Ibu uuuuuu……., jangan tinggalkan aku bu, ibu bangun bu…, bangun bu…
Sudah lah nak..ikhlaskan kepergian ibumu, kamu harus tabah, biar ibumu pergi dengan tenang.., Haji Somad menenangkanku.
Semua sudah diatur yang di atas, semua yang bernyawa pasti mati, kita semua akan mati, lanjut pa Haji menasehatiku.
Ya..ya pa Haji…
***
Sambil duduk termenung di teras samping aku mendengarkan radio, dari sebuah pemancar FM radio swasta, sudah berapa lagu mengalun, namun tidak membuatku terhibur, walaupun penyiarnya selalu mengatakan “ semoga para pendengar terhibur ”. Malam semakin larut, kian menampakkan keangkerannya, suara anjing mengonggong sahut menyahut, menambah semakin mencekam, bulan purnama sedang sembunyi di balik awan gelap, sepertinya malam ini akan hujan, malam terus menampakkan keangkuhan, namun banyak menyimpan misteri. Suara anjing itu semakin tidak terdengar, hanya suara gesekan ranting, melantunkan melodi kesedihan, seakan ikut merasakan keperihan hatiku, namun ini justru menambah laranya hati, terasa mencabik cabik sampai ke kulitku. Bunyi detak jam dinding di ruang tengah, serasa tak seirama lagi, namun perjalan detik menuju menit terus menuju jam, seperti mengisyaratkan tentang kehidupan ini yang sangat pendek, aku terus larut dalam lamunan yang tak bertepi, hanyut tanpa batas, aku masih tak percaya akan kepergian ibuku yang sangat menyayangiku.
Ibu meninggal dipanggkuan ku, setelah berbulan bulan menderita sakit, dokter bilang, sakit ibu karena tekanan batin yang mendalam. Sebelum sakit, ibu lebih banyak diam, makannya juga sudah tidak teratur lagi, bahkan kadang satu hari ibu tidak makan dan tidak ngomong, hanya mengurung diri di kamarnya.
Perasaanku berbeda dengan saat ayahku meningal dulu, aku masih berumur 4 tahun, aku tidak mengerti apa yang terjadi, pada saat ayahku meninggal, aku justru asyik bermain mobil mobilan, yang dibelikan ayahku seminggu sebelum dia meninggal, ibu selalu menceritakan tentang ayahku, yang sangat sayang kepadaku, karena aku anak laki laki semata wayang, yang di harapankan mengganti dia, dalam mengelola bisnisnya. Namun ayahku begitu cepat meninggalkan aku, ayahku meninggal karena kanker. Sepeningal ayahku, ibuku lah yang melanjukan bisnis ayahku.
Aku masih beruntung, walau aku anak yatim, namun aku masih bisa sekolah dengan baik,berapa banyak anak yang tidak bisa sekolah, karena ketiadaan biaya. Sedangkan aku walau ditinggal ayahku, aku berlimpah harta, karena harta peninggalan ayahku sangat banyak, dan ibuku sangat piawi dalam berbisnis, melanjutkan usaha ayahku.
Walau ibu sibuk dengan bisnis peninggalan ayahku, namun tidak mengurangi kasih sayangnya kepadaku. Setiap hari ibu melayaniku, dari memandikanku, menyuapi aku makan, dan antar jemput aku ke sekolah, sejak aku di Taman Kanak kanak hingga sampai Sekolah Dasar. Dia sempatkan waktu sengangnya untuk bermain dengan ku, kadang aku diajak jalan jalan ke tempat rekreasi,ke pantai, ke taman ria, kadang ibu juga mengajak aku ke museum. Setiap aku mau tidur, ibu selalu bercerita tentang pahlawan Indonesia, bagaimana kehebatan para pejuang kita melawan penjajah, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, RA. Kartini dll. Lain waktu, ibu menceritakan kehebatan para pejuang Islam, dalam mendakwahkan Islam, diantaranya para sahabat Nabi saw, seperti Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Ibu juga menceritakan kehidupan Rasulullah, yang sejak dalam kandungan sudah ditingalkan ayahnya, umur enam tahun ditinggalkan ibunya, lalu dipelihara kakeknya Abdul Muthalib, namun tidak lama cuma dua tahun saja, kakeknya meninggal, kemudian dipelihara oleh pamannya Abu Thalib sampai beliau menjadi Rasul.
