Katakan saja, ruang itu adalah kotak persegi panjang. Dengan isi melebihi besar volumenya sendiri. Kotak itu seperti sedang melayang-layang diudara, ditengah hujan lebat dan petir bersahut-sahutan. Tepatnya, kotak itu seperti mengapung diudara yang basah hingga keluar dari kodratnya.
Tidak banyak. Hanya beberapa benda murahan tergeletak tak rapi. Sekenanya. Daun pintu bak diberi perekat kuat hingga enggan terbuka. Begitu juga daun jendela. Engselnya berkarat tak ingin bergerak menyapu angin diluarnya. Sederet buku-buku berdebu diatas meja beku yang minta dicairkan ketungku. Alat rias dalam wadah bak nampan bisu rindu dipakai. Beberapa boneka sapi yang lucunya berubah seram karna telinga dan matanya dicopoti lalu kapas isi bagian dadanya keluar karna dirobek-robek. Disatu sudutnya, sebuah gitar tak bersenar bersandar kedinding. Cokelat warnanya. Satu Cermin sedang dan sebuah bingkai foto berukuran lima puluh kali delapan puluh senti meter. Didalam bingkai itu banyak foto yang ditempel dengan lem setan. Tak ragu foto-foto itu takkan mudah lepas ditiup angin. Kecuali oleh tangan yang sedang dirasuki setan pula. Setidaknya geram;setengah sadar. Bila dilihat cermat, bingkai besar itu tak berkaca. Pantas saja foto-foto yang ada dialamnya memburam . Selapis debu dan bintik-bintik hitam terdampar samar diantara warna dan kenangan. Kasihan.
Dibagian tengah kotak itu telentang seorang perempuan diatas tikar pandan. Perempuan itu telanjang. Rambut kusut dan wajahnya muram. Bibir kering setengah terbuka. Lingkaran hitam dibawah matanya sedang berhikayat tentang kepedihan. Kedua tangan terlipat diperut. Payudaranya hampir sama rata pula dengan perutnya. Puting hitam kecokelatan berkeriput kerut. Segaris bekas jahitan empat senti meter membentang disebelah kirinya. Jari jemari kaki tangannya bak ranting yang siap patah. Tulang berbungkus kulit kering tak berisi. Pandangan matanya sayu tepat mengarah kebingkai besar yang ada didepannya. Foto-foto yang bahagia dan ceria. Begitu berbanding terbalik dengan suasana diluarnya. Sesekali kedua matanya berkedip. Kedelapan sisi kotak itu mengumpat saling lempar teka-teki tentang isi kepala dari si empunya ruang. Kegaduhan yang tak bersuara.
Kotak itu terus saja mengapung dari satu titik ke titik lain. Hujan tetap deras. Guntur menggelegar tiap kali kilat menyambar. Hal ini membuat mata perempuan aneh itu berkedip. Memotong suatu lamunan kenangan yang muncul dari frame besar itu.
“Sialan!!” Umpatnya. Kata itu keluar begitu saja dari sela-sela bibir hitamnya. Kulis kering dipermukaannya mengelupas abu-abu. Begitu. Gemerutuk gigi beradu lalu kembali hening.
“sejak pembedahan itu ia berubah total” Itu suara hujan yang tak henti-hentinya turun dari atas sana.
“apa yang terjadi padanya?”Itu nyanyian tikus di got berair kuning dan bau busuk.
“kita hubungi saja psikolog itu, aku tak ingin anak perempuanku menjadi gila.” Ini gelegar petir.
“Maafkan aku Jen, sepertinya semuanya memang harus kita akhiri hingga disini. Semua sudah berakhir.” ini adalah jeritan dari seiap partikel udara yang ada didalam kotak itu. Lalu, “Bajingaaan….!!!!” Nah, ini suaranya. Suara perempuan itu ketika emosinya yang membara menusuk ubun-ubun hendak keluar kepala. Tapi selalu gagal. Walhasil emosi itu keluar lewat mulut yang terasa ngilu dua sisinya setelah terbuka lebar. Lalu perih. Perih sekali kelihatannya.
