kesenian, seperti main musik, main drama, siaran sastra di
radio, menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia,
membaca puisi, dan diskusi sastra. Setelah lulus dari UGM Sapardi
cepat-cepat menikah dengan Wardiningsih, adik kelasnya, dan bekerja
sebagai dosen di IKIP Malang Cabang Madiun (1964—1968), beberapa
perguruan tinggi di Solo, dan pindah ke Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro Semarang (1969—1974). Pada akhir tahun 1960-an Sapardi sempat
belajar ilmu dasar humaniora di Hawaii, Amerika Serikat. Sejak tahun
1974 dia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya)
Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun sebagai guru besar.
Sapardi pernah menjadi pembantu dekan, naik menjabat dekan, dan ketua
program pascasarjana di FIB-UI, serta menjadi guru besar ilmu susastra.
Sapardi juga pernah menjadi redaktur pada majalah sastra Horison
(1974—1993), redaktur majalah Basis (Yogyakarta), membantu majalah Kalam
(Jakarta), country editor untuk Tenggara (jurnal sastra Asia Tenggara
yang terbit di Kuala Lumpur, Malaysia), dan correspondent untuk
Indonesia Circle (jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental
and African Studies, University of London. Sapardi bersama Subagio
Sastrowardojo, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, dan John H. McGlynn
mendirikan Yayasan Lontar yang terutama bergerak di bidang penerbitan
terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa Inggris. Bersama rekan-rekannya
di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Sapardi juga mendirikan
Yayasan Puisi dan menerbitkan jurnal Puisi. Selama tiga periode
(1987—1997) Sapardi Djoko Damono duduk sebagai Ketua Himpunan
Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI).
Karya-karya Sapardi Djoko Damono telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, termasuk bahasa daerah. Sampai sekarang telah ada delapan lebih
kumpulan puisinya yang diterbitkan. Dia tidak saja menulis puisi, tetapi
juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis
sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya,
seperti “Aku Ingin” (sering kali dituliskan bait pertama sebagai
undangan perkawinan), “Hujan Bulan Juni”, “Pada Suatu Hari Nanti”,
“Akulah si Telaga”, dan “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”.
Kepopuleran puisi-puisi Sapardi itu sebagian disebabkan musikalisasi
terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan
Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun
2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya Sapardi.
Berikut adalah karya-karya Sapardi Djoko Damono, baik berupa kumpulan
puisi, beberapa esei, kumpulan cerpen, terjemahan, maupun buku karya
ilmiah lainnya, antara lain: (1) Duka-Mu Abadi (Bandung, 1969, cetak
ulang oleh Pustaka Jaya, 1975), (2) Lelaki Tua dan Laut (1973;
terjemahan karya Ernest Hemingway), (3) Mata Pisau (Yayasan Puisi
Indonesia, 1974), (4) Akuarium (Yayasan Puisi Indonesia, 1974; keduanya
kemuian diterbitkan ulang menjadi Mata Pisau oleh Balai Pustaka, 1982),
(5) Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George
Seferis), (6) Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan), (7) Lirik Klasik
Parsi (1977; terjemahan), (8) Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas
(1978, Pusat Bahasa), (9) Novel Indonesia Sebelum Perang (1979, Pusat
Bahasa), (10) Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya),
(11) Perahu Kertas (1983, Balai Pustaka), (12) Sastra Indonesia Modern:
Beberapa Catatan (1983, Gramedia), (13) Sihir Hujan (1984; mendapat
penghargaan Puisi Putera II di Malaysia), (14) Water Color Poems (1986;
translated by J.H. McGlynn), (15) Suddenly The Night: The Poetry of
Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn, Yayasan Lontar),
(16) Afrika yang Resah (1988; terjemahan), (17) Bilang Begini,
Maksudnya Begitu (1990), (18) Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak
dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F:
Brissenden dan David Broks, Yayasan Obor), (19) Hujan Bulan Juni (1994,
Grasindo), (20) Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling), (21)
Arloji (1998), (22) Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999, Pustaka
Firdaus), (23) Sihir Rendra: Permainan Makna (1999, Pustaka Firdaus),
(24) Ayat-ayat Api (2000, Pustaka Firdaus), (25) Priyayi Abangan (2000,
Bentang Budaya), (26) Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen), (27)
Mata Jendela (2002), (28) Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002),
(29) Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen), (30) Nona Koelit
Koetjing: Antologi Cerita Pendek Indonesia Periode Awal: 1870—1910
(2005; salah seorang tim penyusun), (31) Mantra Orang Jawa (2005;
puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia), dan (32)
Kolam (2009; kumpulan puisi). Masih banyak karya Sapardi Djoko Damono
yang lain belum kami catat dalam laporan penelitian ini.
Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin
Rumi ke dalam bahasa Indonesia. Musikalisasi puisi karya Sapardi dimulai
pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu program Pusat
Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia,
dalam upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Saat itulah
tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Agus Arya Dipayana dan Hujan Bulan
Juni oleh H. Umar Muslim. Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki
Dharmawan dan menjadi bagian dari Soundtrack film “Cinta dalam Sepotong
Roti" (1991) garapan Garin Nugroho, dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Beberapa tahun kemudian lahirlah album Hujan Bulan Juni (1990) yang
seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono.
Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu merupakan salah satu dari sejumlah
penyanyi lain, adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Album Hujan Dalam Komposisi menyusul dirilis pada tahun 1996 dari
komunitas yang sama. Sebagai tindak lanjut atas banyaknya permintaan,
album Gadis Kecil (2006) diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri
dari Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, dilanjutkan oleh album Becoming
Dew (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu. Ananda Sukarlan pada Tahun
Baru 2008 juga mengadakan konser kantata Ars Amatoria yang berisi
interpretasinya atas puisi-puisi Sapardi serta karya beberapa penyair
lain.
Pada tahun 1986, tiga buah esai dan sejumlah sajak Sapardi diterjemahkan
dan diterbitkan di Jepang sebagai salah satu penerbitan sastra dunia.
Sajak-sajak yang lainnya diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Belanda,
Cina, Jepang, Perancis, Urdu, Hindi, Jerman, dan Arab. Sejak tahun 1970
Sapardi sering diundang seminar dan membaca puisi di luar negeri di
beberapa negara, seperti di Amerika, Eropa, Asia, dan Australia. Atas
karyanya di bidang tulis-menulis itu Sapardi Djoko Damono banyak
menerima penghargaan, antara lain (1) Cultural Award (1978) dari
Australia, (2) Anugerah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, (3) Mataram
Award (1985) dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, (4) SEA Write Award
(1986) dari Thailand, (5) Anugerah Seni (1990) dari Pemerintah R.I., (6)
Kalyana Kretya (1996) dari Menristek R.I., (7) Habbie Center (2001),
dan (8) Penghargaan Achmad Bakrie (2003). Selain itu, Sapardi juga
menjadi konsultan tetap Pusat Bahasa dan Majelis Sastra Asia Tenggara
(Mastera).
SUMBER
SUMBER
0 comments:
Post a Comment