***
Ton..toni, bangun nak, ayu bangun, nanti terlambat ke sekolah, ibu membangunkan aku
Aku masih ngantuk bu, jawabku tanpa beranjak,
hari ini, hari Senin ada pelajaran sejarah...lho.., kamu suka kan...., bujuk ibuku
Aku sekarang sudah kelas dua Sekolah Dasar, di kelas dua ada pelajaran sejarah Indonesia, aku memang sangat menyukai pelajaran sejarah, aku mengagumi keperkasaan para pejuang dalam menumpas para penjajah. Aku bercita cita ingin menjadi guru sejarah.
Ulang tahunku bulan kemaren ibu memberikanku hadiah buku sejarah Indonesia, aku gembira sekali, setiap hari aku baca, walau sudah selesai aku, baca lagi, sudah tiga kali aku mengulanginya, aku sangat hafal cerita para pejuang, terutama tentang Budi Utomo, pahlawan pendidikan dari Jawa Timur.
Pada hari Senin kemaren pada saat pelajaran sejarah, pak Guru menceritakan tentang sejarah Panglima Sudirman, bagaimana beliau memimpin perjuangan, walau dalam keadaan sakit, tidak mengurangi semangat juangnya.
***
Hari ini ibu tidak mengajak aku jalan jalan, padahal hari ini hari libur, namun aku juga agak malas keluar rumah, maunya diam di rumah saja, mungkin juga ibu sudah menganggap aku sudah besar, memang sejak aku SMA ibu sudah jarang mengajak aku jalan jalan, apalagi sejak kejadian empat bulan yang yang lalu, dan itu terakhir ibu mengajak aku jalan jalan rekreasi, pada waktu itu kami ke pantai aku sedang jalan jalan di pantai ibu duduk kafe sedang minum teh, di kafe itu ibu bertemu dengan temannya waktu SMP dulu, setelah asyik bercerita kenangan masa lalu mereka, aku datang mendekat ibuku, teman ibuku itu agak kaget melihatku, lama dia terdiam, setengah berbisik aku dengar teman ibuku bertanya kepada ibuku, “suamimu ya, muda sekali ya..”, ibu ku tersenyum dan sembari menjelaskan bahwa aku anaknya.
Ibu sedang asyik membaca buku, seratus tokoh berpengaruh sepanjang jaman. Aku lagi nonton TV acara kesayanganku tentang flora dan fauna. Cuaca agak mendung, seperti mau hujan.
Assalamu alaikum… , suara orang memberi salam di depan rumah, memecahkan keheningan pagi.
Wa alaikum salam..jawab ibuku pelan.
Toni... tolong lihat siapa yang datang..., pinta ibuku.
Ya..bu
Assalamu alaikum.. suara orang di luar mengulang salamnya,
Wa alaikum salam.., jawabku,
Aku membuka pintu, ku lihat seorang pemuda kurus, dengan pakaian yang lusuh, badannya kotor, kelihatannya pemuda ini tidak terawat, agak lama kami saling tatap, pemuda itu tersenyum agak dipaksakan, akupun membalas senyumnya.
Siapa yang datang Ton…, tanya ibuku dari dalam …
Aku tidak segera menjawab pertanyaan ibuku, karena mataku masih menelusuri seluruh tubuh pemuda itu, dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya, aku jadi iba melihatnya. Pemuda itu jadi salah tingkah, dia pun ikut ikutan melihat tubuhnya sendiri, sekali sekali dia kembali menatapku. Agak lama kami saling tatap lagi, dan diam....
Maaf mas... ada yang salah kah dengan saya..., pertanyaannya mengagetkan ku
Aahh...enggak,...., sepertinya saya pernah lihat saudara, jawabku sekenanya.
Dia tersenyum..., tanpa ada kata yang terucap.
Saudara mencari siapa...?
