Cerpen Bintang Fajarku Part. I


Zainab terjaga dari tidurnya akibat serbuan nyamuk – nyamuk nakal yang kelaparan. Padahal tubuhnya sudah kurus kering tetapi anehnya setiap malam nyamuk – nyamuk itu masih saja mengincar darahnya. Mungkin darah yang mengalir dalam tubuhnya merupakan menu spesial buat mereka. Makanya setiap malam dia seperti sedang melakukan transfusi darah gratis buat nyamuk – nyamuk itu. Sepertinya obat nyamuk bakar yang dibakar Nenek sudah habis makanya nyamuk – nyamuk itu mulai unjuk gigi. Iklan di televisi bilang bisa tahan 8 jam tapi anehnya baru 6 jam obat nyamuknya sudah habis. Beginilah kalau jadi korban iklan. Untung besar buat mereka tapi buntung besar buat Zainab.
“ Aduh, dasar nyamuk – nyamuk jelek. “ Gerutunya kesal.
Hembusan angin dingin yang menerobos masuk melalui celah dinding yang terbuat dari pelepah kelapa yang sudah lapuk dimakan usia, membuat tubuh mungilnya menggiging kedinginan. Tangannya meraba – raba dalam gelap berusaha mencari kain sarungnya. Namun tak ada. Berbekal cahaya bulan yang menerobos masuk melalui atap yang bocor, dia berhasil menemukan kain sarungnya yang ternyata jatuh di bawah tempat tidurnya. Mulutnya menguap lebar karena masih mengantuk, namun ketika dia ingin kembali melanjutkan tidurnya suara derit tempat tidur bambu yang ada di belakang lemari mengurungkan niatnya. Ada yang bangun. Tak lama kemudian cahaya redup dari lampu pelita yang terbuat dari botol bekas menerangi sebagian kamar. Lalu terdengar suara batuk. Zainabpun tahu siapa yang bangun. Suara batuk itu pasti suara batuk Kakek Hamid. Beliau adalah ayah kandung Ibunya.

Sudah beberapa bulan ini Zainab tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Dia terpaksa pindah dari Ende ke Waingapu karena permintaan Ibunya.
“ Kasihan Ambumu sudah sepuluh tahun mereka tak melihatmu. Mereka pasti sangat merindukanmu, Zainab. Apalagi kamu cucu pertamanya. Inne ne’e Baba harap kamu bisa menggantikan kami merawat kedua Ambumu. Karena itu kamu sekolah di Waingapu saja ya, disana juga ada MTs sama seperti disini. Kami tidak bisa mengantarmu karena adik – adikmu ini mabuk laut. Kamu bisa kan pergi sendiri? Nanti ada Om Azis yang liat kamu selama di Kapal. “ Pinta Ibunya ketika dia menerima Ijasah SDnya.
Dan Zainab tak punya nyali untuk menolak permintaan Ibunya. Walaupun Ibunya meminta dengan sangat halus, Zainab sudah cukup tahu kalau dibalik kata – kata halus itu tidak ada yang namanya penolakan. Semua yang dikatakan Ibunya harus diikuti. Bila tidak maka tubuhnya akan dicium kayu atau cubitan kuku. Dia ingin meminta pertolongan Ayahnya namun lelaki yang selalu membelanya sudah hampir sebulan ini kerja bangunan di Maumere. Otomatis semua keputusan ada di tangan sang Ibu. Dan dia harus mengikutinya.
“ Kamu sudah bangun? “ Suara Kakek Hamid mengejutkan Zainab. Kakek Hamid merapikan kain sarung yang menutupi tubuh Nenek Halimah.Lelaki tua itu begitu setia dan penuh kasih sayang. Namun karena baru kali ini bertemu dan tinggal bersama mereka, Zainab masih merasa takut dan sungkan.

Zainab hanya diam tak menjawab pertanyaan sang Kakek.
“ Tidur sudah di luar masih gelap. “ Kata Kakek Hamid lagi sebelum meninggalkannya.

Tak lama kemudian terdengar suara derit pintu. Zainab jadi heran mau kemana Kakek Hamid malam – malam begini? Tidak mungkin kalau ke pasar. Mana ada orang yang membeli ikan malam – malam begini. Dari celah dinding kamarnya Zainab mengintip keluar. Dilihatnya Kakek Hamid sedang berdiri sambil memandang langit di sebelah timur. Aneh, apa yang dilihatnya? Karena penasaran Zainab memutuskan untuk keluar dan melihat apa yang dilakukan Kakek Hamid di luar sana.
“ Kamu kenapa keluar? Mau buang air kecil? Mari sudah Ambu antar pergi kamar mandi. Jangan pergi sendiri, masih gelap. “
“ Ja’o tidak mau buang air kecil. “ Jawab Zainab sedikit kaku. Disamping karena rasa takut juga karena selama di Ende dia jarang memakai bahasa Indonesia. Makanya kalau bicara selalu dicampur dengan bahasa Ende.
“ Ooo... Ambu pikir kamu mau buang air kecil. Lalu kenapa kamu keluar? Masuk tidur sudah. Matahari masih lama baru muncul. “ Kakek Hamid tersenyum lembut. Rambut Zainab dibelainya dengan rasa sayang.
“ Ambu nggae apa? “ Zainab memberanikan diri untuk bertanya.
“Ambu lagi melihat bintang fajar. “
“ Bintang Fajar? Untuk apa? ”
“Ambu mau sholat Subuh. Tetapi Ambu tidak tahu sekarang sudah jam berapa. Suara adzan subuh kita tidak bisa dengar karena mesjid terlalu jauh. Kalau sudah ada bintang fajar berarti sudah subuh. Di sekolahnya Zainab dulu Ibu Guru pasti pernah ajar tentang bintang fajar kan? “

