“Fitrah hati adalah mencintai siapa yang menyenangkan hati”
Sudah
beberapa hari ini, hatiku tak karuan. Kadang merasakan kerinduan yang
sangat dalam, tetapi di sisi lain rasa cemas akan kehilangan kian datang
menerpa. Aku tak mengerti mengapa bisa sampai begitu. Sama seperti aku
yang tak memahami mengapa bulan seolah terlihat lebih besar dikegelapan
malam akhir-akhir ini. Entahlah, waktu pun terasa sangat lambat sehingga
angin yang bergerak cepat pun laksana belaian lembut di rambut
gimbalku.
Benar
sekali! Hatiku sedang gundah gulana. Orang menyebutnya galau. Sebuah
kondisi yang lebih sering membuat si pemiliknya lemah tak berdaya. Kini,
aku sedang didera hal serupa. Menjadi lelaki tak berdaya akibat
perasaan yang menggema di semenanjung jiwa. Inikah perasaan itu? Cinta
orang bilang! Ah, aku tak tahu. Satu hal yang pasti! Kehadirannya
beberapa waktu lalu telah sedikit banyak ‘merenggut’ sifat kelelakianku.
Dia
adalah perempuan manis yang aku kenal. Kulitnya putih, wajahnya bersih.
Dia adalah gadis menarik yang aku lihat waktu itu. Keanggunannya
terlihat berbinar. Meski dia adalah adik kelasku semasa SMA, tetapi aku
baru mengenal lebih dalam tentangnya selepas lulus. Dan interaksi kami
melalui jejaring sosial bernama facebook-lah yang membuat kedekatanku dengannya kian merekah.
Aku
tak mengingat pastinya, kapan dan tanggal berapa aku mulai berhubungan
dengannya lewat dunia maya. Tetapi, hari itulah, hari yang membuatku
kini tenggelam dalam perasaan indah tak terkata.
*****
Hari
itu senja datang menerpa. Tidak biasanya, langit memburai senyum lewat
awan jingga kala itu, cantik! Selepas kuliah aku sempatkan untuk
berkunjung ke warnet dekat kosku hanya untuk sekadar berinteraksi dengan
teman lewat situs jejaring sosial.
“Sampai juga di warnet”, gumamku dalam hati.
Kubuka
sepatu seraya melihat dinding-dinding warnet yang dihiasi cat merah di
sana-sininya. Lalu dengan langkah agak terjuntai, aku buka pintu hitam
yang sedari tadi menantang untuk kumasuki. Begitu masuk, lambat-laun
mulai kulihat jaring-jaring dunia maya yang saling berpilin di atas para
komputer yang bertengger di dalam sana. Luar biasa!
“Ah, pintu hitam tadi bagai pembatas antara dunia nyata dan dunia maya saja”, pikirku.
Kuputuskan
untuk duduk di pojokkan, karna memang hanya itu satu-satunya komputer
yang belum terjamah. Mulai kutekan tombol “power” di pinggiran CPU, dan
mulai terdengar ‘bahasa’ mesin yang menandakan komputer sedang berproses
agar bisa digunakan. Tak lupa monitor pun kuhidupkan. Akhirnya komputer
siap dioperasikan.
Aku buka mozilla
lalu kuketikan salah satu situs jejaring sosial yang sedang naik
daunnya kala itu. Aku pun segera terhubung dengan situs yang
bernuansakan biru di halamannya. Segera kutuliskan alamat email serta
password sebagai syarat masuk untuk berinteraksi dengan teman di seluruh
penjuru dunia.
“Ah, ada permintaan pertemanan”, ucapku setelah mataku menangkap tombol merah di pojok beranda.
Kulihat list permintaan tersebut. Mataku tertuju pada satu nama.
“Susan? Ehm.., ah ya ini kan adik kelasku waktu SMA” otakku mencoba mengingat.
Lalu, aku approve dia sebagai teman di facebook. Aku pun kembali berselancar di dunia maya. Sambil membuka facebook, kubuka email juga situs lainnya.
Setelah menikmati fasilitas ini dan itu di internet, kuputuskan untuk
menyudahinya. Satu jam bagiku telah cukup untuk memuaskan hasratku akan
dunia maya. Setelah itu kuberanjak pulang.
Beberapa
hari kemudian, ketika libur pekanan datang menyapa, aku kembali
berselancar di dunia maya di tempat yang sama. Seperti biasa, kubuka
situs jejaring sosial itu lagi. Ketika kupandang lekat-lekat, ternyata
ada komentar di bagian dinding facebookku yang cukup menyita perhatianku.
“Makasih Mas”, ujar sang gadis diakhiri sebuah gambar emoticon senyum. Seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam list temanku beberapa waktu lalu. Ya, siapa lagi kalau bukan Susan.
Padahal
hanya sebuah ucapan terima kasih karna telah menerima permintaan
pertemannya, tetapi entah mengapa bibir mungilku mulai tersungging
senyum dengan sendirinya. Ah, aneh! Tanpa berlama-lama mulai kumainkan tuts-tuts dihadapanku sembari senyum yang semakin mengembang,
“Sama-sama San”, jawabku disertai sebuah emoticon yang tersenyum pula.
Hari-hari berikutnya, ketika aku kembali membuka jendela facebookku.
Nama dia selalu muncul. Entah siapa yang memulai, tetapi semenjak itu
kami lebih sering terlibat obrolan di dunia maya. Dari sekadar
menanyakan kabar, hingga saling membercandai satu sama lain.
“Hati-hati Dhan, nanti saling suka lho, hhehe..”, ucap seorang teman mengingatkan ketika aku berkisah tentang Susan.
“Ah, aku hanya berteman koq sama dia” bantahku pada temanku.
“Lagi pula, aku cukup mengerti koq bagaimana semestinya bersikap ketika dengan wanita”, lanjutku membela diri.
Memang,
awalnya aku tak mengira bahwa sebuah perasaan bisa terjalin karna dunia
maya. Akan tetapi setelah apa yang kulihat, banyak hubungan terjadi
akibat dunia maya, terutama dari situs jejaring sosial seperti facebook.
Seperti seorang yang tiba-tiba menikah akibat berkenalan lewat facebook. Atau ketika seseorang lelaki menjalin kasih dengan wanita lain karna facebook.
Mirisnya, ada juga yang rela melepas pernikahannya karna bertemu dengan
mantan kekasihnya dahulu. Kata orang, cinta lama bersemi kembali. Ah,
sungguh bodohnya aku andai hal tersebut terjadi padaku.
Namun
kenyataannya, disadari atau tidak olehku, hubunganku dengan Susan
ternyata mengarah pada hal yang selama ini aku tidak percayai. Bahwa
sebuah perasaan suka, benci, cinta, bisa tercipta karna dunia maya.
Aku merasa dininabobokan oleh kondisi yang selama ini kuwanti-wanti agar aku tidak terjerumus di dalamnya.
“Ah, peduli amat! Lihat nanti aja”, sebagian batinku bersuara.
Aku pun mulai lebih sering ngobrol
dengannya lewat situs jejaring sosial tersebut. Benar kata orang, bahwa
cinta itu bisa timbul karna terbiasa. Terbiasa bercengkrama, terbiasa
berinteraksi, dan terbiasa membercandai. Dan itulah yang memang kualami,
terbiasa ini dan itu.
Aku
semakin sering memandang lamat-lamat wajahnya walau itu hanya lewat
fotonya saja. Rasanya, walaupun wujud nyatanya berada jauh ratusan
kilometer dariku, tetapi aku merasa dia selalu hadir di setiap pagi
menyapaku lembut.
Wahai Tuhan, inikah cinta itu?
Ternyata, semakin sering aku berbicara dengannya, walau itu hanya melalui facebook malah membuatku hatiku semakin tercuri karnanya.
“Ingat Dhan, jaga hati, jangan sampai terjerumus..”, temanku berusaha mengingatkan.
Namun,
sekali lagi, kata-kata temanku itu kubuang jauh-jauh. Aku tak peduli.
Rasanya semuanya menjadi halal dimataku ketika perasaan seperti itu
hinggap di hatiku. Malah aku semakin bersemangat untuk mendapatkannya.
Mulai semakin penasaran aku dengannya. Kucoba mencari nomor kontaknya supaya hubunganku dengannya lebih dekat.
“Dapat!” teriakku ketika kudapati nomornya terpampang jelas di facebooknya.
Awalnya
aku agak ragu, apa aku mesti menghubunginya atau tidak. Bukan hanya
karna teman-temanku selalu mengingatkanku untuk berhati-hati terhadap
hubungan semacam ini, akan tetapi lebih kepada prinsip yang selama ini
kuyakini, bahwa hubungan itu lebih baik dilakukan ketika tujuannya
menikah.
“Kepalang tanggung Dhan! Teruskan saja”, setan dalam diriku mencoba membujukku.
Ya! Kuputuskan untuk melanjutkan saja. Sekali waktu, kucoba mengiriminya sebuah sms,
“Assalaamu’alaykum, Susan ya?”
“Wass, iya, siapa ya?” jawabnya.
“Aku Ramdhan, ingatkah?” balasku padanya diakhiri sebuah emoticon senyum.
Tak berselang berapa menit, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ternyata sms dari dia. Lalu, mulai kubaca satu persatu untaian kata yang tersurat olehnya,
“Oh Mas Ramdhan, inget atuh, masa lupa, hhehe..”
Luar
biasa! Walau hanya balasan seperti itu, rasanya bagai untaian kata
dalam surat cinta yang datang satu tahun sekali buatku. Senangnya!
Semenjak itu aku sering melayangkan sms padanya.
Ya,
Tuhan, rasanya aku benar-benar jatuh hati padanya. Tetapi uniknya kalau
aku ditanya apa alasan aku jatuh hati padanya, aku pun bingung untuk
menjawabnya. Karna dia cantik? Ah bukan juga. Karna dia adik kelasku?
Bukan juga.
Memang
benar, bukan cinta jika ia timbul karna alasan. Bukan cinta jika ia
datang dengan mengucapkan kata permisi. Segalanya serba dadakan dan rahasia, itulah cinta! Cinta memang tidak logis, tetapi karnanya semua tampak masuk akal.
Akupun semakin larut dalam virus merah jambu ini. Benar-benar ia telah menggerogoti lekuk-lekuk hatiku sedemikian parah.
“Bagaimana dengannya?”
“Samakah perasaannya dengan yang kurasai di dalam hati?” tanyaku pada diriku sendiri.
Aku
tak mau menduga-duganya lebih jauh, apakah dia suka aku atau tidak.
Biarlah semuanya mengalir seperti air. Yang terpenting adalah membuat
segalanya berjalan sesuai rencana dengan tujuan akhir saling menyukai.
Sekali
waktu aku tidak melayangkan sms padanya. Tak disangka-sangka, dia
tiba-tiba mengirimkan sms yang bertanya tentang kabarku. Tentu aku pun
sangat senang dibuatnya. Kubalas dengan segera. Setelah itu kamipun
akhirnya bersmsan.
Karna intensnya interaksiku lewat dunia maya dengannya, dan diperkuat dengan sms-sms yang sering berlalu-lalang masuk ke handphoneku itulah, aku semakin yakin, bahwa sinyal hatiku dengan hatinya sudah hampir sama, positif!
Untuk itu sekali waktu, lewat sms, aku memberanikan diri untuk menanyakan hal yang selama ini mengganjal hatiku,
“Ehm, San, boleh bertanya sesuatukah?”
“Iya Mas, apa? Kayaknya penting banget?” balasnya penasaran.
“Sebelumnya, Susan sudah tahu kan perasaanku ke Susan seperti apa?” tanyaku lagi.
Beberapa saat kemudian Susan membalas,
“Perasaan Mas? Ya, setau Susan sich, Mas perhatian sama Susan, hhehe ..”
“Hhehe.. Aku suka sama Susan sebenarnya”, ujarku tanpa panjang lebar.
“Susan suka jugakah sama aku?” tanyaku buru-buru.
Satu
menit, dua menit, kutunggu tak ada balasan. Aku khawatir dia malah
marah aku telah mengungkapkan apa yang selama ini telah
memporak-porandakan hatiku. Tetapi tiba-tiba, handphoneku bergetar. Sms masuk! Mulai kubaca isi sms tersebut yang tidak lain dari sang bidadari.
“Ehm, jujur Mas, sebenarnya.., tapi Mas jangan marah ya?”
“Iya”, balasku cepat karna penasaran.
Handphoneku bergetar kembali. Dengan cepat kuraih sambil kupijit tombol “yes” untuk membaca sms masuk.
“Susan juga suka sama Mas, hhehe”, jawabnya disertai senyum diujungnya.
Ya
Rabb, ternyata selama ini perasaanku dengannya sama. Ah, kenapa aku
tidak bertanya dari dulu. Kenapa aku tunda-tunda dan baru sekarang aku
tanyakan. Tidak penting! Yang terpenting aku sudah tahu bahwa
perasaannya serupa denganku.
Jujur,
mulanya aku tak mengira, bahwa pertemuanku dengannya di dunia maya
mampu membuat hatiku dengannya terpaut walau jarak kami dipisahkan dua
kota, Bandung dan Jakarta. Tetapi ternyata tak ada yang tak mungkin
bagi-Nya. Tangan Tuhanlah yang bekerja untuk menghantarkan ‘perasaan’
itu jauh menyusup ke dalam relung-relung hati meski jarak ratusan
kilometer menjadi pembatas di antara kami.
Semenjak
itu, hari-hariku seperti penuh dengan pelangi. Setiap hari kami
berbincang baik lewat dunia maya ataupun sms. Memang, kami belum pernah
bertemu secara langsung kecuali dulu ketika masih SMA. Tetapi tidak
masalah. Toh perasaan yang terjalin di dunia maya pun mampu merekatkan
kami yang jauh.
Setiap
hari, melalui sms yang kutulis dengan jemari lentikku, aku akan
menanyakan kabarnya, atau sekadar mengirimkan untaian kata sebagai
bentuk perhatian kepadanya,
“Jangan lupa makan ya”, atau
“Jaga kesehatan ya”
Kalimat-kalimat
semacam itulah yang sering terlontar dariku untuknya. Tetapi, bukan
berarti kami tidak pernah bertengkar. Pernah sekali waktu aku tak
mengirimkan sms padanya. Tanpa alasan yang jelas dia marah
sejadi-jadinya. Lucu memang! Tetapi tak apalah, itulah yang membuat
hubunganku dengannya memiliki arti.
Waktupun bergulir.
Tiba-tiba,
aku merasa hubunganku dengannya mulai tidak wajar. Kami semakin menjadi
seperti sepasang kekasih atau bahkan mungkin suami-istri. Banyak
kata-kata yang semestinya terlontar untuk istriku nanti, keluar begitu
saja untuknya. Sayanglah, cintalah, rindulah, dan segala tektek-bengek
yang berkaitan dengan itu.
Padahal,
semenjak aku mengutarakan rasaku padanya, aku tak pernah memintanya
untuk menjadi kekasih. Karna aku tak mau begitu. Kata orang, hubungan
semacam ini disebut HTS atau Hubungan Tanpa Status. Apapun namanya,
hubungan ini telah membangunkan sisi baikku kembali.
“Kamu seharusnya ga terjerumus kearah yang begini Dhan” sebagian hatiku mencoba mengingatkan.
“Mana prinsip-prinsip baik yang selama ini kamu pegang Dhan, mana!? Dasar munafik!” hatiku yang lain ikut menimpali.
Ah,
ternyata aku salah. Selama ini aku telah mengikuti hawa nafsu semata
dan membiarkan kebaikan hati yang kumiliki pudar begitu saja. Benar kata
temanku, bahwa perhatian kita pada seseorang terkadang membunuh
perhatian kita pada yang lain. Ya, dan satu hal terpenting yang sudah
lama tak kuperhatikan adalah hatiku!
Aku
telah membiarkan hatiku kotor karna perasaan-perasaan semacam ini.
Perasaan yang sebenarnya akan menjadi halal ketika aku mengikatnya dalam
altar pernikahan. Tapi kenyataannya? Aku mengikat perasaan ini dalam
hubungan tidak jelas, hubungan yang bukan semestinya.
Ya Rabb, maafkan aku.
Aku teringat akan sebuah puisi dari Mbak Asa, seorang temanku yang kukenal dari facebook, dia berkata;
Ini dunia maya,
jangan mudah jatuh cinta.
Hanya karena rayuan semata,
atau indahnya rajutan kata.
Ini dunia maya,
bodohnya bila kita terlena.
Pada indahnya rupa,
atau indahnya tutur kata.
Kau belum mengenalku,
adalah dusta bila kau bilang cinta.
Simpan saja semua rindu,
untuk dia yang nyata hadir menyapa.
Bait-bait
puisi ini sedikit banyak menyadarkanku, betapa sebuah perasaan jangan
mudah diumbar begitu saja. Apalagi pada orang yang belum jelas
kehalalannya untuk kita. Sudah kuputuskan! Aku akan mengakhiri hubungan
tak jelas ini dengan Susan.
Hingga suatu malam, aku mencoba melayangkan sebuah sms untuknya,
“San, maaf ganggu. Ada yang mau kubicarakan, boleh?”
“Iya Mas, apa ya? Kangen ya sama Susan, hhehe..” balasnya genit.
Biasanya,
aku akan meladeni kegenitan itu dengan kegenitan pula. Tetapi kali ini,
tidak! Dengan cepat aku mengutarakan maksudku untuk mengakhiri hubungan
tidak jelas ini,
“Ehm, maaf sebelumnya. Tetapi aku rasa hubungan kita mesti kita akhiri San.”
Aku mencoba menghela nafas, dan kulanjutkan kembali smsku langsung 2-3 sms,
“Aku
memang menyukaimu, tetapi hubungan kita sudah tidak benar. Sudah banyak
rambu-rambu agama yang kita terobos begitu saja. Dari saling bilang
sayang, dari saling memperhatikan, dan banyak hal lainnya. Memang, itu
hanya di sms San, dan kita tidak pernah melakukannya di dunia nyata.
Akan tetapi, bukankah hal-hal semacam itu merupakan hak pasangan kita
kelak, siapapun dia?”
Susan hanya terdiam di seberang sana. Tiba-tiba, setelah 5 menit menunggu, dia membalas smsku,
“Iya,
Mas. Susanlah yang semestinya minta maaf. Karna Susan, Mas yang
mestinya bisa menjaga, jadi terjerumus. Maafkan Susan ya Mas.” Ia mengakhiri smsnya dengan sebuah emoticon.
Namun, yang membedakan adalah, kali ini dia melukiskannya dengan
terbalik, sebuah gambar yang kulihat sebagai bentuk kesedihannya.
“Kita
berdualah yang salah, semestinya kita bisa lebih menjaga hati kita
masing-masing agar tidak mudah terkotori. Jadi, salaing memaafkan saja
ya?” balasku untuknya.
“Iya Mas, makasih ya.” Jawab Susan kali ini singkat.
Dan
aku tak mau memperpanjangnya lagi. Khawatir akan semakin berat untuk
terlepas dari kondisi yang selama ini membuat hatiku ‘nyaman’. Meski
begitu, kami sepakat untuk tetap bersilaturahim, walau kenyataannya
semenjak kejadian itu, aku sudah sangat jarang melayangkan smsku
padanya, begitu pula dia.
Ternyata
cinta dunia maya untuk sekadar hubungan yang tak jelas, memang tidak
pantas untukku, dan mungkin tidak pantas juga buat Susan. Aku teringat
perkataan kakak pertamaku,
”Jika kita (lelaki) tidak memiliki kesungguhan untuk menikahi seorang wanita, maka jangan bermain-main dengan sebuah hubungan”
Lambat-laun,
kucoba untuk mematri kata-kata tersebut di dalam dada lekat-lekat, dan
menjadikannya kata penyemangat untuk terus memperbaiki diri agar nanti
ketika pernikahan itu datang menyapa dalam kehidupanku, akan semakin
terasa nikmat. Semoga Allah meridhaiku seterusnya.
Jakarta,
dua tahun silam.
_Ramdhani_
No comments:
Post a Comment