Sepanjang hari ia hanya dalam kotak yang mengapung. Berhari-hari. Berminggu-minggu. berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
“heh! tak lihatkah kau diluar sana hujan menggila. Guntur tak bisa diam. Panjang sekali gaduhnya. Aku benci. Aku benci basah. Juga keributan yang sial itu” begitu jawabnya ketika satu sore yang cerah seekor cicak bertanya padanya. Apa yang membuatnya tak ingin keluar kotak.
Sering sekali. Satu lorong tercipta sekelebat. Lorong itu terbentang dari kedua matanya hingga kebingkai besar yang tertempel pada didinding didepannya. Diwaktu-waktu tubuh itu diam tak gerak. Frame itu selalu beradu hantam dengan tatapan matanya yang lelah. Lorong itu tiba-tiba saja ada ketika ia dan foto-foto yang ada didalam bingkai itu berdialog. Ah bukan. Maksudku, Ramai sekali disana. Ya. Dalam bingkai itu ramai sekali.
Lorong itu lalu ia jadikan penghubung antara ia dan satu masa yang pernah menjadi miliknya; masalalunya. Masa yang selalu mengetuk-ngetuk dibalik dinding yang bisu. Dalam lorong itu, ia rasakan jiwanya berlari menuju foto-foto yang ia suka. Gambar-gambar dengan latar belakang keceriaan dan suka cita. Masuk kesalah satunya dan seolah tengah melaluinya. Suasananya persis seperti ketika foto itu diambil.
Berlari ia kesana. Larinya kencang. Tapi ia tak tau pasti telah berapa jauh ia berlari. Daun-daun memory yang gugur membawanya ketempat Foto-foto itu diambil. Disatu masa keemasan yang pernah ia kantongi. Dimasalalu. Masa yang selalu menggarut-garut daun pintu.
Sekejap saja. Ia ada dipinggir danau bersama tujuh perempuan lain sebayanya. Perempuan-perempuan ranum dengan senyum bak vaksin yang maha dahsyat bagi lawan jenisnya. Ketujuhnya lalu berpose diatas tanah berpasir menjorok kebirunya air. Didetik yang kesepuluh. Timer kameranya terjepret. Lalu menjadi sebuah potret yang indah seindah langit biru cerah diatasnya.
Disatupersekian detik selanjutnya, lorong itu berpindah. Berpindah lagi dan lagi dari satu potret kepotret lainnya dan merasakan hal yang sama. Setiap jepretan menyelesaikan lembaran suasana latarnya. Lalu suasananya pun berganti bak slide show diopera yang sama tanpa penonton.
Hingga tiba disatu detik berikutnya. Lorong itu menghubungkan dimensi tatapannya pada satu potret. Potret dirinya dan seorang lelaki. Lelaki itu memeluk pinggang rampingnya. Mereka begitu dekat dan serasi.
“satu..dua..tiga..!”
“jepret…!”
Lalu tiba-tiba guntur kembali bersuara. Ia terkejut. Hendak merapatkan pelukannya kelelaki dusampingnya itu. Namun sosok itu lenyap. Ia jadi ketakutan. Sendiri dan jiwanya kembali kedalam kotak.
“perempuan gilaa!! Buka pintunya sekarang atau aku akan mengirimmu kerumah sakit jiwa. Bukaa…!!
Suara guntur itu menakutkan sekaligus menyebalkan.
“Dasar sialan!! Hati kecilnya geram. Suara itu membuat matanya berkedip. Memutuskan lorong ciptaannya. Lorong terhebatnya. Lorong yang membantunya kembali kemasalalu. Satu masa yang keluar dari lolongan anjing tengah ditengah malam dimalam-malamnya yang panjang.
“SETAAAAAAN…!!!
Pergiiii jangan ganggu aku!!!” Ia coba balas guntur yang mengacaunya barusaja. Lalu suara diluar kotak berubah semakin gaduh. Rintik hujan, guntur, tikus dan cicak berdebat berapi-api. Namun baginya tak cukup berarti, bahkan sedikit konyol.
