Oleh Trijoto
Mestinya hari ini aku sudah mati andaikan aku tidak mendapatkan koran bekas ini. Kulit dagingku sudah mencair, menyatu dengan tanah. Awal kematianku ditandai dengan detak jantungku berhenti. Napas tersengal, tertahan, dan badanku bergetar. Kemudian, tubuhku mendingin. Bermula dari bagian telinga sebelum dingin itu menyelingkup ke sekujur tubuh. Darah berubah bentuk, menjadi asam, diikuti tenggorokan menegang mengerut. Saat itu aku disebut menghadapi sakaratul maut. Perlahan otakku mulai kehabisan supply oksigen. Dalam keadaan seperti itu kematian bener-benar telah menjemputku. Hari ini sudah melewat hari yang ketiga puluh dari rencana kematian itu. Mestinya sekarang ini tidak ada yang tersisa sedikit pun dari tubuhku. Kecuali tumpukan tulang-belulang yang sudah terpisah dari sendi-sendinya.
Setelah kematianku, sehari-hari, setiap waktu tentu namaku terus diperbincangkan banyak orang. Seluruh perbuatanku menjadi bahan pembicaraan mereka. Segala macam kejelekanku ramai dipergunjingkan. Kelakuan burukku dari ujung rambut hingga pucuk kuku menjadi cemoohan habis-habisan. Sembari orang-orang itu heboh membicarakan semua kebobrokanku, mereka menyambut kematianku dengan penuh suka cita. Oleh karena, orang-orang itu merasa telah bebas dari perbuatan jahatku.
Setulus hati, seikhlas niatku aku tidak mengingkari tabiatku! Aku tidak pula menutup-nutupi kelakuan burukku. Kuakui dan kusadari namaku termasyur karena perbuatan jahat. Di mata orang-orang yang benci kepadaku aku adalah pencuri dan penjahat besar. Aku pulalah mantan orang terpidana nomor satu. Terpidana yang paling banyak berurusan dengan aparat. Mantan terpidana yang paling banyak memenuhi daftar pencarian orang dan yang pernah membuat marah serta benci banyak orang. Itulah aku!
Bila aku benar-benar mati hari itu, pasti semua orang akan senang. Mereka merasa lebih aman dan hidupnya lebih tentram. Tidak hanya orang-orang yang pernah menjadi korban kejahatanku, tetapi juga mereka yang tidak senang denganku. Dengan kematianku hari itu tentu tidak ada orang yang berduka, kecuali Ibu yang melahirkan aku.
Suatu hari dalam rencana kematianku, kata-kata pamit pemberangkatan jenazahku pun sudah kusiapkan. Kata pamit itu kutulis, kusampaikan, dan kurekam sendiri. Menjelang keberangkatan pemakaman jenazahku, rekaman kata-kata pamitku itu tinggal diputar. Dengan cara begitu, kematianku tidak terlalu merepotkan orang lain. Barangkali apa yang aku lakukan ini dianggap aneh karena tidak biasa dilakukan orang. Memang yang aneh-aneh itulah tidak banyak dipahami orang.
Permasalahan sebenarnya mengapa aku menyampaikan sendiri kata-kata pamit dan permohonan maafku langsung lewat rekaman? Bukan semata-mata karena alasan merepotkan orang lain. Tetapi karena aku ingin menebus dosa-dosa, kesalahan, dan kejahatanku yang terlewat banyak. Suara hatiku berkata berbeda dengan kebiasaan! Kurang tepat rasanya permintaan maaf kesalahan sebesar itu hanya perantaraan orang lain. Oleh karena, kesalahan dan pemaafan hubungannya dengan hati nurani, dengan rasa yang paling dalam, dan tanggung jawab moral yang sangat pribadi. Lain dari itu aku juga akan menunjukkan jati diriku. Biarpun aku penjahat, aku dapat melakukan hal-hal yang baik. Baik menurutku!
Aku meyakini, suatu kematian akan mendapatkan rasa tenang dan dosa kesalahanku akan diampuni bila aku mau menyampaikan sendiri ketulusan isi hatiku untuk minta maaf dan bertobat kepada orang-orang yang pernah membenciku. Juga orang-orang yang pernah menjadi korban perbuatan jahatku.