Zainab menganggukkan kepalanya.
“ Bintang fajarnya sudah ada? “ Zainab ikut menengadah ke langit sebelah timur mencari sang bintang fajar. Tetapi karena kedua matanya masih sangat mengantuk dia tak bisa melihatnya.
“ Itu diantara tiga bintang yang berjejer. Yang paling besar dan cahayanya paling terang. “ Kakek Hamid mengarahkan telunjuknya agar cucunya bisa ikut melihat bintang fajarnya.
“ Padahal ada disitu na. Medze ngata le. “ Zainab tertawa senang.
“ Zainab sudah berapa kali melihat bintang fajar? “
“ Ja’o baru lihat. Di Ende tidak ada bintang fajar. “
“ Ada, tapi Zainab tidak pernah bangun subuh makanya tidak pernah lihat bintang fajar. Iya kan? “

Zainab mengangguk dan tersenyum malu. Selama di Ende dia tak pernah sekalipun bangun subuh. Paling cepat dia bangun jam enam pagi. Itupun kalau dibangunkan Ibunya biar tidak terlambat ke sekolah.
“ Kira – kira sudah adzan subuh atau belum? “
“ Tidak tahu lagi. Tapi mungkin sudah adzan subuh kan sudah ada bintang fajar. “ “ Kalau begitu Ambu sholat dulu. Zainab mau sholat juga? “
“ Sholat? Tetapi ja’o mbembo cara solat itu ngeamba . ”
“ Zainab tidak tahu cara sholat? Apa selama ini kamu tidak pernah sholat? “
“ Kami tidak pernah sholat. Baba sibuk kerja kalau Inne setiap hari urus adik – adik. “
“ Astaghfirullahaladziem...” Kakek Hamid mengurut dadanya seakan tak percaya dengan jawaban cucunya. Dalam hati beliau bertanya – tanya selama ini apa saja yang dikerjakan anak dan menantunya sehingga cucunya tak bisa sholat dan mengaji. Apakah mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan duniawinya sehingga melupakan bekal syurgawinya? Padahal anak adalah jembatan saat melintasi Shirotal Mustaqiem. Jika anak tak tahu ilmu agama bagaimana dia bisa menolong orang tuanya di akherat nanti? Bisa – bisa satu keluarga jatuh ke dalam neraka. Naudzubillahimindzalik!
“ Kalau mengaji, Zainab bisa kan? “
“ Zainab baru masuk Iqro’ 2 waktu mau pindah disini. “Jawab Zainab polos.

Kakek Hamid menatap wajah Zainab tak percaya. Rasanya tidak mungkin anak usia 12 tahun belum mengetahui tata cara sholat. Beliau saja usia 6 tahun sudah bisa mengaji dan sholat.
“ Ambu mau mengajari Zainab sholat dan mengaji? “ Tanya Zainab ragu – ragu.
“ Zainab mau belajar sholat dan mengaji? “
“ Iya, mereka bilang kalau mau sekolah di MTs Ende itu harus bisa sholat dan mengaji. Tetapi karena ja’o tidak bisa sholat dan mengaji, Inne ne’e Baba suruh saya sekolah di MTs Waingapu saja. Disini tidak ada tes jadi biarpun tidak sholat dan mengaji bisa sekolah disini. Tetapi ja’o tidak mau sekolah disini, ja’o mau sekolah di Ende saja. Disini banyak babi dengan anjing tidak seperti di Ende. “
“ Kalau memang Zainab mau belajar sholat dan mengaji insya Allah sebentar Ambu bicara dengan ustad Abu Bakar. Biar nanti Zainab belajar di TPA. Zainab mau? “
“ Kenapa bukan Ambu saja yang ajar sama saya ? Ambukan bisa mengaji dengan sholat? Kalau mengaji di kampung sebelah saya tidak berani karena saya tidak kenal mereka semua. Nanti mereke ganggu saya lagi. Ambu saja yang ajar saya e. “
“Ambu tidak bisa mengaji, Ambu hanya bisa sholat. “
“ Biar tidak bisa mengaji bisa sholat? Kalau begitu saya tidak usah belajar mengaji, belajar sholat saja. Tetapi nanti baca apa sudah kalau sholat? “
“Ambu memang tidak bisa mengaji tetapi Ambu hafal niat sholat dan semua bacaan sholat. Ambu juga hafal beberapa surat dalam Al-Qur’an. Kalau Zainab hafal surat apa saja? “
“ Hanya surat Al-Fatihah saja. Dulu waktu TK saya hafal niat sholat dan bacaannya tetapi karena tidak pernah sholat saya lupa semua. Do’a tidur, makan, masuk WC Ibu guru ajar semua. Tetapi sekarang saya sudah tidak ingat. Saya waktu SD sekolah di SD Katolik karena dekat dengan asrama. “
“ Kalau begitu mulai besok sore, Ambu antar Zainab mengaji di rumah Ustad Abu Bakar. Nanti pulangnya biar Mama Tua yang jemput. Sebagai seorang muslimah yang ingin dicintai Allah dan RasulNya Zainab harus bisa mengaji dan sholat. Kalau kita tidak sholat, tidak mengaji dan puasa Allah akan sangat marah. Apalagi Zainab sudah akil balik jadi hukumnya wajib untuk selalu melaksanakan ibadah puasa dan sholat. Kalau kita punya iman orang – orang kafir tidak akan bisa membodohi kita. Zainab di sekolah belajar sejarah kan? Dulu bangsa kita dijajah bukan hanya karena masyarakat Indonesia saat itu bodoh dan terbelakang tetapi juga karena banyak orang musyrik. Kalau kita selalu beribadah dan memohon perlindungan Allah niscaya Dia akan selalu menjaga kita, melindungi dan menjauhkan kita dari kejahatan orang – orang kafir. Kalau iman kita kuat kita tidak akan mudah dipengaruhi orang – orang kafir. Kita akan tetap istikomah di jalan Allah. Banyak orang meninggalkan agama ini hanya karena silau oleh harta dunia yang nantinya akan menjadikan kita penghuni neraka. “

