Cerpen Dilema Duka



Ketika kicau merdu dan senandung siul burung-burung menyemarakkan simfoni pagi, Rin membuka matanya perlahan. Sejenak, keremangan masih mentabiri  lensa matanya saat ia menatap langit-langit kamar. Rin bergerak,  bangun dan duduk di sisi ranjang hangatnya. Gadis kecil itu memandang sekeliling kamarnya.Tak berapa lama kemudian, suara kaca yang membentur lantai terdengar keras.Teriakan dan jeritan seorang peneror bahkan mengiringi pagi harinya yang indah.
Rin menutup kedua telinganya kuat-kuat. Ia tak mau lagi mendengar apa pun. Ia tidak mau mengotori pagi harinya dengan sesuatu yang buruk. Perlahan, amat perlahan, setetes bening air matanya bergulir di pipinya. Wajahnya ia benamkan dalam kedua telapak tangannya yang lemah. Ia tak sanggup hidup dengan banyak masalah. Ia tak kuat hidup dalam lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju kegilaan.
*
     Siang itu matahari bersinar terik. Sepasang kaki kecil berjalan lambat-lambat di antara jalanan sepi. Rin menendang bongkahan-bongkahan kecil batu yang bersisian dengan bergenggam-genggam pasir di jalan. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan dan rumah.
“Hei.”
Rin terdiam.Seseorang menghalangi bayangannya.
“Tidak banyak yang ingin kukatakan padamu,”
Rin mendongak dan ia mendapati seorang gadis berambut panjang dengan wajah sayu berdiri di depannya. Matanya merah dan sembab.Sisa air matanya mengering di antara kulit pipinya yang putih.Rin mengenal gadis itu sebagai Kiva.
“Kenapa?” air mata Kiva menggenang. “Kenapa kamu harus ada di dunia ini?!”
Mata Rin membulat. Hatinya berdegup kencang. Ia dapat merasakan aura marah dan sedih datang dari jeritan hati gadis itu. Ia dapat meraba perasaan yang muncul dari gadis itu. Emosi yang semakin hari semakin bertambah karena suatu hal yang berkaitan dengan dirinya.
Secepat air mata Kiva mengalir, secepat itu pula waktu berlalu. Mereka berhadapan tanpa berbicara satu sama lain.
“Pergi.”
Rin menatap lawan bicaranya tanpa ekspresi.
“Enyahlah dari hidup kami. Lenyaplah dari duniaku, ibu, dan juga ayahku!” jeritan Kiva menggema di lorong-lorong kecil hati Rin. Gadis itu lalu berlari meninggalkan Rin penuh amarah yang membara. Rin terduduk lemas seketika di atas tempatnya berpijak. Hidup ini… bukan kemauannya. Bukan ia yang meminta jalan hidup seperti ini. Bukan ia, tapi Tuhan yang memberikannya.
Rin terisak di antara deru dan debu jalanan yang bercampur menjadi satu. Tetesan bening meleleh, merayapi sudut wajahnya. Selama ini, hanya satu penyesalan terbesar yang ia miliki. Penyesalan yang takkan pernah bisa tergantikan apapun, karena dirinya terlahir dalam lingkuppermasalahan besar.
*
Bukankah Tuhan yang menggariskan semua ini?
Bukankah Tuhan yang mengizinkanku terlahir di kondisi pahit  ini?
Bukankah Tuhan yang memberiku nyawa meski dalam rundungan sesal?
Bukankah Tuhan yang menuliskan takdir ini untuk kita semua?
Bukankah Tuhan yang telah menjatuhkan pilihan?