Pada kesempatan terakhir itu aku bermaksud akan berbuat baik kepada siapa pun. Berbuat baik dengan tulus hati mengakui segala kesalahan kepada mereka yang pernah membenci dan yang masih menaruh dendam hingga aku disembahyangkan dan diantar ke makam. Bagiku permohonan maaf atas kesalahan merupakan permasalahan besar yang tidak bisa diwakilkan. Selagi masih ada kesempatan aku tidak akan melewatkan kesempatan itu. Kata orang, kesempatan tidak akan berulang dua kali. Pada kesempatan yang tersisa itu pun kata-kata pamitku telah selesai kususun dan kurekam.
“Sekarang aku, lain kali Bapak, Ibu, Saudara, Adik-adik, para pembela sungkawa yang meluangkan waktu berkenan hadir di rumah duka ini. Kapan saatnya? Tidak ada yang tahu! Datangnya seperti pencuri di malam hari. ‘Digedhangana, dikuncenana’ kalau sudah saatnya siapa pun tidak ada yang kuasa menolak! Segalanya akan ditinggalkan begitu saja. Jangankan ibu, bapak, sanak keluarga, harta benda…, raga yang sudah menyatu sekian lama ditanggalkan pula. Harta benda duniawi dan semua yang dicinta di dunia tidak ada artinya apa-apa bila sudah saatnya memenuhi panggilan-Nya, Yang Kuasa.
Bapak, Ibu, Saudara, Adik-adik, dan para takziah yang saya hormati, pertama-tama saya sampaikan ucapkan terimakasih yang tulus atas kehadiran Bapak, Ibu, Saudara, Adik-adik, dan para takziah semuanya. Walau seburuk apa pun keadaan diri saya, Bapak, Ibu, Saudara, dan Adik-adik, dan para takziah masih berkenan hidir di tempat ini.
Sungguh kehadiran Bapak, Ibu, Saudara, Adik-adik, dan para takziah di sini memberikan penghiburan tersendiri bagi Ibu saya yang saya cintai. Ibu yang saat ini berduka. Seorang Ibu yang selama ini belum pernah bahagia mengasuh dan membesarkan anaknya. Saya mengakui betapa besar dosa dan kesalahan saya. baik dosa kesalahan kepada Ibu maupun kepada para takziah semua. Untuk itu sekali lagi saya mohon maaf dan mengucapkan terimakasih yang tulus kepada Bapak, Ibu, Saudara, Adik-adik, dan para takziah yang tidak bisa saya sebut satu demi satu. Kata maaf Bapak, Ibu, Saudara, Adik-adik, dan para takziah sungguh menjadi pengantar saya dalam menghadap ke hadirat-Nya, Tuhan Yang Maha Pencipta. Semoga, … ”
Hari-hari terakhir menjelang rencana kematianku, aku seperti dikuatkan untuk segera melakukan tindakan itu. Entah mengapa, sebelum kematianku terlaksana, ada secercah kebanggaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku. Satu-satunya kebanggaan yang aku miliki selama ini. Namun, kebanggaanku itu benar-benar berseberangan dengan pandangan kebanyakan orang. Kebanggaan seorang penjahat yang mengakui dirinya sebagai penjahat. Satu-satunya yang bisa kuperbuat dan kutinggalkan untuk dikenang dan dimengerti oleh orang-orang yang membenciku. Hanya itu! Bahwa seorang penjahat seperti aku, tidak selamanya berbuat jahat.
Aku penjahat, pekerjaanku mencuri. Tetapi, aku pantang mencuri harta milik orang-orang yang tidak layak kucuri. Mereka yang menjadi korban kejahatanku pun tidak ada yang sampai menderita apalagi mati di tanganku. Sasaran perbuatan jahatku orang-orang yang memiliki harta berlimpahan. Meski demikian, dalam diriku tidak ada kamus bahwa mereka yang berkelimpahan harus menjadi target operasi kejahatanku, harus kucuri harta miliknya. Tidak! Aku pun penjahat yang tidak mempunyai rasa dendam kepada siapa saja.
Meskipun aku anti membunuh namun aku bersedia mati bunuh diri. Dengan tulus hati aku mau melakukan mati bunuh diri bilamana kematianku berguna untuk orang lain. Bukan untuk diriku sendiri. Itulah kebanggaanku. Kebanggaan seorang penjahat yang mau mengakui penjahat. Bukan merasa diri sebagai orang baik-baik. Seorang penjahat yang bersedia mati demi orang lain, bukan membunuh orang lain.
Kini aku menyadari. Aku harus berbuat sesuatu agar aku juga menjadi kebanggaan Ibu. Aku sudah cukup meremukkan hati Ibu. Sekali ini aku harus benar-benar mengerti, bahwa aku bukan anak jahat lagi. Sudah tidak pada tempatnya setiap kali aku membuat susah orangtua. Kalau dulu aku selalu bangga dengan dosa-dosaku, kini aku harus bisa mengubah masa laluku demi kebanggaan Ibu. Aku cukup tahu betapa susahnya Ibu mengasuh anak seperti aku. Hingga kini Ibu pun belum mendapatkan apa-apa dari aku.
Pada tengah malam dicengkeraman keheningan, aku sampaikan kebanggaanku itu kepada Ibu. Maksudku, agar Ibu tahu siapa aku dan juga bangga terhadapku. Aku sebenarnya tidak sampai hati untuk menyampaikan semua itu. Aku tidak sanggup menyaksikan betapa hancurnya hati seorang ibu. Aku berharap kebanggaan satu-satunya itu untuk dimengerti Ibu sebelum aku melakukan keputusanku, meninggalkannya selamanya. Itu saja! Aku yakin kebanggaanku seperti itu tidak setiap orang mau tahu apalagi menerima, sekalipun Ibu. Lebih-lebih Ibu terlalu sayang kepada kehidupan, sayang kepadaku. Ibu juga sangat tidak senang terhadap penjahat seperti yang aku lakukan. Aku harus pandai-pandai mencari saat yang tepat untuk menyampaikan keinginanku itu. Waktu yang tepat itu, tidak lain adalah tengah malam yang diliputi keheningan.
“Ya, sekali pun semua orang membencimu karena perbuatanmu, tetapi kamu dulu Ibu lahirkan dengan cinta! Ibu besarkan dengan cinta. Dan, Ibu asuh dengan cinta! Kini, seperti apa pun keadaanmu Ibu tetap menerima dengan cinta!” Perkataan Ibu itu selalu terngiang dalam rongga telingaku. Kata-kata indah yang tulus terucap dari seorang Ibu yang sepenuh hati mencintai anaknya ketika orang-orang mulai menaruh kebencian. Kata-kata itu pulalah yang senantiasa memberikan kekuatan dan keteduhan setiap kali aku melangkah dalam keadaan suka maupun duka. Kini perkataan Ibu itu setiap saat menjadi ganjalan pikiranku untuk menyampaikan rencana kematianku.
Andaikan tidak ada Koran bekas itu, malam ini tentu Ibu tidak bisa lagi menatap wajahku. Ibu tidak bisa pula mendengar suaraku. Kesusahan Ibu akan diriku sampai aku mati silih berganti, tidak pernsh berhenti. Selama ini Ibu susah memikirkan perbuatanku, kini berganti sedih kehilangan aku. Sungguh kasihan Ibu.
Menjelang tengah malam itu! Saat rencanaku sudah bulat kuputuskan untuk kulakukan, aku duduk mendekat Ibu. Kali itu aku bermaksud mengajak Ibu berbincang-bincang untuk yang terakhir kali. Sekali waktu biar Ibu merasa senang. Setelah itu aku akan berpamitan mati, sebelum meninggalkan untuk selama-lamanya.
Kesempatan bertemu Ibu tidak kusia-siakan. Rencana untuk mengakhiri hidupku tinggal dua tiga hari lagi. Kesempatan yang terakhir itu aku sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba timbul keinginanku untuk berbuat baik kepada Ibu. Aku ingin sekali dekat dengan Ibu. Padahal, hari-hari sebelumnya tidak begitu.
Sisa-sisa waktu yang tinggal sedikit itu aku akan menunjukkan bahwa seorang anak jahat sebagai penjahat juga bisa berbuat baik kepada Ibunya. Ibu yang selama ini selalu kubuat susah. Ibu yang setiap kali merasakan kesedihan karena ulah anak yang dilahirkannya. Aku! Ibu yang tidak pernah bahagia oleh keberadaanku. Aku menyadari akan semua itu. Tetapi, aku sendiri tidak tahu mengapa kesadaran itu baru muncul di ujung kehidupanku, menjelang Ibu akan kutinggalkan.
“Ibu, aku minta pamit. Besok, atau dua tiga hari lagi aku akan mati! Aku akan bunuh diri! Ibu tidak perlu susah! Ibu tidak usah menangis! Aku akan bahagia bila kepergianku nanti tidak dengan iringan tangis Ibu!” kata-kataku mengawali perbincangan, memecah keheningan. Ibu diam saja. Aku pun ikut diam, tidak melanjutkan kata-kataku. Hening tengah malam tiba-tiba menyeruak mencekam. Sebentar-sebentar dengus angin masuk, menerobos lewat celah-celah pintu. Terdengar seperti regangan napas berjuang melawan kematian. Suara angin itu seperti memberikan jawaban hampa pertanyaanku.
“Bolehkan, Bu? Daripada aku hidup menyusahkan Ibu saja! Menyusahkan orang banyak. Menyusahkan aparat! Menyusahkan siapa saja! Ibu pasti akan lebih bahagia bilamana aku benar-benar mati. Bagamana, Bu?” pertanyaanku lagi. “Lebih baik aku mati bunuh diri daripada hidup selalu menyusahkan banyak orang,” demikian yang kuucap untuk didengar Ibu.
“Ibu diam saja! Sepatah kata pun tidak terucap, menjawab pertanyaanku. Tidak seperti waktu-waktu lalu, ketika aku berbuat salah di hadapan Ibu. Kata-kata syarat nasihat, perintah, larangan, dan segala kata petuah terangkai tersambung-sambung dengan ringan terlempar masuk telingaku. Satu yang kuingat dalam sejarah kemarahan Ibu, betapa pun dahsyatnya Ibu meluapkan amarahnya, Ibu tidak pernah mengucapkan kata-kata sumpah serapah. Seperti apa pun kemarahan Ibu, wanita yang melahirkan aku itu tidak sembarang meluapkan tutur kata. Ibu tetap kuasa mengendalikan dirinya.
Malam mulai larut. Gelap menggelayut di segala sudut ruangan. Hening sepi malam makin kuat menguasai waktu. Cahaya bolam lampu 10 watt tergantung di atas meja kayu persegi panjang tidak leluasa menjangkau sudut-sudut ruangan. Remang-remang mewarnai semua yang ada di ruangan yang tidak bersekat itu.
Ibu duduk terpaku di kursi kayu di hadapanku. Aku terbengong menunggu kata-kata, jawaban Ibu. Dalam keremangan tampak jelas wajahnya menyimpan sesuatu. Apa yang dikehendaki Ibu sepatah kata pun tidak diucapkan. Dari raut wajahnya seperti ada yang ingin disampaikan.
Sementara dalam suasana harapan yang tidak menentu, tidak ada kepastian, Ibu tiba-tiba beranjank dari tempat duduknya. Kursi kayu usang tempat duduk Ibu bergerit pelan menahan goyangan beban tubuh Ibu yang tidak seberapa berat. Ibu berjalan pelan. Kuperhatikan dengan sudut mataku. Ibu mengambil sebatang lilin persediaan bila mati lampu sekalian dengan korek api yang berada di sampingnya. Dibawanya lilin dan korek api itu dengan tangan kirinya. Dengan langkahnya yang lemah, Ibu menuju ke arah sakelar. Kemudian diraihnya sakelar itu dan seketika lampu langsung padam. Ruangan pun menjadi gelap gulita.