Zainab percaya kalau apa yang dikatakan Kakeknya benar. Dia sering melihat di televisi begitu banyak gadis – gadis seusianya yang bekerja di kota besar demi memenuhi keinginan orang tua mereka. Bahkan ada yang sengaja menjual bayinya agar bisa memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga. Dimana – mana uanglah yang berkuasa. Bahkan uang bisa digunakan untuk membeli keimanan seseorang. Seperti beberapa tetangganya yang menikah dengan perempuan Jawa. Di Jawa mereka berikrar masuk Islam dan menikah di Mesjid. Tetapi setelah pulang isterinya dipaksa masuk agamanya. Ada yang kuat imannya dan memilih pulang ke kampung halamannya. Tetapi ada juga yang dengan ikhlas memurtadkan diribegitu melihat harta benda suaminya. Penduduk asli Tanah Marapu ini memang kebanyakan turunan raja – raja Sumba zaman dulu. Mereka memiliki tanah ribuan hektar dan binatang ternak seperti sapi, kuda dan si kaki pendek ( babi ) yang kadang dibiarkan saja berkeliaran di padang tanpa khawatir ada yang akan mencurinya. Siapa yang berani mencuri binatang ternak milik orang – orang terpandang?

Keluarga yang memiliki banyak anak perempuan dikategorikan sebagai keluarga kaya. Sebab anak perempuan adalah lumbung emas bagi keluarganya. Biaya melamar atau lebih dikenal dengan istilah bayar belis seorang anak gadis harus sama dengan Ibunya dulu. Bila dulu sang Ibu dilamar dengan empat ekor kuda maka anaknyapun demikian. Jika tidak sesuai maka akan ditolak atau sang pria kawin masuk. Maksudnya dia tinggal di rumah isterinya namun tidak mempunyai hak apa – apa atas isteri dan anaknya. Kecuali bila belisnya telah sesuai. Makanya kebanyakan pemuda yang tak punya modal lebih memilih menikah dengan gadis dari suku yang lain. Di pulau Sumba ini orang yang miskin bisa jadi kaya karena anak perempuannya. Namun sebaliknya orang yang kaya bisa jadi melarat karena anak laki – lakinya menikah dengan perempuan Sumba atau Sabu. Zainab merasa bersyukur karena dia bukan asli orang Sumba atau Sabu. Dia lahir di Sumba, ayahnya orang Ende tetapi Ibunya orang Sabu yang juga berdarah Ende.
Alhamdulillah, walaupun orang Sabu asli Neneknya tidak menuntut uang yang banyak ketika ayahnya datang melamar Ibunya. Pemikiran orang tua zaman dulu yang paling utama adalah kebahagiaan anaknya. Harta bisa dicari namun kebahagiaan hadir dari dalam hati seseorang. Tidak seperti orang tua zaman sekarang bila yang datang melamar pemuda miskin maka berbagai alasanpun dipakai. Belum cukup umur atau kami masih sanggup menjaga dan memberi makan anak kami adalah salah satu alasan klise yang sering dilontarkan. Namun ketika sang anak sudah hamil baru mereka tahu kalau anaknya sudah kelebihan umur dan mereka tak bisa menjaga anaknya dengan baik. Keluargapun saling salah menyalahkan. Keputusan terakhir merekapun dinikahkan. Padahal dalam agama Islam dilarang menikahkan perempuan yang sudah hamil duluan. Kehormatan keluarga dijadikan alasan utamanya dan melupakan syariat Islam. Padahal sebelumya kesenangan keluarga untuk mendapatkan uang yang banyak lebih diutamakan sehingga saat dilamar secara baik – baik masih saja ditolak. Sikap yang patut ditiru oleh orang – orang yang ingin merasakan panasnya api neraka Allah.
Kakek Hamid sangat senang karena Zainab cucu pertamanya yang terkenal nakal dan pembangkang sekarang mau belajar ngaji dan sholat. Setiap sore sebelum ke pasar Kakek Hamid selalu mengantar cucu kesayangannya itu ke TPA. Mereka berdua naik sepeda menyusuri jembatan papan yang menghubungkan antara desa tempat tinggal Kakek Hamid dan Ustad Abu Bakar. Diminggu pertama Zainab masih diantar oleh Kakek Hamid dan dijemput Nenek Halimah. Setelah mendapatkan seorang teman yang kebetulan sekampung dengannya Zainabpun tak mau lagi diantar jemput. Memang dia masih sedikit susah berkomunikasi dengan teman – temannya karena cara bicaranya yang masih mencampur bahasa Ende dengan bahasa Indonesia.