     Rin menutup buku hariannya. Ia menjatuhkan kepalanya dalam dua kepalan tangan yang kecil. Memoar panjang terpatri di dalam satu inci otaknya. Hatinya rapuh dan mendekam di salah satu sisi dirinya yang menghilang.Saat matanya menutup, ingatannya kembali ke semua hal yang membuatnya ingin mati. Ingatan yang ingin ia buang, namun justru tinggal dan menari dalam setiap detik hidupnya.
Rin anak perempuan biasa.Terlahir dari rahim seorang ibu dan hidup dengan kasih sayang orang tua yang utuh.Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Semula, Rin mengira ia hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi, justru dirinyalah sang senjata perusak keharmonisan keluarga. Ia hidup dalam sebuah situasi yang terlarang. Ayahnya bukanlah seorang ayah biasa, melainkan seorang pria yang telah berkeluarga. Saat itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya. Keluarganya tidak sempurna.Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang.Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Rin. Tetangga-tetangga yang seharusnya menjadi teman justru berbalik menjauhi.Sahabat-sahabat ayah dan ibu Rin memusuhi keluarganya.
Orang-orang hanya tahu keluarga Rin adalah keluarga yang berlumur dosa. Mereka hanya bisa mencemooh dan mencaci-maki apa yang ada di pikiran mereka tentang keluarganya. Tetapi, apakah mereka tahu perasaan orang yang mereka anggap parasit keluarga? Apakah mereka mengerti?
Rin mendengus. Tentu saja tidak. Mereka hanya tahu bahwa mereka memiliki keluarga bahagia.Mereka hanya tahu bahwa hidup mereka sempurna.Tapi mereka tidak mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang yang mereka cemooh.
Rin telah mengalaminya. Hidup dalam  derasnya  caci-maki dan cemoohan dengki. Mereka tahu bukan Rin yang menginginkan kehidupan seperti ini, tetapi mereka tetap menganiaya mentalnya. Mereka tidak mau mengakui bahwa Rin bukanlah biang keladi dari cerainya ayah dengan istri pertamanya.
Ibunya dicap sebagai wanita perebut suami orang.Ibunya dianggap wanita yang tak punya harga diri.Semua itu karena kelahirannya.Bernafasnya Rin justru membawa masalah besar, bukannya anugerah yang terindah seperti yang diinginkan banyak orang.Dirinya hanya parasit, yang tak pantas hidup karena menyusahkan orang lain.
Rin membenturkan kepala ke meja belajarnya yang masih baru. Air matanya tercecer di mana-mana.Wajahnya kusut, matanya sayu dan sembab.Rin sudah tak kuat lagi menghadapi semuanya.
Sebelum dirinya lahir, ia tahu ibunya sudah berusaha membunuh ia yang saat itu masih ada dalam rahimnya. Segala cara, tradisional hingga modern telah dicoba, namun Tuhan menegaskan bahwa Rin akan tetap hidup, ditandai dengan lahirnya ia pada suatu malam. Malam yang kejam, kelam dan suram untuk ibu dan ayahnya.Kehadirannya telah menghancurkan sejuta harapan di pundak ayah dan ibunya.
Tak ada yang mau mengakui dirinya sebagai bagian dari keluarga ayah atau ibunya. Tak ada yang berani menyebutnya dengan nama keluarga. Rin tahu apa alasannya. Karena ia tak pantas hidup, tak pantas berdiri bangga seraya mengenalkan keluarganya kepada dunia.
Istri pertama ayah Rin adalah sahabat dekat ibu Rin. Sahabat dekat yang saling mengaitkan janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, beliau shock berat. Wanita malang itu mendapat dua pukulan dahsyat untuk hati yang sebelumnya masih tertata rapi bersama kepingan cinta untuk keluarga dan sahabat-sahabatnya. Suami yang ia cintai berpaling darinya, dan sahabat yang paling ia percayai mengkhianatinya dalam waktu yang sama.
Anak ayah Rin dari istri pertamanya pun tak percaya. Anak perempuan yang usianya terpaut lima tahun dengan Rin nyaris pingsan saat mendapat kebenarannya dari mulut ayahnya langsung. Ayahnya yang secara jujur mengungkapkan kejujuran di depan ibunya dan dirinya sendiri. Anak yang Rin kenal sebagai Kiva. Ia  peneror yang hampir setiap hari mengganggu Rind an keluarganya dengan berbagai cara yang ia sebut balas dendam. Terlalu banyak kejutan yang diberikan gadis itu untuk Rin dan ibunya. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah hingga lemparan api untuk rumahnya.
Awalnya Rin tidak percaya rumor yang beredar,  mengenai keluarganya. Akan tetapi, mau tak mau ia dipaksa menerima fakta tersebut ketika dirinya tak sengaja mendengar pembicaraan kedua orangtuanya. Fakta yang membuatnya nyaris mati berdiri.
“Rin?”
Lamunan Rin terhenti. Gadis kecil itu tetap diam, memandang kosong pemandangan di depannya yang terlapisi kaca jendela.