Sorry mas..., pemuda itu mulai bicara, tapi langsung ku potong
Ini masih pagi, belum sore, jawabku sambil tersenyum
Maksud saya mohon maaf..., sebenarnya saya kesini mau cari pekerjaan, mungkin ada yang bisa saya kerjakan, apa saja mas..., yang penting saya bisa makan..., kata pemuda itu melanjutkan omongannya.
Aduuh...., (sebenarnya tidak ada yang sakit sih, ini hanya ucap sepontan, yang aku sendiri tidak tahu kenapa) kerja apa ya..., jawabku
Apa saja mas...
Toni ...siapa yang datang itu..., ibuku bertanya lagi. Aku berjalan agak tergesa menuju kamar ibu,yang sedari tadi membaca buku.
Anu ...bu...
Anu apa Ton....
Itu di luar ada seorang pemuda, yang minta pekerjaan, katanya sih kerja apa saja..
Ahhh...., ibuku mengangkat tangannya sambil mengeliat, mungkin sangat capek, karena terlalu lama duduk membaca buku. Ibu kalo sudah asyik membaca buku sudah lupa segalanya, kalo tidak selesai tidak berhenti.
Ibuku berdiri dan berjalan agak pelan menuju ruang tamu, kemudian lalu ke teras menemui pemuda itu.
Ada yang bisa saya bantu mas ...?,tanya ibuku
Don..., lengkapnya Ramadlan bu..., jawabnya
Saya mohon ibu bisa memberi saya pekerjaan, kerja apa saja bu..., yang penting saya bisa menyambung hidup..., saya sudah malu minta minta..., saya ingin bekerja. Lanjut pemuda itu dengan suara agak memelas.
Kamu bisa kerja apa...?
Apa saja bu...membersihkan halaman... atau merawat tanaman ... saya mau bu...., masalah gaji terserah ibu, yang penting saya bisa makan..., jawab pemuda itu berharap.
Ibu ku masuk ke ruang tamu dan menghampiriku, Ton..., bagaimana tangapanmu tentang pemuda itu..., tanya ibuku kepada ku
Masalah apanya bu...?
Yah...permintaan pemuda tersebut... jawab ibuku
Terserah ibu saja...
Jangan begitu...perasaanmu bagaimana, apakah dia orang baik..., lanjut ibuku
Menurut Toni sih terima saja..., biar dia bisa bantu bersih bersih atau memotong rumput yang di halaman...dan saya juga ada teman... jawabku tanpa pikir panjang.
Ibu kembali keluar menemui pemuda itu, aku kembali nonton tv, saya lihat ibu masih berbincang bincang dengan pemuda tersebut. Acara floura dan fauna sudah selesai, ku matikan tv, lalu aku keluar ingin tahu bagai mana keputusan ibu, tentang permintaan pemuda tersebut.
Kamu sudah makan mas Ramadlan....? tanya ibu ku kepada pemuda itu, ternyata pemuda itu bernama Ramadlan, mas Ramadlan keliatan malu malu, tapi dari raut mukanya aku bisa menangkap kalau dia belum makan.
Belum..bu.., jawab nya
Kalau begitu masuk dulu...., ucap ibuku, beranjak menuju ke belakang, tidak berapa lama ibu sudah membawakan satu piring nasi goreng, sisa sarapan kami pagi tadi, dengan segelas air teh. Ibu kalau bikin nasi goreng enak sekali. Aku sangat suka, tapi ibu bikinnya hanya pada hari libur, hari lainnya kami lebih banyak makan di luar, sekalian ibu mengantar aku ke sekolah dan ibu berangkat ke kantor, kebetulan sekolah ku satu arah dengan kantor ibu ku, ibu mengantar aku dulu, lalu lanjut ke kantornya.
Silahkan dimakan..., mumpung masih hangat...ucap ibuku.
Saya ke belakang dulu..., lanjut ibu, sambil berlalu menuju ke belakang, tinggal aku dengan pemuda Ramadlan itu yang masih duduk di ruang tamu.