Namun dia tak kehilangan akal, kadang kala dia menggunakan bahasa isyarat dengan mereka. Zainab mengerti apa yang dikatakan guru, teman – teman dan orang – orang disekitarnya. Masalahnya dia belum bisa sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Makanya kadang kala kata – katanya rancu membuat lawan bicaranya bingung. Beruntug teman – temannya mengerti akan kesulitan yang dia hadapi. Mereka malah senang dan lucu bila mendengar Zainab bicara. Bahkan ada yang minta diajari bahasa Ende. Zainab tak mau mengajari mereka dengan gratis. Dia ikut meminta mereka mengajarinya bahasa Sumba dan Sabu. Memiliki teman – teman baru yang berbeda suku degannya walaupun ada dalam satu propinsi NTT, membuat Zainab betah tinggal bersama Kakek dan Nenekya. Dia tak pernah lagi menangis minta pulang ke Ende. Bahkan disetiap libur kenaikan kelaspun dia hanya pulang selama seminggu.
Zainab merasa sangat bahagia tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Terutama Kakeknya yang sangat memanjakannya. Mereka selalu sholat berjama’ah di rumah. Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya saat bersama kedua orang tuanya. Tidak pernah sekalipun Kakeknya meninggalkan sholat. Kemarinpun saat tubuhnya terbaring lemah tak berdaya karena penyakit liver yang dideritanya, lelaki separuh baya itu tetap sholat dengan bantuan isterinya. Perhatian dan kasih sayang mereka begitu besar padanya. Ketika dia sedang belajar atau mengaji, Nenek selalu menemaninya. Diapun selalu tidur bersama Neneknya sehingga bila terjaga di malam hari dia tidak lagi merasa takut. Meskipun rumah tempat tinggal mereka sudah berlubang dimana – mana hidup mereka bertiga tetap bahagia. Setiap subuh Zainab selalu bangun bersama Kakeknya melihat bintang fajar lalu kemudian sholat subuh bersama. Biasanya sehabis sholat subuh Kakeknya selalu berdo’a dan wirid. Zainab paling suka ketika Kakeknya melafadzkan ‘ Ya hayyu ya qoyyum ahya qulub tahya washlihlana ‘amal fiddien waladunya ‘. Walaupun tak mengerti apa artinya entah kenapa jantungnya selalu berdegup kencang. Ada rasa aneh yang dia sendiri tak tahu apa.

Setiap hari setelah selesai sholat subuh Kakek Hamid pergi ke pasar ikan untuk menjual ikan yang dibelinya dari nelayan yang punya perahu. Tidak pernah seharipun Kakeknya libur ke pasar.
“ Kalau Bapak Tua tidak pergi pasar nanti kita makan apa? “ Begitu alasan yang selalu dilontarkannya bila Zainab menyuruhnya istirahat sehari saja.
“ Tetapi Ambukan sudah tua dan sakit – sakit nanti kalau Ambu sakit di pasar bagaimana? Lebih baik sekarang Ambu istrahat saja dulu di rumah. Ambukan baru sebulan keluar dari rumah sakit. Luka bekas operasi itu belum sembuh betul. “
“ Ambu sekarang sudah sehat dan bisa pergi jual ikan kembali. Kalau terlalu lama tidak pergi pasar nanti perahu yang baru kita beli dicuri orang. Insya Allah Ambu tidak akan sakit lagi bila kamu selalu mendo’akan Ambu disetiap sujud terakhirmu. Do’a cucu yang solehah, insya Allah akan diijabah. “
“ Benarkah? “ Mata Zainab berbinar – binar penuh harapan. Begitu sayangnya dia pada Kakeknya sehingga dia begitu takut kalau suatu hari nanti lelaki tua yang penuh cinta itu akan pergi meninggalkannya. Kata – kata Kakeknya membuat harapannya kalau suatu hari nanti Kakeknya akan kembali sehat tumbuh kembali. Setiap akhir sujud dalam sholatnya baik wajib maupun sunnah dia selalu memohon pada Allah agar Kakeknya tidak sakit. Agar Kakeknya selalu diberi kesehatan dan dijauhkan dari segala marabahaya.
“ Ya Allah, jaga dan lindungilah Ambu jo. Jangan kasih Ambu penyakit lagi. Kasihan Ambu. Kalau Ambu sakit siapa yang cari makan buat kami? Baba dengan Inne tidak pernah lagi kirim uang buat saya. Kalau Ambu tidak ke pasar dan tidak ada uang saya tidak bisa beli buku dan pena. Kami juga tidak punya uang buat bawa Ambu ke rumah sakit. Ya Allah, tiada tempat aku meminta dan memohon perlindungan selain hanya ke padaMu. Istajib do’a ana ya Allah. Aamiin...”

Manusia boleh berencana namun Allah yang menentukan hasil akhirnya. Apakah sesuai dengan harapan kita atau tidak semuanya terserah padanya. Allah lebih tahu mana yang terbaik buat hambaNya. Do’a yang dipanjatkan Zainab bukannya tak diijabah Allah tetapi mungkin Allah punya rencana yang lebih indah buat Kakeknya. Siangnya sepulang sekolah ada banyak orang di rumahnya. Wajahnya langsug memucat bayangan Kakek Hamid bermain di benaknya.
“ Assalamu’alaykum, Ambu... Ambu....” Zainab memanggil – manggil Neneknya. Dia tak peduli dengan orang – orang yag berdiri di depan pintu rumahnya. Didalam Nenek Hamid sedang menangis sambil memangku kepala Kakek Hamid. Zainab memeluk tubuh Kakeknya sambil menangis.
“ Ambu kenapa? Siapa yang buat Ambu begini?” Tanya Zainab diantara isak tangisnya. “ Tadi pagi Ambu bilang sudah sehat. Terus kenapa Ambu sakit lagi? Ambu bohong sama saya dengan Ambu perempuan. “
“ Kamu punya Bapak Tua tadi pagi pergi balik perahunya yang terbalik gara – gara dihantam ombak. Itu perahu berat sekali makanya benang jahitannya langsung terlepas. Kami tidak lihat makanya kami tidak bantu. “ Kata Pak sholeh salah satu nelayan yang biasa berjualan ikan disamping Kakeknya.
“ Lalu sekarang bagaimana sudah? “ Zainab menatap wajah Neneknya bingung. Nenek Halimah hanya menggelengkan kepalanya.
Kedua Nenek dan cucu itu hanya bisa pasrah pada nasib. Pasrah pada keadaan. Ingin rasanya membawa Kakek Hamid ke rumah sakit, tapi uang darimana? Jamkesmas pun tak ada. Mau minta tolong pada saudara tetapi sama saja dengan bohong. Kondisi merekapun sama. Sama – sama miskin. Kadang kala dia bertanya – tanya sendiri apakah memang sudah takdir kalau keluarganya miskin? Rasanya sangat menyedihkan melihat keadaan Kakeknya yang terbaring sakit tanpa dia bisa melakukan sesuatu yang berarti. Setiap kali menyuapkan bubur cair ke mulut Kakeknya Zainab tak kuasa menahan kesedihannya. Bagaimana bisa sembuh kalau makanannya tak bergizi? Kedua orang tuanya bisa datang karena berhutang pada tetangga. Seringkali Mamanya berhutang beras di kios tetangga agar mereka bisa makan. Bapaknya setiap hari duduk termenung menyesali diri karena tak bisa berbuat apa – apa untuk Ayah mertuanya.

Setiap hendak berangkat ke sekolah Zainab merasa kedua kakinya begitu berat untuk melangkah. Tak ada lagi semangat untuk menuntut ilmu. Semangatnya seolah ikut terbaring sakit di ranjang bambu tempat Kakeknya terbaring lemah. Diapun jadi malas mengaji dan sholat.
“ Allah sangat kejam sama Ambu. Padahal Ambu selau sholat lima waktu. Ambu selalu puasa dan pergi sholat taraweh walaupun mesjidnya jauh. Ambu selalu baik sama tetangga dan memberi mereka ikan gratis. Tetapi kenapa Allah begitu kejam membuat Ambu menderita sakit seperti ini. Ambu sayanainab sholat dan mengaji? Mulai sekarang Zainab tidak mau lagi sholat, puasa dan mengaji. “
“ Astaghfirullahaladziem, Zainab kamu tidak boleh bicara seperti itu. Hidup itu harus ikhlas. Apapun yang Allah berikan harus kita syukuri. Allah tidak akan menguji hambaNya diluar batas kemampuan kita. Allah itu Maha Cinta. Kalau kita ingin dicintai Allah kita harus menyerahkan diri kita seutuhnya kepada Allah Swt. Hidup ini tidak akan berakhir sampai disini saja. Masih ada kehidupan kedua di Yaumil akhir nanti. Biarlah di dunia kita hidup menderita dalam kemiskinan asalkan di akherat nanti hidup kita bahagia dalam Jannah Allah. Harta memang penting dalam hidup manusia. Tetapi siapa bilang orang yang banyak harta itu hidupnya bahagia? Harta tidak bisa menjamin kebahagiaan seseorang. 
Kadang kala harta bisa menjadi petaka dalam hidup kita. Percuma kita bergelimangan harta bila harta itu akan menjadi kayu bakar di neraka nanti bila kita tidak bisa menggunakannya untuk amal jariah. Kalau nanti kamu sudah dewasa Kakek punya satu pesan buat kamu jangan melihat seseorang hanya dari wajah, penampilan dan hartanya. Lihat isi hatinya. Apakah dia beriman atau tidak. Percuma agamanya Islam bila dia tak beriman. Ambu yakin, insya Allah hidupmu akan bahagia dunia akherat. Sekarang mungkin kamu berfikir kalau hidupmu sangat menderita. Tetapi sebenarnya masih banyak manusia di dunia ini yang hidupnya lebih menderita dari kita. Yang hidupnya lebih memprihatinkan. Semua manusia terlahir dalam keadaan telanjang, itu membuktikan kalau Allah Maha Adil. Allah tidak pernah pilih kasih. Semuanya sama yang membedakan hanyalah keimanan dan ketakwaan kita sebagai seorang hamba. Bukannya harta. Orang bisa kaya karena usaha. Usahanya halal atau haram hanya Allah yang tahu. ”