“Rin? Sayang, kamu ada di dalam, kan?”
Panggilan itu tak membuat Rin beranjak dari posisi yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari balik pintu.
“Rin, buka pintunya, sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”
Rin menghembuskan nafasnya di balik kedua telapak tangannya yang mungil. Ia berpikir sejenak. Pindah.Ya, pindah. Ia, ayah, dan ibunya akan segera pindah ke wilayah yang jauh dari tempatnya sekarang. Bukan hanya jauh, tapi juga berbeda pulau.Cukup untuk mengisolasi diri dari kecaman masa lalu. Tapi bukan itu yang ia mau. Pindah rumah hanyalah bentuk pelarian diri. Sembunyi dari masalah besar yang selalu menghantui. Memang benar, raganya takkan teraniaya lagi karena dampak dari masalah tersebut. Namun, jiwa dan pikirannya telah menyatu dengan frustasi berkepanjangan yang diderita Rin selama ini.  Ia haus akan pengakuan bahwa ia ada dan hidup dalam keluarga ayah dan ibunya. Ia ingin dihargai dan diakui keberadaannya. Ia ingin hidup dalam damai, bukan sebaliknya.
Rin menatap bergulung-gulung awan seraya memikirkan Kiva. Gadis itu ingin ia lenyap. Gadis itu ingin ia enyah. Gadis itu ingin kehidupan sempurna kembali kepadanya. Dan Rin tahu, apa arti dari semua itu.
*
     Ibu Rin mengetuk pintu kamar putrinya dengan putus asa.Anak pertama sekaligus anak terakhirnya. Buah hatinya yang ia cintai.
“Ada apa?” Ayah Rin menghampiri istrinya yang terlihat bingung di depan kamar putri mereka semata wayang. Istrinya menatap ayah Rin cemas dan menggeleng.
“Aku tahu Rin ada di dalam.Suara nafasnya terdengar.Tapi kenapa dia tidak mau membuka pintunya?”
Ayah Rin manggut-manggut mendengar penuturan istrinya.Ia lalu memandang pintu kamar bercat cokelat tua itu dan mengetuknya.
“Rin, Ayah tahu kamu di dalam. Tolong bukakan pintunya. Ayah dan ibu ingin bicara denganmu,” ucap ayah Rin lembut. Ayah dan ibu Rin menunggu terbukanya pintu kamar Rin selama beberapa menit, namun hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Rin bereaksi di dalam kamar.
“Rin? Kamu baik-baik saja, sayang?” ibu Rint panik seraya menggedor-gedor pintu kamar Rin. Ayahnya mulai  mendobrak keras pintu kamar bercat cokelat kayu itu. Pada dobrakan yang ketiga, barulah keadaan yang tercipta,  di kamar Rin terlihat.
Ibu Rin menekap mulutnya terkejut. Ia sungguh tidak dapat memercayai penglihatannya. Apa yang ia lihat hanyalah fatamorgana semata.
“Rin!” Ayahnya mengguncang-guncangkan kedua bahu yang terkulai lemas di atas meja belajarnya. Tak ada yang terluka pada fisiknya, meski sebuah gunting tergenggam di tangan kanannya.
“Rin… Ada apa dengan Rin, Yah?” tanya ibu Rin takut-takut. Ia dapat merasakan gelombang tanpa kehidupan terpancar dari tubuh putrinya. Ia dapat mencerna arti dari pemandangan di depannya.
Ayah Rin termangu. Ia seorang dokter, tapi ia tak bisa menerapkan ilmu tingginya untuk putrinya. Ia merasakan matanya pedih dan basah. Anak perempuannya menjadi korban karena kesalahan yang telah ia perbuat.
Ibu Rin menangis sejadi-jadinya. Putri satu-satunya sudah tak bernafas lagi. Rin telah pergi, bersama dengan segala kepekatan hati dan segenap frustasi yang telah merenggut kebahagiaannya.
*
     Rin memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang terlontar dari ayah dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu cepat.
Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya. Namun, saat ia menutup mata dan menguatkan diri atas segala resiko perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya itu hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil mati. Namun rupanya cahaya itu pula yang mengangkat jiwanya dari raganya.
Tuhan memanggilnya dari dunia di saat yang tepat. Rin tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik. Tak ada lagi parasit yang hinggap di sisi ayah dan ibunya. Tak ada lagi selongsong peluru yang menjadi pembunuh keharmonisan keluarganya. Dan inilah yang diinginkan semua orang.
Rin tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema bebas dan damai berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan hidup dalam kedamaian yang ia rindukan.
Rin menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang mengalir di sekujur tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari tubuh Rin, menuntun gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan membawanya menuju keabadian.
*

Saffanah Nur Fadhila, kelahiran Subang 5 Juni 1997. Ia siswi SMPN 2 Bandar Lampung

Ditulis Oleh : Unknown Hari: 4:18 AM Kategori:

0 comments: