SEKEPING HATI TERUNTUK BUNDA


Aku dilahirkan dalam keluarga yang sederhana, namun Allah memberikan karunia kehangatan keluarga pada kami semua. Meski tidak kaya kami tidak pernah merasa kekurangan. Bunda selalu bisa mengatur keuangan keluarga, meski gaji ayah tak seberapa. Tak jarang pula bunda harus tidur larut malam untuk menyelesaikan jahitan baju pesanan tetangga, semua hanya agar kami tidak kekurangan. Oh... bunda.

 ***"Wia, makan dulu gih, bunda masak tempe bacem kesukaan Wia." kata bunda ketika aku sampai di dapur. Ku cium pipi dan tangannya, ada keharuan merasuk di relung hatiku. Bundaku memang tak seperti ibu-ibu modern saat ini, yang memoles kosmetik dan menyemprotkan parfum di sekujur tubuh. Tubuh bundaku memancar harum kasih sayang dan kurasa hanya anak-anaknya yang mengerti betapa harumnya bunda.

 "Lho, kok malah bengong? Natap bunda lagi, kayak nggak pernah ketemu bunda aja." katanya heran. "Abis bunda makin cantik sih." Saat itu bunda tertawa mendengar ucapanku seraya memencet hidungku. Oh bunda, aku sayang padamu...

 ***Hari ini hari penerimaan raport, seperti biasa aku harus menunggu giliran ayah datang ke sekolahku. Ya... hari inilah hari paling repot menurut ayah, karena harus mengambil raport keempat anaknya di empat sekolah yang berbeda, sekaligus harus bekerja. Sering teman-temanku bertanya kenapa tidak bunda saja yang mengambilkan raport untukku agar aku tidak menunggu. Apalagi waktu penerimaan raport 'kan hampir sama di setiap sekolah. Dan aku pasti menjawab saat ini bunda sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih penting di rumah.

 Ah... hari yang indah. Terima kasih ya Allah. Ayah tersenyum ketika keluar dari kelasku dan menyerahkan buku biru berisi daftar nilai itu padaku. "Oke profesor manis Ayah, seperti biasa kamu ranking kelas." katanya bangga. Alhamdulillaah hari ini aku bisa membuat ayah bangga. "Tapi kamu pulang naik angkot aja ya! Soalnya ayah masih ada kerjaan." katanya melanjutkan. "Oke deh bos, asal jangan lupa aja hadiahnya." Aku mengedipkan mata pada ayah, ia tersenyum lagi. Oh iya... bunda... aku hampir lupa, pulang ah. Akan kuberitahukan bunda. Hmmm...

***"Assalammu'alaikum." Aku setengah berlari memasuki rumah. "Bunda." panggilku. "Wa'alaikumussalam, aduh... anak bunda kok teriak-teriak." katanya tersenyum menyambutku.

 "Bunda, Wia juara kelas, nih raportnya." kataku bangga. Kulihat bunda tersenyum, sama seperti ayah, ada kebanggaan di sinar matanya. "Bagus 'kan bunda, tuh nilai kimia Wia delapan, Wia seneng deh bunda." kataku sambil memeluk bunda kubacakan semua isi raport itu dengan bangga, bunda tersenyum.

 "Alhamdulillaah ya nak." ucapnya lirih. Bunda balas memelukku, tiba-tiba kurasakan ada air hangat yang menetes dari pipi bunda. Ya Allah bunda menangis, "Apa aku salah bicara ya?" pikirku. "Bunda... Bunda kok nangis, Wia salah ngomong ya?" kataku melepaskan pelukan bunda. "Ndak, sayang, bunda bangga banget sama kamu. Bunda bangga karena kamu anak yang pintar dan selalu membuat senang ayah dan bunda." katanya lagi.

 "Tapi kok bunda nangis?" ucapku penasaran. "Bunda hanya merasa bersalah pada anak-anak bunda. Maaf kan bunda ya sayang, bunda tak pernah mengajarimu membaca dan menulis, karena bunda tak bisa, yang bunda bisa, hanya terus mendo'akanmu agar kamu menjadi anak yang cerdas. Bunda juga tak pernah datang kesekolahmu untuk mengambil raport, bunda takut memalukanmu karena bunda tak bisa tanda tangan. Bunda tak pernah mengajarimu mengaji, karena bunda tak bisa mengaji, bunda hanya orang kampung yang tak bisa mengenalkanmu pada teknologi, yang bunda bisa hanya mendo'akanmu, nak. Bunda tak pernah bisa menjadi ibu yang baik untukmu. Maafkan bunda, Wia. Maafkan bunda." Kurasakan isak tangis bunda semakin sedih.

 "Ya Allah bunda, Wia tak pernah berpikir seperti itu." Kutatap bundaku, aku mengerti kesedihannya. Aku memeluk bunda.

 "Bunda, tak masalah bunda tak pernah mengajari Wia menulis, karena tiap kata-kata bunda tertancap dalam hati Wia. Tak mengapa bunda, kalau bunda tak pernah mengajari Wia membaca karena dengan itu bunda mengajari Wia untuk menilai sesuatu dengan mata hati. Bunda jangan pernah merasa bersalah karena tak mengajari Wia mengaji, karena bunda selalu mendo'akan Wia agar menjadi anak shalehah. Wia berjanji bunda akan mengajari bunda mengaji dan dengan bibir ini akan Wia lantunkan ayat-ayat suci Allah hanya untuk bunda. Bunda memang tak seperti wanita karir yang tampak elegant tapi bunda adalah bunda yang mulia karena tak sedetikpun bunda menyerahkan perawatan kami pada orang lain. Tangan bunda yang membelai kami, yang memeluk kami dan tangan itu pula yang selalu mencucikan popok kami tanpa pernah mengeluh.

Ya bunda...
jangan pernah sedih karena bunda tak pernah ke sekolah Wia, karena Wia yang akan membawa teman-teman Wia kemari dan memperkenalkan bunda Wia. Dan insya Allah bunda akan selalu Wia persembahkan nilai-nilai terbaik Wia untuk bunda dan ayah. Do'a bunda lebih berharga dari apapun di bumi ini, dengan restu bunda, Wia mendapatkan ridha Allah. Insya Allah bunda..."

 Ku peluk bunda semakin erat, akan selalu ku simpan janjiku untuk bunda.

Terima kasih Ya Allah, telah memberiku bunda yang begitu mulia.

Ditulis Oleh : Unknown Hari: 3:17 PM Kategori:

0 comments: