Fikripun mulai membacanya. “13 Maret.
Hari ini aku membawa piano-piano itu ke ruang bawah tanah dengan bantuan
kakek. Untung saja ayah dan ibu tidak tahu. Ah, aku tidak sabar ingin
menyentuh dan bersenandung dengan mereka.”
“20 Maret. Aku berlatih piano dengan kakek. Nada-nadanya sangat indah dan lembut. Aku sangat bahagia! Kakek mengajariku musik Beethoven, Bach, Chopin, dan Mozart. Ayah dan ibu seharusnya melihat bakatku ini. Tapi sayangnya, mereka membenci musik! Mereka membenci segala jenis musik. Mungkin mereka masih mengingat insiden masa lalu itu. Dulu, jauh sebelum aku lahir, mereka punya anak perempuan. Sebagai keluarga bangsawan, mereka mengajari kakakku itu bermusik, dan kakakku tumbuh menjadi pemusik cilik yang sangat hebat, tepatnya seorang pianis cilik. Saat di perjalanan menuju pertunjukan, kakak membawa piano kesayangannya itu bersamanya. Ia tidak mau memakai piano selain miliknya. Dan saat itu pula, kecelakaan maut merenggut nyawanya, posisi kakak yang saat itu tertindih piano membuat ayah dan ibu sedih dan histeris. Sejak saat itu, mereka membenci musik. Terutama segala yang berhubungan dengan piano..”
“12 April. Jari jemariku sudah lancar memainkan tuts piano. Ini semua berkat kakek. Tapi hari ini kakek absen mengajariku. Ia sedang sakit. Sudah satu minggu ayah dan ibu melakukan perjalanan jauh, dan itu membuatku bebas memainkan Love Story milik beethoven, yang paling kusukai diantara berbagai lagu..”
“15 April. Keadaan kakek semakin memburuk. Hari inipun aku berlatih sendiri. Aku benar-benar berlatih dengan giat. Kakek, aku harap kau segera sembuh..”
“20 April. Sudah lebih dari seminggu sejak kakek sakit. Besok ayah dan ibu berencana pulang. Hari ini aku memainkan Fur Elise milik beethoven.. suaranya menggema di seluruh penjuru rumah..”
“21 April. Ayah dan ibu pulang. Sebelum mereka tiba, aku sudah menyelesaikan Symphony ku..”
“22 April. Ayah dan ibu mulai menaruh curiga padaku karena setiap kata yang kuucapkan selalu berhubungan dengan piano. Tadi aku keceplosan menjelaskan pada mereka bahwa Chopin lahir 60 tahun setelah Bach meninggal. Aku langsung meralatnya bahwa aku tahu itu dari sebuah buku..”
“30 April. Kakek meninggal. Kini aku benar-benar merasa kesepian.”
“Hei!! Ini, buku harian si anak yang ada di lukisan itu ya?” seru Dio. Aku mengangguk. “mungkin.. “ jawabku. Roni mendekatiku “Apa nggak apa-apa kalau kita baca buku harian ini? Kalau nanti orang yang ngunciin kita ini tau, bisa-bisa kita dicelakain!!” serunya panik. “Iya juga tuh..” sambung Fikri. “Tapi kita kan masih belum tau siapa orang iseng yang ngurung kita di sini. Mungkin aja dengan baca ini, kita bisa tau penyebab pasangan suami isrti bangsawan yang meninggal secara misterius itu..” usulku. “Betul! Kalau emang kematian mereka ada hubungannya dengan ini, kita bisa lapor polisi!” sahut Dio membelaku. Fikri menyerahkan jurnal itu padaku. Aku berusaha membaca tulisan-tulisan kecil itu. Kami semua duduk di sofa tua di depan perapian.
“8 Juli. Ayah dan ibu memergokiku sedang memainkan piano di ruang bawah tanah. Mereka menyiksaku mati-matian!!”
“10 Juli. Meskipun tubuhku masih sakit karena cambukan ayah, aku tetap berusaha untuk memainkan piano.”
“13 Juli. Ayah dan ibu mengancam akan menembakku dengan senapan mereka kalau aku tidak juga berhenti. Aku mencoba membela diri dan mengatakan bahwa dendam mereka sungguh keterlaluan!! Namun yang kudapat adalah pukulan tangan ayah yang sangat menyakitkan.. Malam ini, aku tidur di ruang bawah tanah dengan tubuh penuh luka..”
“14 Juli. Ibu masuk ke kamarku dan bicara baik-baik padaku. Ia memohon padaku untuk segera menghentikan permainan bodoh ini. Aku menangis dan memeluk ibu. Aku memohon maaf padanya bahwa aku tidak bisa. Piano dan musik sudah melekat dalam jiwaku, dan itu juga merupakan satu-satunya kenanganku bersama kakek. Ibupun kecewa dan meninggalkanku..”
“18 Juli. Aku dipanggil ke ruang keluarga oleh ayah. Ia memberiku pilihan, meninggalkan semua musik itu lalu kembali hidup normal, atau meneruskannya tapi ayah akan menyiksaku setiap hari. Aku dengan tegas menjawab bahwa aku akan tetap meneruskannya, apapun yang terjadi. Pukulan ayah langsung melayang di wajahku..”
“20 Juli. Aku memang meneruskan permainan ini. Tapi ada saja yang dilakukan ayah untuk mencegahku dan menyiksaku. Ibu menangis setiap hari karena tidak tega melihat keadaannku. Tapi, aku tidak akan menyerah. Meskipun tubuhku kini penuh dengan luka.”
“21 Juli. Dendam mereka pada insiden itu sungguh sangat sangat KETERLALUAN!!!!”
“22 Juli. Aku kembali dipanggil ke ruang keluarga. Kali ini ayah mengancamku dengan senapan! Aku tidak takut. Sekalipun aku harus mati demi memperjuangkan apa yang aku inginkan, aku sama sekali tidak peduli! Memang sejak kapan mereka peduli pada perasaanku?! Saat ia hendak menarik pelatuk, aku merebut senapan itu dan menarik pelatuk itu, hingga mengenai ayah dan ibu yang saling melindungi..”
“23 Juli. Aku masih tidak percaya. Aku, membunuh kedua orang tuaku..”
“26 Juli. Ku rasa, aku mulai gila...”
“27 Juli. Aku sudah benar-benar gila sekarang. Setan saat itu sudah menguasaiku. Bocah berusia sembilan tahun membunuh orang tuanya sendiri..”
“29 Juli. Polisi datang ke rumah. Mayat kedua orang tuaku mereka temukan dan akhirnya mereka bawa. Aku menyembunyikan diri di ruang bawah tanah, dan aku berhasil. Mereka tidak menemukanku..”
“30 Juli. Polisi-polisi gila itu masih tetap mencariku..”
“31 Juli. Mereka tidak akan menemukanku!!”
“Ya ampun...” tubuh Roni kaku. Begitu pula aku, Dio, dan Fikri. “Anak ini, yang ngebunuh orang tuanya? Serius?” sahut Fikri. “Terus, di mana anak itu sampai sekarang? Apa jangan-jangan ..... “ sambung Dio. Aku menggeleng tidak bisa membayangkan. “Kita harus keluar!! Di luar udah bener-bener gelap!! Pokoknya kita harus keluar!!!” aku berteriak dan kamipun berdiri.
“Kalian nggak akan bisa lari, anak-anak~~” suara seseorang bertubuh kurus dengan pakaiannya yang lusuh membuat kami seperti tersetrum listrik berjuta-juta volt. Seorang pria yang terlihat tua berdiri tepat di hadapan kami. Pria itu, mungkinkah ...?
“Ka, kamu siapa?!!” bentak Dio ketakutan. Pria gila itu malah tertawa terbahak-bahak. “Kalian sudah tahu rahasiaku. Maaf, aku nggak bisa membiarkan kalian tetap hidup. Hahahahahahaha..” erang pria itu. Kondisinya sungguh tak terawat.
“Kamu? Jangan bilang kalau kamu adalah .... “ ucapku. “Nggak!! Nggak mungkin!!!” Fikri berteriak ketakutan. Sedangkan Roni memelukku erat di belakangku.
“Hahahahahaha. Apa? Kalian masih belum sadar siapa aku? Hahahahahah.. aku, adalah si anak kecil itu. Puas, kalian?!!!” teriaknya sambil berusaha menangkap kami. Dengan sigap kami berlari entah kemana. Pria itu mengajar kami membabibuta.
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” teriak kami serempak saat pria itu mengibaskan pisaunya.
Tiba-tiba mataku menangkap sebuah bola. Ya! bola kami! Tujuan kami datang ke sini akhirnya ketemu! Aku mengambilnya dan menendangnya sekuat mungkin ke arah si bangsawan tua itu. Tendanganku berhasil mengenai wajahnya. Pria itu jatuh terduduk dengan kaku. Ia mengerang marah.
“TEMAN-TEMAN! CEPET BANTU AKU!! AMBIL APA AJA YANG BISA BUAT NGELAWAN BULE GILA INI!!!” perintahku. Mereka pun berpencar dengan panik.
Pria itu mencoba berdiri dengan wajahnya yang babak belur akibat ulahku barusan. Ia benar-benar marah dan langsung mengangkatku. Aku menatap pria itu ketakutan. Teman-temanku belum juga kembali. Pria itu menjambakku dan hampir menusuk perutku dengan pisau sampai akhirnya sebuah pukulan mengenai kepalanya. Dio berhasil memukulnya dengan palu. Darah segar mengucur dengan deras dari ubun-ubun kepalanya. Pria itupun terhuyung ke lantai. Dio gemetaran dan berkeringat dingin “semoga orang itu nggak mati..”
“Makasih!!” seruku sambil gemetaran dan berlari ke arah Dio. “Kuncinya ketemu!!” teriak Roni. Fikri menghambur ke arahku “kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya khawatir. Aku hanya bisa memaksakan senyum dengan jantungku yang berdegup keras sekali. Tanpa berpikir panjang, kami segera meninggalkan rumah tua itu dan pulang. Hari itu, langit sudah gelap, sangat kelam.
NGIUNG NGIUNG NGIUNG NGIUNG. Sirine mobil polisi bersahut-sahutan mengepung rumah tua itu. Ada yang mengangkut si bangsawan itu ke dalam ambulans. “untungnya, orang itu nggak mati..” pekik Dio gemetaran di balik pelukan ibunya. Ia menatap tangannya sendiri. Ku lihat Fikri dan Roni juga berada dalam pelukan ayah dan ibu mereka. Aku hanya bisa menatap tubuh kurus nan lusuh serta penuh darah itu dengan tatapan iba. Aku mengelap keringat dinginku. Sedangkan ibu sibuk mengobati beberapa luka di tanganku. Setelah selesai diobati, aku berlari untuk melihat dengan lebih jelas. Polisi-polisi itu segera menangani kasus sang bangsawan dan pergi. Ternyata, si bangsawan itu sudah berpuluh-puluh tahun bersembunyi di rumah tua itu. Tanpa melihat dunia luar. Tanpa berinteraksi dengan siapapun. Memakan apa yang bisa ia makan. Dan tidak berhenti memainkan nada-nada kesayangannya dengan piano yang penuh kenangan bersama kakeknya itu.
Ketika mobil-mobil polisi dan ambulans itu pergi, semua gerombolan orangpun ikut lenyap dan masuk ke rumahnya masing-masing.
Aku tidak bisa tidur. Aku hanya menatap langit-langit kamar dan melamun. Sampai tiba-tiba aku teringat sesuatu dan merogoh saku celanaku. Aku memperhatikan foto lusuh itu. Foto seorang anak perempuan cantik keturunan bangsawan, dengan seorang pria dan wanita bangsawan di sampingnya. Mereka bertiga tersenyum. Aku membalik foto yang kutemukan di bawah piano itu dan menemukan sebuah tulisan. “Our first and last child. The most precious thing we have. Passed away when we realized that we wouldn’t have children anymore..”. Aku terkejut.
Ku rasa, polisi-polisi itu belum sepenuhnya memecahkan kasus keluarga bangsawan pemilik rumah tua itu. Hal terpenting yang tidak berhasil mereka temukan, hal terpenting yang membuat si pria kurus itu merasa benar-benar gila, dan hal terpenting yang membuat si pria kurus itu berlatih piano dengan giat, adalah karena ia ingin membuktikan kalau ia lebih unggul dari kakaknya, atau lebih tepatnya anak dari pasangan bangsawan si pemilik rumah tua itu. Karena sudah sejak dulu ia tahu, kalau ia bukan anak kandung mereka.
PROFIL PENULIS
Name: Agnia Rizqi Wardani
Nick Name: Gina
Age: 19
College: State University of Surabaya
Facebook: Agnia Rizqi Wardani
Twitter: @ginagina4869
Quote: You are what you think about :)
Nick Name: Gina
Age: 19
College: State University of Surabaya
Facebook: Agnia Rizqi Wardani
Twitter: @ginagina4869
Quote: You are what you think about :)
No comments:
Post a Comment