“Semua ini gara-gara kamu! Kamu yang terlalu mendukung hubungannya dengan lekaki sialan itu! Kamu yang terlalu wellcome! Kamu yang mengusulkan pertunangan mereka! Kamu yang….”
“Ahh….. Diaaaaaaam!!
Dengar aku, aku melakukannya demi kebahagiaan masadepannya. Dia itu lelaki perfect. Tidak seperti kamu dulu ketika menikahiku. Segala-galanya harus dengan uang. Dengar! Uang!. Aku hanya tak ingin dia bernasib sama sepertiku yang punya suami bodoh macam kau!!”
“Plak….!!”
Air hujan menjadi panas. Bekas telapak tangan membentuk awan diatas sana. Merah warnanya.
“benar aku bodoh. Benar aku miskin. Tapi aku tak sampai membuatmu gila. Camkan itu!!”
Guntur membela diri dengan kilatan menusuk masuk kelogika derasnya hujan. Kegaduhan terhenti setelah tikus-tikus dan cicak-cicak bertausyiah. Lalu diluar kembali hening. Begitu sering perdebatan konyol itu terjadi. Sudah hafal benar kupingnya. Hafal akan kalimat-kalimat bodoh dari hujan dan guntur yang tak tahu seperti apa rasanya menjadi perempuan seperti dirinya. Tikus dan cicakpun tak faham benar, bagaimana simfoni rohani yang sesungguhnya ingin ia dengarkan.
Mereka hanya berkata-kata. Tapi tak lihat ada lubang luka yang menganga disela-sela selangkangannya. Sakitnya naik kejantung dan kepalanya. Sakit itu selalu beradu dengan realita tragedi kisahnya yang getir dan memuakkan.
Hinngga tiba pada suatu hari didalam kotak. Perempuan itu masih telentang. Ditatapnya potret itu lagi satu persatu. Kali ini tanpa lorong. Tanpa dimensi waktu yang ia ciptakan sendiri. Entah apa yang membuat lorong itu tak lagi muncul.
Hujan diluar sana berhenti. Musimnya telah bosan. Air diatas sana telah habis tersiram mungkin sia-sia. Langitpun mengatup hingga guntur tak lagi bersuara.
Perlahan tubuh itu bangkit ; masih dalam keadaan telanjang. Kedelapan sisi saling menebak apa yang akan dilakukan olehnya selanjutnya. Penasaran. Gerak ringkiknya begitu lemah. Mengerang ia menahan sakit disendi-sendinya yang lama tak gerak. Kedua tangan menopang tubuh dari belakang lalu berdiri perlahan setelah susah payah. Dahinya berkerut. Mata dan mulut sama hitam merengut. Waktu akan merasa sulit bila harus menjelaskan kenap ia tampak begitu tua sebelum waktunya.
Ia angkat kaki kanannya perlahan lalu maju. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima lalu berhenti. Sampai ia ditujuan. Merapat ia kedinding. Dinding dimana bungkai besar itu ditempel lima tahun lalu.
Disana ada sahabat-sahabatnya. Keluarganya. Dia sendiri dan seorang lelaki tampan yang memeluknya disebuah caffee. Indah sekali. Hatinya bergetar. Seperti getaran yang dulu ia rasakan ketika didekatnya. Sama persis ketika suasana itu ia lalui kala itu.
Perlahan-lahan tangan kanannya ia gerakkan. Kembali gemeratak tulang bahunya terdengar dirongga dalam telinganya. Ah berisik sekali. Sesaat jarinya menyentuh wajah lelaki yang ada difoto itu. Ia raba dengan telunjuk. Dari wajah kedadanya. Kembali lagi kewajah lalu turun lagi kedada. Hingga debu yang menempel diatasnya ikut tersapu entah dengan asa yang seperti apa. Ia rindu. Sangat rindu. Lalu telunjuk itu bergerak kesamping kanan. Ia raba pula potret dirinya yang kala itu merasa sangat bahagia. Jarinya menyentuh wajahnya sendiri dipotret itu lalu turun kedada. Kewajah lagi kemudian turun kedada hingga berhenti tepat disana.