Makasih bu..., jawab Ramadlan sambil meraih piring nasi, kelihatanya mas Ramadlan ini benar benar lapar, dia lahap sekali, dia makan seperti tergesa gesa. Aku tetap memperhatikan mas Ramadlan makan, mas Ramadlan mungkin baru sadar kalo dia aku perhatikan, dia tersenyum kepadaku, mengurangi volume makannya, sekarang dia makan agak perlahan.
***
Mas Ramadlan sedang asyik menyapu di halaman rumah membersihkan daun daun kering yang berjatuhan, sudah satu bulan dia bekerja di rumahku, memang sejak dia ada dia rumah kami, rumah kami jadi rame, mas Ramadlan enak diajak ngobrol, dia juga sopan, tutur katanya lembut, tidak pernah membantah kalo disuruh, pekerjaannya juga sangat rapi dan cekatan. Pagi ini cerah sekali, secerah hatiku, karena hari ini ibu mengajak aku ke pantai, ini sudah lama sekali aku tunggu, ibu lagi di dapur menyiapkan bekal untuk dibawa ke pantai, aku menyiapkan yang lainnya, sedangkan mas Ramadlan masih asyik menyapu, tapi sekarang sudah pindah ke halaman samping, tinggal sedikit lagi akan selesai.
Toni ..kamu sudah siap...?, tanya ibuku dari dapur
Iya bu..., jawabku
Suruh mas Ramadlan berhenti dulu, agar dia siap siap berangkat juga, nanti sore baru di lanjutkan..., perintah ibuku, akupun keluar ingin menyampaikan titah ibuku, sesampainya di halaman samping, ternyata mas Ramadlan sedang duduk di bawah pohon ketapang.
Sudah selesai mas..., tanyaku
Iya den..., jawabnya (mas Ramadlan selalu memanggil ku dengan sebutan den, kependekan dari raden)
Ahh..., mas Don jangan panggil aku begitu lagi... dong.., panggil saja dengan namaku... aku jadi enggak enak, dan juga itu tidak pantas buat ku...., protesku, padahal sudah beberapa kali aku mengingatkan mas Ramadlan agar jangan memanggil ku dengan sebutan den,
Iya den..., eeh mas Ton, katanya lagi
Ibu bilang siap siap untuk berangkat..., kalo belum selesai dilanjutkan sore nanti aja
Iya...mas Ton...
***
Sepertinya malam ini, tidak seperti malam kemaren, cahaya bulan purnama turut serta memeriahkan pesta kecil di rumah kami, kenapa aku katakan pesta kecil, yah..,karena hanya ibuku dan mas Ramadlan, yang hadir dalam pesta ini, walau tidak ada lampu hias, tidak ada dekorasi yang indah, tidak ada sepanduk ucapan selamat, namun cahaya rembulan sudah lebih dari cukup untuk mewakili semua itu dan turut meramaikan pesta ini, kami menggelar tikar di halaman samping rumah dan menyalakan api unggun untuk menghangatkan suasana, kami makan sepuasnya sambil bercanda, semua masakan di masak oleh ibu, ibu sekarang lebih banyak di rumah, sejak setahun yang lalu ibu mengangkat mas Ramadlan jadi asestennya, ternyata mas Ramdlan pintar bisnis juga, sejak dia jadi asesten ibu perusahan garmen kami melejit pesat, sekarang sudah membuka beberapa cabang di daerah. Nah malam ini kami melakukan pesta karena ada dua kegembiraan, pertama karena kelulusan ku dari SMA, yang kedua keberhasilan mas Ramadlan memenangkan tender penyedian pakaian untuk sebuah istansi pemerintah.
Malam semakin larut, angin malam yang dingin merayap seluruh sendi sendi tulang ku, cahaya rembulan meski tetap dengan setia menyinari bumi, namun wujudnya sudah bergeser, sesekali burung malam lewat menyapa, bagai ikut mengucapkan selamat untukku, api unggun yang dibuat mas Ramadlan sudah padam, namun aku dan ibu masih ngobrol halaman samping. Mas Ramadlan sudah masuk ke kamarnya, katanya sudah ngantuk dan besok pagi dia akan berangkat ke daerah untuk menghadiri pertemuan dengan pengusaha daerah tersebut.