Di dalam ruang yang tidak bersekat dan tidak ada nyala lampu itu, gelap terasa amat pekat. Semua yang ada tampak hitam, tidak terlihat bentuk dan warnanya. Kuperhatikan keadaan di luar. Tampak lebih terang! Lewat celah-celah pintu secercah cahaya rembulan paroh baya menerobos membelah kegelapan, menolong pandanganku untuk mengetahui arah sudut-sudut ruang. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud Ibu. Isyarat apa yang hendak disampaikan Ibu. Aku tidak beranjak, tetap berada di kursi tempat dudukku.
Tidak lama kemudian terdengar langkah ibu menuju kursi. Ibu kembali duduk. Lilin dinyalakan lalu diletakkan di atas meja. Nyalanya tidak seberapa tetapi sangat membantu penglihatanku dalam pergulatan melawan gelap gulita seperti itu. Seluruh isi ruangan terlihat kembali meski tidak begitu jelas. Bersekatkan nyala lilin di atas meja aku dan Ibu saling berhadapan, saling bertatap muka. Namun demikian, sepatah kata pun tidak terucap dari Ibu. Kata-kata yang sangat kuharap Ibu memberikan jawaban, mengizinkan aku mengakhiri hidupku.
Kutatap rona wajah Ibu tajam-tajam. Dalam keremangan cahaya nyala lilin yang tidak mampu menjangkau seluruh sudut ruangan, rona wajah Ibu yang sudah berkerut-kerut itu tidak menyiratkan suatu makna. Bahkan tampak benar Ibu acuh tak acuh saja terhadapku. Dari posisi duduknya, gerak-geriknya, dan ekpresi wajahnya tampak biasa-biasa. Sedikit pun tidak ada reaksi atas pertanyaanku. Ini semua kupahami bahwa Ibu tidak senang terhadap kebanggaanku. Kebanggaanku, yang rela dan bersedia mati demi orang lain. Ibu tidak mau mendengar kata-kata pamitku. Apalagi mengizinkan rencana kematianku. Sekecil apa pun kematian setiap orang tidak akan menghendaki terjadi pada dirinya, kecuali aku.
Angin kemarau kerontang mendesis, menghembus masuk ruangan. Mengusap kulit, mengular kedinginan. Di luar, di tengah keheningan terdengar daun jati kering lepas dari ranting. Tiga kali luruh menyentuh genting. Mengusik pikiranku akan makna, “Jatining urip, sangkan paraning dumadi.” Makna kehidupan sebelum kematian. Dari mana dan mau ke mana segala ciptaan yang ada ini. Sementara kerdip lilin menyala tidak seberapa. Lidah-lidah apinya tidak lebih besar dari nyala korek api. Sebentar-sebentar terombang-ambing, berputar-putar seperti hendak mempertahankan diri dari hembusan angin. Dalam suasana itu Ibu bersedekap dada seraya memejamkan mata layaknya pertapa yang khusuk memanjatkan doa. Ibu tampak semakin tidak peduli kepadaku. Tampak benar Ibu tidak mau tahu akan keinginanku.
Kata-kata Ibu yang kutunggu tidak sepatah pun terucap. Pikiranku berputar-putar, penglihatanku terarah ke segala penjuru ruangan. Semuanya diam membisu. Seperti Ibu! Dalam suasana seperti itu keputusanku untuk melaksanakan rencana kematian makin bulat meluap-luap. “Mati tanpa pamit lebih baik!” pikirku. “Makin cepat mati, makin baik!” itu yang mrnjadi pertimbanganku.
Ibu tetap diam. Kutatap dari jarak lebih dekat. Cahaya lilin menerpa samar-samar. Wajah Ibu tampak lebih tua. Kerut-kerut kulitnya makin jelas terlihat. Raut wajahnya yang dulu kencang, kuning langsat kini kering keriput, berkerut. Tampak benar kedua belah pipinya mulai cekung ke dalam, tidak tertopang lagi oleh gigi-gigi kokoh. Gigi yang dulu rampak rapi, rata seperti biji mentimun kini beberapa sudah rumpang tanggal lapas dari rahangnya. Rambutnya yang dulu tebal hitam legam, kini tipis kusut, pudar memutih. Beda benar!