PROFIL PENULIS
Nama : Siti Fatimah Binti Jafar
Alamat : MTsN. Kamalaputi Jln. Sultan Agung no. 36. Waingapu Sumba Timur NTT
Facebook : shifa jafar

Cerpen Islami Bintang Fajarku Part. II


Nasehat Kakek Hamid selalu Zainab ingat. Hingga saat ini. Meskipun sudah lima belas tahun waktu berlalu namun rasanya Kakek dan Neneknya masih ada didekatnya. Mereka hidup di dalam hatinya. Hari itu semua yang dikatakan Kakek Zainab terbukti kebenarannya saat mereka memindahkan makam Kakek dan Neneknya. Tanah tempat tinggal mereka dulu terpaksa dijual. Soalnya disebelahnya sudah dibangun gereja. Zainab dan keluarganya takut bila terus tinggal disana orang – orang Nasrani itu akan mempengaruhi adik – adiknya. Kain kafan yang membungkus jasad Kakek dan Neneknya masih utuh dan bersih hanya saja dipenuhi akar kelapa. Maklum di kebunnya dulu banyak ditumbuhi pohon kelapa yang semuanya ditanam oleh sang Kakek. Ketika kain kafannya dibuka, air mata Zainab tak kuasa di tahan. Dia menangis terisak – isak melihat tulang belulang Kakeknya. Tubuh tegap yang dulu sering dipeluk kini setelah lima belas tahun hanya tinggal tulang belulang. Gerimis siang itu seolah langit ikut menangis melihat salah seorang manusia yang dulu bernaung dibawahnya kini hanya tersisa tulang belulang tanpa sedikitpun daging yang melekat. Tulang belulang itu tersusun rapi seperti tengkorak dalam laboratorium IPA yang dulu sering dipakai praktek biologi.
“ Subhanallah...Maha suci Engkau ya Allah. “ Bibirnya bergetar takjub. Begitu besar amal ibadah kedua Ambunya hingga Allah selalu menjaganya walaupun sudah tiada.
Dimakam Kakeknya Zainab berjanji selalu menunggu bintang fajar saat subuh tiba. Diapun berjanji akan mencari bintang fajar yang seperti almarhum Kakeknya. Yang selalu bersinar terang di sunia dan akherat. Yang insya Allah akan menjadi imam buatnya dan anak – anaknya nanti. Yang menjadi petunjuk dimana letak syurga Allah hingga langkah kakinya tak akan pernah tersesat lagi seperti dulu sebelum bertemu Kakeknya tersayang. Sebelumnya diapun ingin menjadi bintang fajar, dia tak ingin hanya menjadi sebatang lilin yang hanya bersinar sesaat. Agar esok di yaumil akhir dia bisa bertemu dan berkumpul kembali dengan Kakek Hamid. Insya Allah....

==========Selesai==========
Indeks :
Ambu = Sebutan untuk Kakek dan Nenek dalam bahasa Ende
Inne ne’e Baba = Ayah dan Ibu
Ja’o = Saya
Ambu nggae apa = Kakek mencari apa?
Medzengata le = Besar sekali ya
Ja’o mbembo = Saya tidak tahu / saya tidak mengerti
Ngeamba = Bagaimana

LIMA MENIT YANG LALU
Tidak terasa sudah tiga bulan waktu berlalu. Dan aku masih disini, masih setia menunggu kepulangan Agung dari Yogyakarta. Meskipun ini bukanla yang pertama kalinya dia pergi tanpa pamit. Aku tak perduli. Bagiku dia adalah laki – laki terbaik yang menjadi dambaan setiap wanita. Dulu aku harus berjuang keras mengalahkan semua gadis – gadis yang juga berharap bisa mendapatkan cintanya. Meskipun kedua orang tuaku tak perna mau merestui hubungan kami, aku tetap kukuh mempertahankan cintaku padanya. Dihatiku anya ada Agung, Agung dan Agung. Tak akan ada yang lain. Tak akan pernah ada cinta yang lain sekarang dan selama-lamanya. Aku tak perduli meskipun banyak orang yang selalu mencibir sinis setiap kali kami jalan bersama.
“ Koq bisa ya bapaknya Haji tiga kali tapi kelakuan anaknya sungguh memalukan. Bisa – bisanya dia berhubungan dengan anak pendeta. Otaknya ditaruh dimana? Dia berjilbab tapi pacarnya memakai kalung salib sebesar jangkar kapal.” Begitulah kata mereka.

Akupun langsung menanggalkan jilbabku. Jilbab yang sudah kupakai semenjak masih Tk dulu. Kedua orang tuaku marah besar. Tetangga semakin gencar menggosipi aku. Namun aku tak pernah perduli. Menurutku mereka hanya sekelompok orang – orang tak berguna yang kerjanya hanya berghibah. Dosa mereka lebih besar dari dosaku karena mereka memakan bangkai saudaranya sendiri. Terserah mereka mau bilang apa yang jelas aku bahagia menjadi kekasih Agung Saputra. Biarla anjing menggonggong, aku akan tetap melangkah. Aku tak perduli meskpun agama kami berbeda karena cinta tak mengenal perbedaan. Lagi pula aku tak mungkin dipaksanya untuk mengikuti agamanya, sebab saat pertama kali kami jadian dia sudah berjanji akan mengikuti agamaku.
“ Sayang, hari ini aku pulang. Tolong kamu jemput aku di stasiun kereta api pukul dua belas tepat. Aku sangat rindu padamu.” Begitu bunyi sms yang dikirim Agung pagi tadi.

Perempuan mana yang tak akan bahagia menyambut kepulangan kekasihnya? Apalagi sudah tiga bulan kami tak bertemu dan selama itu dia tak pernah sekalipun menghubungiku. Nomornya selalu tak aktif. Baru hari ini dia menghubungiku lagi dan mengabarkan kalau dia akan pulang. Pukul setengah sebelas aku sudah berdandan rapi dan secantik mungkin. Aku ingin tampil sempurna dihadapan kekasihku. Aku harus berangkat lebih awal agar bisa mendapat kendaraan yang kosong. Soalnya sekarang hari jum’at anak – anak sekolah dan pegawai pulang lebih awal. Akibatnya bemo jadi sarat. Ojekpun tak akan bisa ditemukan soalnya hampir semua tukang ojek beragama islam. Biasanya jam setengah dua belas mereka sudah meninggalkan pangkalan. Aku tidak mau naik bemo soalnya aku kadang tak bisa menahan rasa marahku saat bocah – bocah ingusan itu menjadikan kaki cacatku sebagai objek perhatian mereka. Sering kali mereka mengejek kakiku yang cacat sebelah. Selain itu aku takut bila terlambat menjemputnya Agung akan marah besar. Dia paling tidak suka bila aku tak tepat waktu karena dia selalu on time bila kami janjian. Padahal dia tahu kalau sebelah kakiku cacat makanya tak bisa berjalan cepat.
“ Kalau masih mau jadi pacarku kamu harus selalu on time. Aku tak suka punya cewek lelet. Kakimu yang cacat jangan dijadikan alasan keterlambatanmu. Masih banyak cewek sempurna diluar sana yang mengharapkan cintaku jadi kamu jangan bertingkah dihadapanku. “ Begitu katanya setiap kali aku terlambat. Dia tak perduli walaupun kami ada di tempat umum dia tetap saja menumpahkan amarahnya.

Aku takut Agung akan meninggalkanku. Aku tak ingin kehilangan dia. Lewat pintu belakang aku keluar dari rumah. Kedua orang tuaku sedang berbincang – bincang di ruang tengah makanya mereka tak melihat sewakta aku kabur dari pintu belakang. Langkah kakiku semakin ku percepat akibatnya kaki kananku yang cacat terasa sangat sakit. Ya Allah kenapa Engkau takdirkan aku memiliki sebelah kaki yang kecil? Kaki sialan ini sangat menyebalkan. Gara – gara kaki cacat ini aku tak bisa melangka dengan cepat sehingga selalu terlambat menemui kekasihku. Nasibku memang sangat – sangat sial. Aku menghabiskan waktu setengah jam untuk bisa sampai di pangkalan ojek. Naasnya lagi saat aku sampai tak ada satupun ojek yang terlihat. Entah pergi kemana mereka semua. Padahal biasanya pangkalan ojek selalu ramai. Terpaksa aku berjalan kaki lagi menuju terminal angkot. Bedak yang kupakai suda terhapus gara – gara keringat yang membasahi wajahku. Aku sangat lelah namun keinginan untuk bertemu Agung membuatku tak menghiraukan kaki kananku yang nyeri. Beruntung ketika sampai di terminal masih ada satu kendaraan yang menuju ke stasiun. Saat mau naik kedalam angkot seorang anak lelaki pedagang rokok membantuku naik.
“ Terimakasih, Dik.” Ucapku dan dia hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah. Dalam hati ada sedikit rasa perih, anak laki – laki yang tak kukenal itu begitu tulus membantuku tanpa kuminta. Tidak seperti Agung. Mana pernah dia membantuku malahan dia selalu bersikap seolah – olah kami tak saling kenal. Waktu kutanya apakah dia malu memiliki pacar cacat dia malah marah – marah. Katanya dia bukannya malu, dia hanya ingin aku mandiri dan jangan bergantung padanya. Walaupun sudah setahun pacaran aku masih belum bisa memahami sikapnya yang selalu berubah – ubah. Kadang dia penuh perhatian tetapi kadang dia bersikap tak perduli.
“ Kakak mau kemana? “ Tanyanya ramah. Celana seragam biru panjang yang dipakainya menandakan kalau dia siswa MTs. Memang banyak anak – anak kurang mampu yang bekerja sepulang sekolah.
“ Mau ke stasiun, Dik. Mau menjemput pacar. ” Entah kenapa aku bisa sejujur ini padanya.
“ Mengapa kakak tidak menunggu di rumah saja? Kasihan kaki Kakak kan cacat. “
“ Kalau Kakak tidak menjemputnya nanti dia marah. “
“ Dia pasti orang yang tak punya hati. Sudah tahu stasiun jauh dari rumah Kakak masih saja menyuruh Kakak menjemputnya. Kalau memang dia pacar yang baik kenapa menyiksa Kakak seperti ini? Baru jadi pacar saja sudah jahat begini apalagi nanti kalau sudah jadi suami. “ Gerutunya.