Ton..., rencanamu mau kuliah kemana..., tanya ibuku
Rencananya saya mau masuk fakultas keguruan dan imu pendidikan ..., saya mau jadi guru sejarah bu...
Kenapa tidak mengambil ekonomi, supaya bisa menggantikan ibu, mengelola perusahan kita...,
Maaf bu..., saya sepertinya tidak tertarik untuk berbisnis, sekali lagi saya mohon maaf bu...,
Kalo itu sudah pilihanmu ibu hanya mendoakan saja...,
Aku juga agak heran dengan jiwaku, ayahku pebisnis yang berhasil, ibuku juga piawi sekali dalam berbisnis, tapi aku sendiri tidak tertarik di dunia bisnis, aku lebih tertarik jadi guru, aku sangat bersyukur ibuku orang sangat demokrasi, beliau tidak pernah memaksakan kehendaknya, beliau selalu mengajak aku bermusyawarah dalam setiap mengambil keputusan. Ibu agak lama terdiam, raut mukanya seperti ada sesuatu yang mengganjal, jangan jangan ibu kecewa dengan keputusan ku, aku jadi serba salah, tidak pernah ibu seperti ini.
Mohon maaf bu..., kalo keputusan saya mengecewakan ibu...
Ahh..tidak nak...
Kenapa ibu keliahatan seperti menyimpan sesuatu....
Sebenarnya ibu mau mengatakan sesuatu...tapi...., ibu terdiam tidak melanjutkan bicaranya
Tapi ...apa bu, katakan saja...saya akan siap mendengarkannya...
Ibu masih diam, sepertinya ada sesuatu yang sangat berat, ada masalah apa aku jadi bertanya tanya, ibu mengerutkan dahinya, kemudian menghela nafas.
Bigini nak..., ibu minta pendapatmu
Masalah apa bu...
Ibu kembali diam,....ibu mau menikah...,
Bagus bu..., dengan siapa ... ? sebenarnya aku agak kaget juga mendengarnya, namun aku memaklumi. Ibu tidak langsung menjawab pertanyaanku, beliau kembali terdiam, dia menatap wajahku, aku jadi rikuh
Kamu sekarang sudah besar ..., kamu sudah bisa mandiri..., jawab ibuku
Jadi selama ini ibu tidak mau menikah lagi karena ingin membesarkanku tanpa terbagi kasih sayangnya dengan orang lain, sekarang sudah waktunya ibu mau menyerahkan tanggungjawab mengurus aku kepada diriku sendiri, aku kembali menanyakan dengan siapa ibu mau menikah.
Menurut kamu mas Ramadlan itu bagaimana orangnya....
Aku agak aneh ibu menanyakan tentang mas Ramadlan, padahal mas Ramadlan sadah lama bersama dan sekarang sudah diangkat jadi asesten oleh ibu, tapi kenapa ibu bertanya lagi tentang Ramadlan.
Apa maksu ibu....?
Ibu mau menikah dengan mas Ramadlan..., jawab ibuku sambil menatap wajahku, kemudian beliau menunduk.
Aku sangat kaget, kanapa ibu memilih dia, tapi aku tak bisa bertanya, lidahku kelu, mulutku seperti terkunci, apalagi usia ibuku lebih tua sepuluh tahun dari mas Ramadlan, kenapa ibu pilih dia.., kenapa..., walaupun aku tahu mas Ramadlan itu selama ini menunjukan prilaku yang baik, pintar mengelola usaha ibuku, tapi hatiku sepertinya tidak setuju, entah apa alasannya aku sendiri tidak tahu.
Bagaimana Ton...kamu setuju,
Aku hanya mengangguk, tapi hatiku berat sekali menerimanya, namun aku tidak bisa mengungkapkannya, lagi pula aku sendiri tidak tahu kenapa perasaanku begitu.