Segala yang ada pada diri Ibu telah berubah. Semuanya sudah berbeda, seiring dengan perjalanan waktu. Betapa telah lama Ibu menikmati pahit getir gehidupan. Sudah begitu jauh waktu terentang. Ibu telah melewati masa perjuangan hidup, berkurban untuk membesarkan dan mengasuh anak satu-satunya. Aku! Namun begitu, Ibu tetap teguh tidak pernah mengeluh meskipun aku belum berbuat membahagiakan Ibu.
Kualihkan Pandanganku mengarah pintu yang sejak sore tertutup. Di suatu senja, di depan pintu itu aku dan Ibu pernah duduk bersama. Seperti malam ini juga. Ibu tampak lelah, menatapku sayu. Dengan berkaca-kaca Ibu bercerita tentang hari depanku, berbicara tentang hari-hari lalu. Ibu mengatakan semuanya berjalan di luar kehendak. Dalam pesannya Ibu mengingatkan agar aku tetap mempunyai harapan menghadapi masa depan. Aku tidak boleh patah semangat. Kata Ibu, “Patah semangat itu bencana besar dalam kehidupan.”
Tentang pohon jambu yang tumbuh di depan rumah dekat pintu itu. Diceritakan pula oleh Ibu, di bawah pohon itu tempat aku bermain masa kecilku dulu. Setiap hari, setiap waktu banyak anak berdatangan bermain bersamaku. Pohon jambu yang dahulu berbuah lebat, beraroma harum, berasa manis, hingga banyak orang lewat meluangkan waktu, berhenti sejenak untuk memetiknya. Begitu orang-orang itu mencicpi merasakan buah jambu itu, mereka berdatangan mencari batangnya.
Kini pohon jambu itu tidak berbuah lagi. Daunnya pun tidak lagi rimbun. Sebagian daun di cabang-cabangnya mulai menguning. Menunggu waktu sebelum ranting-ranting mengering. Batangnya yang dahulu tempat bermain panjat-panjatan, kini hitam bergurat-gurat, beberapa bagian sudah mulai lapuk dimakan usia.
Kutatap kembali kerdip lilin di atas meja. Meski masih menyala, tampak berat melawan hembusan angin malam yang sebentar-sebentar menerobos masuk ruangan lewat celah-celah dinding. Kerdip lilin satu-satunya penerang ruangan itu tetap bertahan. Kian lama makin banyak tubuh lilin itu meleleh, mencair demi seberkas cahaya. Dengan tidak memilih tempat di mana berada dipancarkannya cahaya itu untuk semuanya. Setiap sudut ruangan menjadi terang meski hanya cukup untuk membedakan pandang. Saat pagi tiba, kerdip lilin pun mati seketika. Ibu pun kemudian beranjak meninggalkan tempat duduk tanpa berucap kata-kata.
Inikah jawaban Ibu yang kutunggu semalaman? Jawaban pertanyaanku yang sengaja diucap dengan nyala lampu lilin di ruang gelap.Adasecercah makna yang dapat kutangkap. Makna akan nyala lilin itu untuk kulihat dan kumengerti di hadapan Ibu. Kata-kata nasihat di dalam nyala lampu lilin yang tidak dapat kudengar lewat telinga. Karena telinga terlanjur biasa hanya untuk lewat kata-kata. Ibu pun kiranya berharapkan kata-kata nasihatnya lewat nyala lilin itu dapat kumaknai sendiri, kuresapkan dalam hati, dan kulakukan dalam tindakkan. Ini pun aku pahami, tidak berarti Ibu telah lelah memberikan kata-kata untuk menasihati aku.
Semalaman aku pandangi nyala lampu lilin itu. Semula aku tidak memahami pasti apa yang Ibu kehendaki. Aku tidak mengerti apa pula arti semua ini. Setelah nyala lampu lilin mati, aku baru tahu. Lilin mengurbankan dirinya untuk siapa saja. Dengan cahayanya lilin menjadi penerang di mana pun ia berada. Ia bersedia mati untuk orang lain, bukan untuk diri pribadinya. Lilin pun berguna pada waktu hidupnya. Ia mati setelah berjasa mengurbankan dirinya. Mungkinkah Ibu menghendaki matiku nanti seperti lampu lilin itu?