“ini dadaku…dadaku…aku dan kekasihku…”
Lama jiwanya menerawang kemasa lalu. Masih jelas diingatan sore itu seorang lelaki mengirimnya pesan singkat untuk mengajaknya keluar.
Kekasihnya. Lelaki yang sangat menyayanginya. Lelaki yang sangat mencintainya. Lelaki yang telah ia beri segala yang ia milikki. Jiwa raga dan ikrar setia untuk kelak diperisteri olehnya. Pada sebuah cincin yang dipakaikan didepan keluarganya dan keluarga lelaki itu. Jauh ia melayang merasakan kembali bahagia itu dari awal hingga nyaris ke akhir. Lalu tiba-tiba raut muka datarnya berubah beringas. Ia teriak histeris lalu marah. Lagi-lagi kedelapan sisi kotak itu penasaran. Apakah yang akan dilakukan sigila ini lagi.
“Pengecut….!!
Hahahahaha
Ini anjing pengecut!!
Anjing yang takut betinanya berdada cacat. Hahahahaaa ini hilang dadaku!!
Dadaku hilang. AH ANJIING!!!!
Ia jambakki rambutnya yang kusut seraya mencakar potret-potret yang ada diframe itu hingga sebagian jatuh kelantai. Cakarannya menyisakan goresan dibeberapa potret yang masih menempel. Mulutnya terus meneriakkan makian dan sumpah serapah lalu menangis terduduk bersandar lemas kedinding. Lantas semua kembali hening.
Delapan sisi masih saling menebak, ketika ia tersadar dari duduknya setelah tadi marahnya memuncak. Perlahan ia gerakkan kembali tubuh ringkiknya yang kesakitan. Merangkak menuju tempat ia semula berbaring diatas tikar pandan yang mulai merasa jijik karena harus menjadi alas bagi perempuan itu.
Ia tidur lelap karna cukup lelah. Amukannya membuat ia mengantuk dan benar-benar lemas tak berdaya. Entah sekuat apa emosi itu mengakar disanubarinya. Ia pun tertidur. Mukanya lebih pucat dari biasanya. Rambutnya terurai berantakan. Tangan kembali terlipat diatas perut yang rata. Diatasnya lagi tulang-tulang rusuk mencuat semakin terlihat jelas bak keris-keris berbaris rapi. Lelap benar ia pulas. Hingga dua setengah hari selanjutnya ia masih tetap tidur pulas. Sementara kotak terus melayang-layang diudara yang kering gersang.
Kedelapan sisi kotak tak lagi berani menerka-nerka. Mereka diam membisu seperti tubuh tuannya yang tak lagi bergerak. Sementara frame besar itu bergantung miring berayun-ayun. Sebuah pakunya barusaja terlepas dari dinding. Beberapa potret masih melekat. Berhikayat tentang keriangan dimasalalu siempunya raga malang. Satu masa yang memanggil-manggil namanya untuk menjumpai ketiadaan yang sebenarnya.
“Jenni! Kemarilah!”
Sebuah potret terindah adalah potretnya dan lelakinya. Namun amarahnya kemarin lusa telah meninggalkan bekas kuku tepat diwajah lelaki dalam potret itu. Tidak. Dari wajah menggaris kedadanya. Iya.
“Ketika dadaku jadi cacat. Ketika itu pula hilang aku didadamu” Bisikan udara pengap dalam kotak. Kotak yang tak lagi ada detak-detak kehidupan didalamnya.
Pada sebuah koran pagi terpampang potret mayat perempuan telanjang dengan muka disamarkan. Dibawahnya bertuliskan;
Seorang wanita yang mengalami gangguan jiwa tewas misterius dalam kamarnya.
Takengon, Senin 5 nov 2012
sumber
0 comments:
Post a Comment