***
Ibu ternyata tidak mengurangi kasih sayangnya kepadaku, meskipun sudah punya suami , selama sepuluh bulan beliau berumahtangga kelihatannya ibu bahagia sekali, aku pun ikut bahagia melihat ibu bahagia. Sejak empat bulan ini ibu total di rumah saja, semua urusan bisnis diserahkan kepada Mas Ramadlan suami ibu. ‘’ibu mau istirahat, ibu ingin hidup tenang” suatu hari ibu mengungkapkan keinginannya. Sejak tidak mengurusi bisnis lagi, ibu mulai menulis buku, selain itu mengurusi rumah, yang dulunya dikerjakan mas Ramadlan sekarang ibu yang mengerjakan.
Sudah satu minggu mas Ramadlan tidak pulang, ibu bilang dia sedang dia sedang di daerah meresmikan cabang baru. Namun perasaanku ada yang aneh, karena sejak dua bulan ini sudah tiga kali mas Ramadlan sering jarang pulang, ibu sekarang mulai banyak diam, beliau lebih banyak mengurung diri di kamar, tidak seperti biasanya, kalo habis shalat subuh beliau ke dapaur menyiapkan sarapan setelah itu menyapu halaman, selesai semuanya ngobrol dengan aku, tanya bagaimana kuliahku, siapa saja teman temanku. Namun sekarang ibu setelah shalat subuh beliau cuma duduk duduk, untuk sarapan beliau beli di rumah makan di seberang jalan, kadang kadang beliau tidak makan.
Ibu tidak sarapan…,
Nanti aja Ton….,
Kalo ibu tidak sarapan nanti sakit…,
Ibu tidak menjawab hanya tersenyum, kemudian beliau masuk kamar dan baru shalat zuhur baru keluar lagi, setelah itu mengurung diri lagi di kamar.
Aku jadi sedih melihat ibu seperti itu, beliau tidak cerita, tidak biasanya ibu seperti ini, biasanya ibu selalu cerita dan minta pendapat aku kalau ada masalah, bahkan masalah bisnis saja ibu minta pendapatku, tapi sekarang kenapa beliau begitu, aku juga agak takut menanyakannya. Sampai pada suatu malam, sekitar pukul sebelas aku dengar ibu bertengkar dengan mas Ramadlan, sekilas ku dengar ibu menanyakan tentang perempuan yang sering menelpon mas Ramadlan, bahkan ibu juga pernah membaca SMS nya, itu yang ku dengar dari marah ibu, namun aku tidak begitu jelas mendengarnya. Setelah pertengkaran itu mas Ramadlan pergi. Sejak kepergian itu mas Ramadlan tidak pulang, sekarang sudah sepuluh hari.
***
Lega rasanya hari ini, seperti terbebas dari penjara, tidak sia sia usahaku salam ini, semua mata kuliah yang ku ambil lulus dengan nilai terbaik, setelah melihat pengumuman aku mau jalan jalan ke mall, sudah lama aku tidak ke mall, sejak sebulan yang lalu hanya bolik balik toko buku dan perpustakaan. Aku pergi dengan Dani teman satu kampusku, dia teman yang paling akrab, dia anak cerdas, aku selalu belajar bersama dengannya.
Sebenarnya aku dan Dani ke mall tidak ada yang akan dibeli hanya jalan jalan, dari lantai bawah naik ke lantai dua lalu kelantai tiga.
Aku haus kita minum dulu …., kataku kepada Dani
Okay….bos…, (dia panggil aku bos, karena aku yang sering yang bayar, kalo makan atau minum, sebenarnya aku tidak setuju, tapi teman aku yang satu ini tidak peduli tetap saja panggil aku bos)
Kami pesan jus alpukat dan rate coklat, kedua makanan ini adalah kesukaan kami, entah apakah Dani juga suka, atau hanya ikut ikutan aku aja suka, tapi selama ini dia tidak pernah protes.
Hey..Ton…, itu bukankah suami ibumu…., ucap Dani sambil menunjuk ke arah seorang laki laki dengan menggandeng seorang wanita muda, aku kaget, sampai jus alpukat yang ku pegang jatuh, ternyata apa ang diributkan ibu dengan mas Ramadlan itu betul tentang seorang peempuan, mas Ramadlan menghianati ibu, aku mau mengejar, ingin ku pukul dia, namun kalah cepat dengan tangan Dani, Dani memegang badanku,
Sabar ..Ton…, tidak enak di lihat orang ribut di tempat umum.
