Setelah Nyanyi Sunyi (1937), Amir Hamzah menerbitkan kembali kumpulan puisinya berjudul Buah Rindu (1941). Meskipun buku ini terbit lebih belakangan daripada Nyanyi Sunyi, proses penulisan puisi dalam antologi ini lebih awal dibanding penulisan puisi di antologi Nyanyi Sunyi.
Tema puisi-puisi dalam antologi ini rupanya masih dekat dengan Nyanyi Sunyi. Melalui puisi di Buah Rindu, Amir
Hamzah dengan khas menuliskan keterasingan dan kesepiannya. Puisi-puisi
dalam antologi ini, menurut Harry Aveling (2002:163), merupakan
gambaran hubungan cinta dalam arti luas. Ada hubungan cinta antara ibu
dan anak, laki-laki dan perempuan, yang kemudian bercampur dengan pujaan
terhadap bermacam dewa-dewa, asmara, dan Tuhan.
Tanggapan
perasaan puisi Amir Hamzah terhadap perempuan dalam antologi ini juga
bermacam-macam. Kadang Amir Hamzah mengungkapkannya dengan nada
bermain-main, kadang nostalgik, kadang dengan nada marah, dan kadang
pula melindungi. Ungkapan tersebut barangkali bersesuaian, baik sengaja
maupun tidak, dengan kondisi batin Amir Hamzah yang galau dan peristiwa
di balik penciptaan puisi-puisi tersebut. Kita bisa lihat beberapa
larik-larik sajak Amir Hamzah yang memperlihatkan kepedihan dan
kemarahannya pada perempuan dalam puisi “Kusangka” berikut ini.
Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri ….
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti.
Rupanya melur telah diseri ….
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti.
Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari ….
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
Belum tahu sinar matahari ….
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak ….
Melati yang ada
Pandai tergelak ….
Harum mula terserak ….
Melati yang ada
Pandai tergelak ….
Buah Rindu menggambarkan
kerinduan sebagaimana bisa ditangkap dari judul buku ini. Tema-tema
kerinduan itu memang lazim digarap para penyair Indonesia sebelum perang
kemerdekaan. Melalui perasaan rindu itu, penyair ingin menghidupkan
kembali sebuah dunia harmonis yang penuh cinta dan sekarang tidak ada
lagi.
Meskipun
mengangkat tema yang sama tentang kerinduan, setiap penyair punya
kecenderungan dan masalahnya masing-masing. Kerinduan yang mendominasi
dalam puisi-puisi Amir Hamzah, misalnya, disebabkan oleh kerinduannya
pada kampung halaman. Kerinduan ini kemudian bercampur dengan kemurungan
karena cinta yang kandas dan hasrat untuk dekat dan menyatu dengan
Tuhan. Kerinduan kepada Tuhan ini akan lebih mewarnai puisi-puisinya
pada prosesnya yang di kemudian hari dalam antologi Nyanyi Sunyi.
Amir
Hamzah adalah salah satu penyair Pujangga Baru yang berada di barisan
paling depan. Bahkan, H.B. Jassin sendiri tak segan mentahbiskan Amir
Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Amir Hamzah adalah penyair
yang pada zamannya mampu menggabungkan antara individualisme Eropa
dengan tradisi sastra Melayu. Puisi-puisi Amir Hamzah merupakan jalan
pembuka untuk memasuki era baru kesusastraan Indonesia. Dalam puisi Amir
Hamzah sudah jarang ditemukan bahasa Melayu yang cantik dan kompleks,
yang ada adalah kalimat-kalimat sederhana dan ringkas namun kuat dan
sarat makna.
Tradisi
sastra Melayu yang masih muncul dalam antologi ini adalah bentuk rima
yang masih mengikuti rumus pantun. Kita bisa melihat contoh potongan
puisi “Berdiri Aku” di bawah ini:
Berdiri Aku
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-alun di atas alas.
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-alun di atas alas.
Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak.
Naik marak menyerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak.
Dalam rupa maha sempurna
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertemu tuju.
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertemu tuju.
Selain
tradisi sastra Melayu lama yang mempengaruhi karya-karya Amir Hamzah,
ada pengaruh dari pula karya sastra lain. Misalnya karya sastra Belanda,
Timur Tengah, India, Persia, dan berbagai karya sastra lainnya. Namun,
agaknya pengaruh itu tidak tampak begitu nyata dalam puisi Amir Hamzah.
Sebaliknya, dengan piawai, ia mampu mengelaborasikan berbagai tradisi
penulisan sastra tersebut ke dalam karyanya.
Mujibur Rohman, Redaktur www.TengkuAmirHamzah.com dan ww.MelayuOnline.com
Penerbit | : | Dian Rakyat | |
Tahun Terbit | : | 2011 | |
Penulis | : | Amir Hamzah | |
Penerbit | : | Dian Rakyat | |
Jumlah Halaman | : | 45 halaman | |
Ukuran | : | ||
Cetakan Ke | : | 8 | |
Daftar Isi | : |
|
0 comments:
Post a Comment