Dia tak jua bangkit, masih duduk terpaku dan berteman pilu, sementara puntung rokok yang telah dibuangnya masih mengelun dan menari-narikan asapnya yang menyesakkan dada. Angannya terus melayang akan seseorang yang benar-benar ingin ditemuinya.
Antara kota dan pelosok desa, dengan jarak jauh ia kirimkan satu salam rindu yang diterbangkannya bersama angin malam di penghujung musim hujan. Namun benarkah kan sampai? Karena di kediamannya telah ia pungut airmata kepedihan dari jalan ke jal
“Dinda, akankah kau tahu bahwasanya kuingin berjumpa dan bertemu? Entah telah berapa banyak hitungan waktuku yang terusai hanya karena anganmu. Apakah kau juga merasakan seperti apa yang disini akurasakan?” Pandangannya kosong dan tak terarah, hatinya menangis terisak penuh haru karena rindu yang begitu menderu.
Cinta, begitu kejam kau biarkan ku menunggu, menanti sesuatu yang tak pasti dan mungkin tak kan pernah pasti. Begitu dituliskannya di secarik kertas sampah di depannya. Ia terlena lalu tertidur dengan kelesuannya, berbantal tangan yang tak seempuk bantal kapas di kamarnya.
Begitulah cinta, kan meracuni setiap pujangga yang hinggap tuk merasakan dan menikmatinya. Tak banyak insan yang selamat dari kekejamannya, tetapi tak sedikit pula yang dapat merasakan hangatnya akan kebahagiaan yang telah tercipta olehnya.
Senin pagi, berkicau burung-burung yang asyik bercengkrama, bermain,
berterbangan, meloncat dari dahan ke dahan, sesaat mereka terbang tinggi
dan jauh tetapi kembali hinggap ke dahan dan kadang ke bawah. Betapa
cerianya mereka, seperti tak ada beban yang ditanggungnya. Harusnya
Firman juga begitu, dapat dengan mudahnya menghempaskan pernak-pernik
hidup yang ditempuhinya.
Sesaat setelah ia mandi menyegarkan tubuhnya, berdiri ia di depan cermin
di samping pintu kamarnya yang setengah membuka. Ia menatap wajahnya,
berusaha menciptakan senyum sebagai tanda semangat untuk memulai
harinya.
“Semangat,..!! kau tak boleh jatuh terpuruk seperti ini, Firman! Masih
banyak waktu yang dapat kau isi agar hidup ini lebih bermakna”.
Berbicara sendiri ia di depan cermin sambil menyentuh bayangan wajahnya.
“Hari ini, besok ataupun lusa kau harus bisa bertemu dengannya, Firman! Jangan kecewakan atimu”. Gumamnya dalam hati.
Tampangnya
lebih berwibawa dengan dasi yang melingkari lehernya, dengan jas yang
menutupi kemejanya, ia melangkah keluar. Seketika itu terlihat petugas
kantor Pos dengan sigap mengantarkan amplop yang entah apa isinya.
Dengan ramah Firman menyambutnya, menerima apa yang diberikan oleh
lelaki setengah tua itu tetapi ia tak langsung membukanya apa isi surat
itu. Jangankan membuka, membaca alamat si pengirim pun ia tak
menyempatinya.
Ia
terburu-buru setelah merubah niatnya untuk tidak masuk kerja, karena ia
pikir ia harus pergi ke tempat dimana ia kirimkan rindunya. Untunglah,
masih jam 7.25. masih sempat ia mengejar jadwal pemberangkatan kereta
yang terjadwal sekitar jam 8.00 pagi. Ia bergegas tanpa berpikir yang
lain lagi. Bismillah, doanya dalam hati.
“Dinda,
aku kan datang menjemputmu, membasuh rindu yang telah lama menjadi virus
dalam hati”. Pikirannya tenang, sambil duduk di depan stasiun kota
Bahtera ia kempulkan rokoknya menunggu kereta tiba.
Tak terasa perjalanan panjang telah terlewati, ia telah sampai di
stasiun Permadani kota Sejati. Namun belum sampai hanya di sini, masih
panjang perjalanan untuk ditempuhinya lagi, ia harus menyambungnya
dengan naik beberapa angkot dan dilanjut dengan naik ojek atau becak.
Hari
mulai beranjak dewasa, bersama mentari yang berada tepat di atas
ubun-ubunnya ia beristirahat di sebuah masjid besar yang ramai di
kunjungi orang, baik untuk beristirahat maupun untuk beribadah.
“Mas Firman,.. sedang apa disini, mas?”
Dengan lembut terdengar suara seorang wanita yang menjadikannya begitu kaget dan terkejut melihat wanita cantik berjilbab itu.
“Ani,..
alhamdulillah ya Allah,.. Ani, akhirnya ku bertemu denganmu juga,.. mas
sengaja datang kesini untuk menemuimu, Dinda”. Tanpa basa-basi.
“Tidakkah kau telah menerima surat itu, mas?”
“Surat yang mana, Dinda?”
“Surat terakhir yang telah kau terima!”
“Memangnya apa isi surat itu?”
“Entahlah, yang jelas kita tidak bisa tuk bersatu lagi, memadu kasih beribu sayang”
Matanya berkaca, lalu sedikit merundukkan kepalanya.
“Apa?
Sadarkah apa yang kau ucap, Dinda?” Dahinya mengkerut mengikuti
ekspresinya yang sangat terkejut mendengar apa yang telah diungkapkan
oleh Ani.
“Lihatlah lelaki di mobil itu, dia adalah pilihan orangtuaku untuk meminangku” sambil menunjuk ke depan.
“Aku tahu
bahwa orangtuamu tidak merestui hubungan kita, tapi dimana cinta
sejatimu? Apakah benar dia yang akan membawa hatimu hingga sampai ke
pelaminan, Dinda? Jangan kau bohongi dirimu sendiri akan perasaanmu,..”
Keduanya menangis haru, dengan mengusap airmatanya Ani meninggalkan Firman dan lari menghampiri suaminya.
“Dinda,
benarkah semua ini?” Jeritannya sempat mengagetkan suasana pada saat
itu, semua mata seolah memandangnya dengan sinis, tidak ada yang
memperdulikannya.
Teringat
surat yang pagi tadi ia terima sebelum berangkat ia langsung membuka dan
membacanya dengan wajah yang lesu, di dalamnya terdapat sebuah undangan
pernikahan dari Ani dengan calon suaminya.
“Maafkan jika kuciptakan luka di hatimu, semua bukan niatku. Biarlah semua jadi penghalang cinta kita, ini adalah ujian bagimu, bagi kita, mengapa kau tak bersabar? Kuharap apapun yang terjadi kau dapat menerimanya dengan lapang.
Harusnya kau tahu, di dalam hati ini ku jua merasa sakit yang begitu mendalam, mungkin lebih sakit dari yang kau rasakan. Hati ini hancur beribu keping, dan tak dapat terkumpul lagi.
Jangan kecewakan aku dengan cintaku, kau pasti bisa menjalani semua ini.
Hadirlah di pernikahanku, dengan segenap senyum tuk membahagiakanku.
Kan kutulis sebuah cerita yang panjang tentng cinta kita, cinta yang terluka.
-Dindamu, Ani-
Memang benar-benar pilu, airmata kepedihan itu memang benar ada dan singgah di hati keduanya.
Firman
makin banyak melamun, hari-harinya kosong, ia tinggal di sebuah wisma di
kawasan itu, kan menunggu pesta pernikaha yang kan menyayat hatinya.
“Bertahun lamanya kutanam bunga, tapi mekar di taman orang. Bertahun lamanya bunga kupuja, mekarnya dipetik orang”.
Disaat
itu Firman sangat terpukul, dengan ratapan nasib yang menghujam hati dan
cintanya. Ia menanti dan menungu hari itu hingga datang di depan
matanya yang semakin nanar.
Pengantin
berjejer di pelaminan setelah penghulu menikahkan keduanya. Duduk di
salah satu kursi yang khusus disediakan untuk para undangan, Firman
menatapnya dari jauh, perlahan airmata tak terbendung, berlinang di
kedua pipinya.
“Cinta,
benarkah itu kau?” sedikit mengusap airmatanya. Lalu terperanjak dari
duduknya dan berjalan menuju pengantin yang di pelaminan itu. Ia
memberikan selamat kepada keduanya.
“Dinda,
berbahagialah,… aku tak mau melihatmu sengsara”. Ani hanya tersenyum
menahan airmatanya. Firman hanya bisa pasrah. Dia berbisik:
“Kutitipkan kepadamu, kawan. Bahagiakanlah dia, dialah yang paling kusayang”
“Selamanya
cinta kan bersemi di hati. Maafkan jika pada akhirnya ada yang terluka
karena hadirku. Percayalah ia ka bahagia bersamaku”
“ya, kupercayakan ia kepadamu”
Keduanya lalu berpelukan mengenang hangatnya persahabatan. Tak ada dendam sedikitpun diantara mereka.
“Bersabarlah,..
belajarlah menerima kenyataan. Dari itu baru kau tau apa sebenarnya
makna cinta sejati. Kupercaya hatimu kan agung menerimanya” Lelaki itu
memberi nasihat dan semangat kepada mereka, Firman dan Ani yang cintanya
terpisahkan karena hadirnya.
Dengan
semangat baru, mereka menjalani kehidupannya masing-masing dan telah
menerima kenyataan yang sebenarnya bahwa cinta tak harus memiliki. Cinta
sejati kan tetap abadi meski harus ditepis dengan luka yang begitu
mendalam, meski mereka tak dapat bersatu.
The End
Penulis:
Nama : Abdul Rokhim
0 comments:
Post a Comment