Rahasia Dibalik Rumah Tua Itu Part. I

Hidup merupakan sebuah pengalaman nyata yang tidak bisa dipermainkan, sekali kau mempermainkan hidupmu, maka jangan harap kalau kau bisa mendapatkan kehidupan sesuai dengan yang kau harapkan. Dalam hidup ini, terdapat banyak sekali rahasia yang tidak bisa diungkapkan.

Sepuluh tahun yang lalu, saat usiaku masih delapan tahun, aku dan keluargaku tinggal di sebuah perumahan elit di pusat kota Jakarta. Tepatnya di blok I-22, rumahku berada di pinggir sebuah gang buntu. Di pojok gang tersebut, terdapat sebuah rumah yang konon katanya merupakan rumah termewah di perumahan itu. Rumah itu bercorak bangunan lama dengan beberapa tiang tebal dan tinggi. Rumah tersebut mempunyai tiga lantai. Rumah yang bagaikan sebuah istana dengan halaman yang sangat luas. Sayangnya, rumah tersebut tak berpenghuni, rumah yang dulu kata orang-orang sangat bersih dan asri itu kini bagaikan sebuah bangunan tua dalam hutan yang rindang. Ya, tanaman-tanaman dan pohon-pohon yang ada di halaman rumah itu semakin lebat dan tinggi. Benar-benar mirip hutan.

Suatu hari, aku dan beberapa temanku bermain bola di jalanan depan rumah itu. Karena memang pojok gang merupakan tempat yang aman, sehingga bola tidak mungkin terpantul ke kompleks lain di belakang tembok buntu itu.

Saat giliranku menguasai bola, aku menendangnya dengan sekuat tenaga untuk mencetak gol di gawang lawan yang dibuat dengan menaruh batu bata di kedua sisi. Tapi apa yang terjadi? Tendanganku melesat ke atas dan melewati pagar tinggi rumah kosong itu.
“Hah, dasar kamu ini! Lihat tuh, bolanya masuk ke rumah gede itu!” teriak salah seorang teman bertubuh gembul, namanya Dio.
“Sorry, sorry, nanti ku ambil deh..” ucapku
sambil melirik rumah itu. Ini masih jam empat sore, tapi suasana di dalam sana sudah terlihat sangat gelap.
“Aaaaah.. nggak mau tau, pokoknya ambil sekarang!” sentak Roni, temanku yang tubuhnya pendek dan kurus.
“Iya, iya, ku ambil sekarang!!” sahutku ketus. Ya, namaku Sugar. Tubuhku lumayan tinggi untuk ukuran anak berusia sepuluh tahun, dan aku tidak gemuk ataupun kurus.
“Yakin, mau kamu ambil sekarang? Di dalam gelap lho..” tanya Fikri, sahabatku.
“Iyalah, mau gimana lagi, kan dia yang nendang, ya dia dong yang harus tanggung jawab!” tukas Roni dengan gaya angkuhnya.
“Tapi yang main bola kan bukan cuman Sugar. Gimana kalau kita ambil bareng-bareng aja?!” Fikri masih membelaku. Sedangkan aku sudah siap membuka gerbang baja tanpa gembok itu.
“Ngapain kita ikut-ikutan masuk? Biarin si Sugar aja, napa?!” sahut si gendut Dio.
Aku langsung menoleh ke arah Dio, “Ah, jangan-jangan si Dio takut, lagi? Badannya aja yang gede, tapi nyalinya ciut!” ejekku iseng.
Dio langsung geram lalu mengambil alih posisi tanganku dan membuka gerbang itu. “kata siape aku takut! Ayo, semuanya masuk! Kalau ada yang kabur, awas aja lo ya.. “ ancam Dio.

Aku dan Fikri saling melempar senyum dan melirik Roni yang mulai gemetaran. “Serius, nih?” tanya Roni meyakinkan.
“Kenape, Ron? Takut ya?” godaku. Fikri menahan tawa di sebelahku.
“Ih, apaan? Siape juga yang takut..” sahut Roni pura-pura menyembunyikan rasa takutnya. “Tapi swear deh, dari rumah ini sering kedengaran suara piano, tengah malam pula!!” sambungnya.

Kami berempatpun akhirnya memasuki rumah besar itu tanpa menghiraukan kata-kata terakhir Roni tadi, dan sampai pada halaman yang lebih pantas dikatakan hutan itu. “Whoooa, muke gile, gede banget!” ucap Dio kagum.
“Bukan saat yang tepat untuk ngagumin nih rumah. Ayo, cari bolanya!” sahutku yang sebenarnya memang takjub pada rumah kuno ini. Bayangkan, desainnya benar-benar unik. Lebih tepatnya mirip dengan bangunan zaman Belanda dulu deh.
Kamipun berpencar di semak-semak. “Udah pada ketemu belon?” teriak Dio tak berapa lama kemudian. “Belon!!” teriakku. “Eh, Gar. Kayaknya tuh bola ada di dalem rumah deh..” suara Roni mengagetkanku. “Hah, kamu ini ngagetin aja! Eh, yang bener?” tanyaku.
Fikri mendekat. “Iya deh, soalnya tadi aku liat tuh bola ngegelinding ke dalem, barusan aja..” sambungnya. “Ohya?” tanyaku lagi. Akupun memberitahu Dio dan kami berempat memutuskan untuk masuk ke rumah yang warna dindingnya sudah tidak jelas apa warnanya.

Aku memperlebar pintu besar itu untuk terbuka. “Heran deh, nih rumah ternyata bukaan ya?!” sahut Dio. Benar. Memang aneh. Rumah yang biasanya tergembok rapat, hari ini pagarnya tidak dikunci, dan ternyata pintu utamanya juga sedikit terbuka.
“Apa jangan-jangan, ada hantu yang sengaja mengundang kita untuk masuk ke sini?” kata Roni yang mendadak jadi terlihat seperti korban film horror Indonesia.
“Ah, ngomong apaan si kalian pada! Ayo!” seruku, dan kami melangkahkan kaki untuk masuk sebuah ruangan yang... yang... super duper besar!!!
“Wiiiiih~ keren banget nih rumah!” sahutku kagum. “Keren dari mananya, serem tau nggak! Sumpeh, gelap banget!” sambung Roni yang udah keringatan dingin. “Hihihihihi~~~” Fikri meniru suara kuntilanak yang lagi ngeden. “Apaan sih?!!” Roni langsung menjambak rambut Fikri dan membuatnya terdorong ke arah Dio, Diopun terdorong dan tak sengaja memencet sebuah tombol.
NGIIIIIIIIIIIIIKKKK GRETAAAAAAK..

Kami serentak menoleh, dalam kegelapan seperti ini, terlihat samar-samar sebuah pintu terbuka.
“Eh, kamu mencet apa tadi, Yo?” tanyaku pada Dio. Dio mengegeleng. “Aku nggak sengaja, tadi sih si Fikri sama Roni dorong-dorongan!” jawab Dio.
“Itu tuh, kerjaannya si Roni!” sahut Fikri. “Yeee siapa suruh nakut-nakutin nggak jelas kaya gitu!” Roni membela diri. “Ssssstt.. Udah deh ah, gimana kalau kita masukin aja tuh pintu rahasia..” usulku.
“HEEEEEEHH??!!!” sahut mereka bersamaan. “Inget, Gar. Kita ke sini mau nyari bola!” kata Roni yang bulu kuduknya sudah pada berdiri. “Bener si Roni tuh..” sambung Fikri. “Ayolaaah~” bujukku. “Udeh, ayo masuk! Kapan lagi kita bisa berpetualang di rumah misterius ini! Ayo ah!” Dio pun langsung menarik tangan kami.

Di balik pintu itu, ternyata terdapat sebuah tangga. Ya, ini jalan rahasia menuju ruang bawah tanah rahasia! Gelap. Dipenuhi sarang laba-laba. Berdebu. Pengap. Semua bercampur jadi satu saat kami menuruni tangga yang terbuat dari jati itu.
“AWWW!” seruku terkejut saat wajahku menyentuh sebuah tali tepat di depanku. “Apaan?” tanya Dio. Aku langsung meraih tali itu dan menariknya. CTEEEK. Dan lampu remang-remangpun menyala. “Huuuuuft.. ternyata lampu..” ucapku lega. “Eh, temen-temen...” sahut Fikri. “Apa?” tanyaku, Roni, dan Dio. Tanpa mengucapkan sesuatu, Fikri menunjuk sebuah ruangan yang ada tepat di hadapan kami. Kami semua menoleh, dan......
“Whoaaaaa~” seru Roni takjub. Dio dan Fikri menganga tidak percaya. Mataku membelalak kagum. “Kereeen...” ucapku lirih. Aku mengamati pemandangan yang luar biasa itu heran. Ada banyak sekali piano tua di sana, lengkap dengan peralatan audionya. “Gi, gimana bisa?!!!!” seru Dio tiba-tiba dengan nada terkejut. “Kenapa, Yo? Tanya Roni. Aku dan Fikri saling pandang tidak mengerti.
“Rasanya nggak mungkin, kalau alat-alat ini ada di sini...” kata Dio lagi. Tatapan matanya menerawang menembus piano-piano tua itu. “Emang kenapa? Ada apa sih?” tanyaku penasaran.
“Kata Ibuku, dulu, jauh di zaman dulu banget. Malahan sebelum ibuku nikah, katanya, pemilik rumah ini paling benci sama yang namanya musik!!” jawabnya dengan tubuh bergetar.

Aku tertawa. “Ah, mungkin rumah ini dijual terus dibeli sama keluarga yang suka musik..” jawabku tenang. “Itu nggak mungkin..” sahut Fikri. “Kenapa?” tanyaku lagi. “Soalnya, rumah ini, dulunya punya seorang bangsawan kaya, dan mereka sama sekali nggak pernah pindah rumah. Seandainya ada salah satu dari anggota keluarga ini yang suka musik, mereka pasti langsung dibunuh.. dan emang bener, beberapa tahun setelah itu, pasangan suami istri yang punya rumah ini ditemuin meninggal dunia..” sambung Roni dengan wajah pucat. Aku mengerutkan kening. “Kalian dapat cerita kaya gitu dari mana?” tanyaku. “Cerita itu udah nyebar di perumahan ini, tau~” sewot Roni gemetaran. “TERUS KENAPA KALIAN NGGAK BILANG DARI AWAL KALAU ADA CERITA MISTIS KAYA GITU DI RUMAH INI?!!!!!!!!!!!!!” sewotku lebih keras. ketiga temanku itu hanya menunduk. "Sorry, beneran nggak kepikiran, Gar..” ucap Fikri sambil menunduk.
“Ah, udah! Ayo, kita pulang! Nyari bolanya lain kali aja!” gerutuku kesal. Kalau anak-anak itu sudah tahu kalau ada yang tidak beres dari rumah ini, seharusnya mereka bilang dari awal. Aku terus mengomel. Saat kami sudah sampai di pintu utama, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Pintu itu terkunci!!
“Hei, jangan bercanda! Kenapa ini nggak bisa dibuka?” seruku panik. Dio membantuku untuk membukanya, tapi percuma saja, pintu itu terkunci, dan kuncinya tidak tergantung di sini.
“HEIIII!! SIAPAPUN ITU!! TOLONG KELUARKAN KAMI DARI SINI!!!!” aku berteriak dan menggema. “Aduh, gimana nih?” Roni mulai panik. Fikri berusaha mencari tombol lampu dan menemukannya. Ruanganpun menjadi tidak segelap tadi. Waktu sudah benar-benar sore. Mau berteriakpun percuma. Rumah ini sangat menjorok ke dalam. Pintu yang tebal dan halaman yang sangat luas tidak akan membantu teriakan kami agar sampai ke jalanan.
“Pasti ada seseorang di rumah ini!” sentakku. Mereka menatapku cemas. “HEI! DASAR ORANG ISENG! KELUAR DAN KASIH KUNCINYA PADA KAMI!! KAMI HARUS PULANG!!” teriakan Dio menggema di seluruh ruangan ini.

Tiba-tiba mataku menangkap sebuah lukisan terpampang di atas tempat perapian. “Siapa, orang-orang itu?” tanyaku. Teman-temanku langsung memperhatikan gambar itu. Gambar seorang wanita konglomerat bergaun, pria yang memakai kemeja putih, berdasi kupu-kupu dan berjas hitam dengan kumis tebal, serta seorang anak laki-laki di tengah mereka. Orang-orang itu, mungkinkah...
“Apa mereka, bangsawan yang tinggal di rumah ini?” tanyaku lagi. Mereka diam. “Mungkin..” jawab Dio datar. Aku mendekati perapian dan mengambil sebuah jurnal kecil di atas meja yang usang dan berdebu. Aku mengusap debu-debu itu dan membukanya.
“Ini sebuah catatan.” Seruku. “Coba kamu baca, Fik.. Tulisan ini terlalu kecil..” aku memberikan catatan itu pada Fikri.
PROFIL PENULIS
Name: Agnia Rizqi Wardani
Nick Name: Gina
Age: 19
College: State University of Surabaya
Facebook: Agnia Rizqi Wardani
Twitter: @ginagina4869
Quote: You are what you think about :)

No comments:

Post a Comment