Kubaca kembali koran bekas yang kutemukan dan kusimpan baik-baik itu. Kupandangi lagi halaman iklan yang menyebabkan koran itu masih kusimpan dan akan terus kusimpan. Tidak bosan-bosan! Sekalipun hanya bekas bacaan orang, koran itu sungguh berarti bagi hidupku. Entah sudah berapa kali iklan keluarga berjudul “Berduka Cita” dan “Dicari Sahabat Sejati” itu kubaca. Aku tidak bisa lagi menghitungnya.
“Berduka Cita. ‘Aku telah menyelesaikan pertandingan dengan gemilang, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah berbuat apa yang aku bisa.’ Telah Pulang ke Rumah Tuhan di Surga Suami, Papa, Papa Mertua, Kakak, Adik, Saudara kami tercinta dalam usia 66 tahun. … .”
“Dicari Sahabat Sejat. Tiada seorang pun dikatakan sahabat sejati selain dia yang dengan tulus ikhlas bersedia menyerahka jiwanya kepada orang lain yang memerlukan. Dia yang telah menyerahkan jiwanya untuk orang lain bukan lagi sahabat sejati, melainkan keluarga sendiri. Keluarga sedarah sedaging sebagai bagian dari keluarga yang baru dipertemukan. Oleh karena dia telah menyerahkan darah dan dagingnya untuk dipersatukan dengan keluarga barunya itu.
Kami, keluarga bahagia mencari keluarga baru yang bersedia membagi, mempersatukan bagian dari tubuhnya, ginjal kepada salah satu keluarga kami yang menderita dan sangat membutuhkan. Segala akibat yang timbul dari upaya mulia ini akan kami tanggung dan yang bersangkutan kami terima sebagai anggota keluarga sendiri dan mempunyai hak yang sama sepertianggota keluarga yang lain. Hubungi 081 … .”
Berkali-kali kubelalakan bola penglihatanku. Huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat hingga seluruh paragraf. Ucapan berduka cita dan iklan keluarga itu kucermati. berulang kali. Aku semakin mantap untuk mengubah jalan kematianku tidak dengan bunuh diri. Aku memilih kematianku bukan karena aku, mati yang alami. Aku menyadari bahwa kematian itu keterbatasan. Keterbatasan organ tubuh yang tidak lagi memenuhi fungsinya. Aku berharap setelah kematianku nanti organ tubuhku tetap berfungsi biarpun untuk orang lain.
Iklan di koran bekas itulah yang benar-benar menaklukkan aku dan mengubah rencana hidupku yang baru. Hingga hidupku menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain. Bila aku mati dengan bunuh diri, sudah pasti tubuhku tidak akan bermanfaat, hanya membusuk sia-sia menjadi tanah. Lain halnya bila aku menyerahkan jiwaku, menyerahkan seluruh bagian tubuhku untuk orang lain seperti yang disebut dalam iklan itu. Kematianku akan memberikan arti tersendiri. Seperti lampu lilin itu!
Dengan membawa koran bekas itu, aku akan segera menemui pemasang iklan yang ingin mencari sahabat sejati. Seperti yang dikatakan dalam iklan itu sahabat sejati adalah orang yang tulus ikhlas mau menyerahkan jiwanya untuk orang lain. Dan, orang yang bersedia menyerahkan jiwanya untuk orang lain itu adalah aku. Mudah-mudahan aku orang yang pertama. Bila benar begitu aku akan menyatakan kesediaanku dan sanggup memberikan bagian tubuhku yang ia perlukan. Bukan untuk pemasang iklan itu saja tetapi juga untuk semua orang yang membutuhkan bagian tubuhku yang lain, aku bersedia memberikan. Tidak hanya ginjal! Hati, jantung, tulang, sumsum, mata, darah, kulit, daging, dan seluruh bagian tubuhku pun akan kuserahkan bila memang berguna bagi mereka. Asal bukan otakku!
Aku ragu dengan otakku sendiri. Otakku mempunyai riwayat yang kurang baik. Dari otaklah yang pertama-tama memunculkan pikiran jelekku dan mengendalikan perbuatanku hingga aku menjadi seorang penjahat. Aku khawatir bila otakku nanti kuberikan orang lain dan diterima oleh orang yang sama mempunyai otak jahat, ia menjadi lebih jahat. Biarlah bila aku mati nanti, otakku terkubur bersama bagian tubuhku yang tidak berguna.