Ayo ita pulang aja…, lanjutnya Dani.
***
Sudah satu minggu ibu di opname di rumah sakit, mas Ramadlan tidak tidak datang juga, hp nya tidak diangkat, kalo ditelpon ke kantor sekretarisnya bilang belum masuk, lalu aku datang ke kantornya, sekretarisnya bilang ke luar kota, aku tanya satpam, kata satpam pagi tadi masih ada.
Aku kembali ke rumah sakit naik taxi, diperjalanan aku melihat mobil mas Ramadlan dan dia duduk dibelakang dengan seorang perempuan.
Bang…, kembali ikuti mobil merah itu…, perintahku kepada sopir taxi
Cepat bang….., kami mengejar mobil mas Ramdlan, pas diperempatan jalan mobil kami tertahan lampu merah, kami kehilangan jejak. Aku sangat kesal, akhirnya aku kembali ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung ke ruang VIP, tempat ibu menginap, begitu aku membuka pintu di dalam dokter dan perawat sedang memasang tabung oxegen, aku kaget dan cemas
Ada apa dok…..
Ibu mu susah bernafas…, kata dokter
Ibu tidak sadar, matanya terpejam, nafasnya memang keliatan susah sekali, aku duduk disamping beliau, ku pegang tangan beliau, muka ibu keliatan pucat sekali, badannya kurus, tak terasa aku mengeluarkan air mata, aku sangat sedih melihat nasib ibu berakhir begini, dia tidak pernah bahagia, dengan ayahku hidup berumahtangga tidak lama, dia hanya sendiri mengurusku, mengelola bisnis ayahku, beliau ingin hidup tenang bahagia diakhir hayatnya kawin dengan mas Ramadlan, ternyata dikhianati, duh… ibu malang benar nasib mu, aku tetap memegang tangan beliau sesekali ku cium.
Aku merasa ada yang membelai rambuku, oh…ibu sudah sadar, rupanya aku tadi tertidur di samping ibuku.
Nak..Toni…,
Ada apa bu…, ibu istirahat aja dulu
Kamu harus…sabar…, jangan mendendam dengan siapapun…., kalau kita sabar Tuhan akan mengasihi kita, Tuhan suka dengan orang yang sabar, dan Tuhan tidak suka dengan orang yang pendendam….
Iya bu…
Bagaimana hasil ujianmu nak…
Alhamdulillah nilainya baik semua bu…
Syukurlah…, tapi ingat, kamu jangan lupa shalat, setiap ada kesulitan minta tolonglah kepada Tuhan, jangan suka mengeluh, jangan putus asa, kebahagaian sebenarnya adalah nanti, asalkan kita selalu taat kepada Tuhan. Anak ku… ingat itu…dan…
Apa bu …
Aku ingin pulang…
Tapi ibu belum sembuh…
ibu sudah sehat kok…, ibu hanya kecapen…
***
Sebenarnya dokter tidak mengizinkan ibu pulang, tapi ibu bersikeras tetap ingin pulang, aku minta kepada dokter agar bisa datang ke rumah kalo di perlukan, dokternya besedia.
Sudah dua hari ibu di rumah, sekarang sudah kelihatan sehat, ibu mulai membaca buku lagi, dan melanjutkan menulis bukunya.
Sudah lama aku tidak ke mesjid, sejak ibu masuk rumah sakit aku tidak pulang ke rumah, sejak dua hari ibu di rumah, akupun tidak ke mesjid juga aku shalat di rumah, subuh ini ibu kelihatan sehat sekali, tadi waktu aku shalat tahajjud, ibu sudah bangun sedang membaca al Qur’an. Aku berangkat ke mesjid, setelah minta izin kepada ibu.
Setelah shalat aku ngobrol dengan pak imam dan haji Somad, mereka menanyakan tentang keadaan ibu, perasanku tidak enak ada apa, aku mohon pamit kepada pak imam dan haji Somad, aku bergegas pulang, sesampainya di rumah, aku memberi salam, namun tidak ada jawaban dari ibu, perasanku makin tidak enak, aku mempercepat langku menuju kamar ibu, ibu ku terbaring di atas sajadah, al Qur’an yang ia pegang terjatuh di lantai, aku langsung memeluk ibuku, ku taruh kepalanya di pangkuanku, nafasnya sudah tidak teratur lagi
Ibu…ibu..bangun bu…
Nak ..Toni ..ingat pesan ibu waktu di rumah sakit ya.,..
Setelah ibu mengingatkan pesannya waktu di rumah sakit, ibu diam dan badan lemah, saya pegang lehernya… dan…nadinya sudah tidak berdenyut lagi, ibuku sudah….
Ibuuuu…ibuuuu….
Mendengar teriakanku tetangga berdatangan, termasuk pak imam dan haji Somad.
Ibu uuuuuu……., jangan tinggalkan aku bu, ibu bangun bu…, bangun bu…
Sudah lah nak..ikhlaskan kepergian ibumu, kamu harus tabah, biar ibumu pergi dengan tenang.., Haji Somad menenangkanku.
Semua sudah diatur yang di atas, semua yang bernyawa pasti mati, kita semua akan mati, lanjut pa Haji menasehatiku.
Ya..ya pa Haji…
***
Aku masih duduk di teras samping, sementara penyiar di radio FM masih cuap cuap, lagu lagu lama masih mengalun, penyiar masih saja menceritakan hal hal lucu, tapi tidak memuatku tertawa, aku tidak terkesan dengan lelocon penyiar di radio itu, meskipun leloconnya sangat lucu, kalo biasanya aku tidak bisa menahan tawa, kadang kadang ibuku ikut ikutan duduk menemaniku beliaupun tertawa terpingkal pingkal, sekarang aku hanya sendiri, tidak ada lagi yang menemaniku, malam semakin larut sudah pukul berapa sekarang, aku tidak tahu, mungkin sudah pukul dua belas, cuaca semakin dingin namun aku belum ngantuk, di rumah sekarang semakin sepi, tidak ada lagi yang membangunkanku untuk shalat tahajjud, sudah satu minggu ibu meninggalkan ku, tapi mas Ramadlan tidak menampakkan batang hidungnya, tega sekali dia menghkianati ibu, dia lupa pertama kali dia datang hanya pengemis, ibu yang memberi dia pekerjaan, ibu yang mengangkat statusnya dari hanya sekedar tukang kebun menjadi asestennya di perusahaan, kemudian ibu mengawininya, dan ibu mempercayakan semua urusan bisnis kepadanya, setelah mendapatkan semuanya dia lupa diri, memang tidak tahu diri, kurang ajar sekali, orang seperti itu harus dimusnahkan saja di muka bumi ini, besok aku harus menemuinya di kantor, ku habisi saja dia….
Allahu akbar Allahu akbar….
Aku terkejut mendengar suara azan di mesjid, ternyata aku tertidur di teras samping, sudah subuh sekarang, astaqfirullah…aku tidak shalat tahajjud, aku bergegas ke kamar mandi, terus wudlu dan berangkat ke Mesjid.
***
Hari ini si jahannam itu harus mati, ku buka tas ranselku lalu ku masukkan pisau belati, pokoknya si jahannam itu harus ku bunuh. Aku naik taxi menuju kantor Ramadlan, kurang lebih tiga puluh menit aku sudah sampai di depan kantor perusahan ibuku, yang sekarang dikelola oleh Ramadlan jahannam itu, aku kaget kantor itu sudah berganti nama, satpamnya pun bukan pak Darmo, tapi aku tetap masuk ke halaman kantor itu.
Ada yang bisa saya bantu mas…., tanya satpam itu
Pak Ramadlan ada…, tanyaku
Ramadlan yang mana ya…, satpam itu bingung
Pimpinan perusahan ini…
Maaf mas pimpinan perusahan ini sekarang pak Sumardi…
Sejak kapan bergantinya pak…
Sudah dua hari ini…, perusahan ini dibeli oleh pak Sumardi….
Apa…, jadi…., kepalaku pusing mataku berkunang kunang dan aku sudah tidak ingat lagi….
by: abdun albarra