Hati, jantung, tulang, sumsum, mata, darah, kulit, dan dagingku sebagai bagian tubuhku yang termasuk baik. Untuk berbagi kebaikan maka bagian tubuhku yang baik itu akan kubagi-bagikan untuk orang lain yang memerlukan. Hatiku selama berada dalam dada tidak pernah ternoda rasa iri. Hatikulah yang selalu memberi keseimbangan otak. Bila tidak ada peran hati di dalam dadaku, sudah barang tentu kepalaku menjadi besar Otakku sering kali terisi oleh pikiran-pikiran yang tidak semuanya baik, yang bisa memicu perbuatan jahat. Dengan kerja hati yang selalu lantang bersuara, perbuatan jahat pun dapat terkendali.
Demikian juga jantungku. Jantungku, jantung yang tidak pernah menimbulkan rasa sesak dalam dada. Jantung yang detaknya selalu normal, tidak berkurang dan tidak berlebihan menghadapi segala kondisi. Baik dalam suka maupun duka, jantungku selalu kuat. Jantungku, jantung sehat bila diberikan orang untuk dicangkokkan. Aku pun merelakan, bila ada orang yang memerlukan untuk dicangkokan.
Tulang-belulang dan sumsum-sumsumku, bukan tulang-belulang dan sumsum-sumsum rapuh. Tulang-tulangku kuat menyangga tubuhku yang kokoh. Tidak pernah terasa nyeri atau ngilu menghadapi segala kondisi cuaca. Tubuhku tidak pernah jatuh menapaki semua kondisi jalan yang terentang. Jalan licin, jalan berlubang tubuhku tetap tegak melewati. Komdisi yang demikian bukanlah rintangan yang menyurutkan nyali. Sumsum-sumsumku sehat menghasilkan darah merah yang melimpah. Bilamana aku mati nanti ada seorang yang menghendaki tulang-belulang dan sumsum-sumsumku aku serahkan dengan ikhlas hati.
Bola mataku pun bola mata yang tidak mengecewakan, sehat dan bulat. Bola mata yang tidak pernah sakit melintasi segala musim dan wabah penyakit. Senang menatap keindahan, anti melihat keburukan. Bola mata yang tidak pernah melihat kejahatan untuk direspon otak. Tidak pernah melirik segala bentuk kekurangan. Dan, tidak pernah melotot memandang berbagai macam kesalahan. Tatapan bola mataku tatapan yang menyejukkan, memikat bersahabat. Aku tidak akan ragu merelakan bila saat aku mati ada orang yang memesan untuk menggunakan.
Darahku, darah merah segar tanpa penyakit. Tidak dikotori nikotin dan zat-zat kimia yang berbahaya. Darah yang tidak pernah membuat kepala pening dan pusing karena tensi yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Darahku, darah encer yang berkoresterol dan bertensi normal, selalu lancar melewati semua pembuluh nadi. Selalu siap mengirim oksigen bersih ke seluruh jaringan otak. Darahku, darah yang tidak pernah henti mengirim sari makanan, gizi, dan protein ke semua jaringan tubuh. Aku pun akan bersedia dengan rasa senang bila saat ini juga ada seseorang yang membutuhkan, datang meminta aku untuk mendonorkan.
Kulit dagingku sekalipun tidak pernah dibutuhkan orang, aku relakan pula bila saatnya aku mati nanti ada yang menggunakan. Kulit dagingku selama ini bukan kulit daging yang berpenyakitan walau tanpa mendapatkan perawatan. Kulit daging yang tidak pernah mengeluh kepanasan tersengat terik matahari. Tidak pernah berkeluh kesah, merinding, menggigil tatkala tiba musim dingin. Kini aku menunggu waktu untuk menyerahkan seluruh bagian tubuhku yang berguna bagi orang lain. Andaikan hari ini pun waktu itu tiba aku tidak akan menolaknya.*
sumber
Trijoto – Guru SMPN 1 Bantul DIY
0 comments:
Post a Comment