Kata – kata bocah itu membuatku kesal sekaligus malu. Seandainya dia sesusia denganku mungkin sudah ku gampar mulut usilnya. Seenaknya saja dia mengata – ngatai pacarku. Beberapa penumpang yang mendengar percakapan kami melempar pandangan dan senyuman sinis. Menyebalkan sekali. Mungkin mereka tak percaya cewek cacat macam aku bisa punya pacar. Tetapi biarlah aku tak perduli. Aku memutuskan untuk diam dan tak melayaninya bicara. Sewaktu turun di depan stasiun aku menolak uluran tangannya.
“ Saya bisa turun sendiri. “ tukasku ketus. Syukurlah kereta apinya masih sejam lagi baru datang. Berarti kali ini untuk pertama kalinya aku tidak terlambat menjemputnya. Kali ini aku tidak akan dimarahi lagi. Agar tidak jenuh aku menunggunya sambil mengisi TTS yang tadi kubeli dari anak laki – laki itu. Satu jam bukanlah waktu yang lama. Yang aku tunggu adalah kekasihku jadi anggap saja ini sebuah pengobanan cinta. Agung pasti akan memuji dan semakin mencintaiku.

Allahu Akbar....Allahu Akbar....! Terdengar suara adzan dari Mesjid yang terletak di seberang rel kereta api. Aku melirik jam tanganku, sudah pukul 12.10 menit. Kata Agung kereta api yang ditumpanginya akan tiba pukul dua belas tepat. Tapi kenapa sudah lebih sepuluh menit kereta apinya belum datang juga? Aku ingin bertanya pada petugas yang ada di loket namun wajah sangernya membuatku takut. Kumis dan cambang memenuhi wajahnya. Kuputuskan untuk menunggu namun perasaanku mulai tak enak. Aku takut terjadi sesuatu dengan Ibu. Aku ingin menelpon tetanggaku namun sialnya Hpku ketinggalan di rumah. Dengan menahan rasa takut aku memberanikan diri bertanya pada penjaga loket.
“ Maaf, Pak masih berapa lama kereta apinya tiba disini ?”
“ Darimana, Mbak? ” Suaranya besar tapi sikapnya sangat ramah.
“ Dari Yogyakarta. ”
“ Oooo...biasanya terlambat satu atau dua jam, Mbak. Ada keluarganya yang datang? “
“ Pacar saya,Pak. Terima kasih. “

Satu atau dua jam lagi? Aduh bagaimana ini, tadi aku belum masak nanti kalau Bapak sudah pulang sholat jum’at beliau makan apa? Adik lelakiku mana bisa masak. Seandainya Ibu tidak buta beliau bisa masak buat Bapak. Sayangnya Ibu kehilangan penglihatannya setelah melahirkan aku. Kalau aku pulang takutnya ketika aku dalam perjalanan pulang atau kembali kesini kereta apinya sudah sampai. Bisa – bisa Agung marah besar dan meninggalkanku lagi. Ditengah kebingunganku bocah lelaki itu datang menghampiri.
“ Ada apa? “ Tanyaku ketus. Aku masih kesal padanya.
“ Saya hanya mau duduk, Kak. Tidak boleh? “ Mata beningnya menatapku lembut.

Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku pura – pura kembali mengisi TTS. Tetapi pikiranku dipenuhi wajah lapar Bapak dan tatapan kosong Ibu. Aku jadi tak bisa konsentrasi. Apakah aku harus terus menunggu Agung atau pulang dan hasil akhirnya dia memutuskan aku. Tidak, itu semua tidak boleh terjadi. Biarlah aku tetap menunggunya disini. Toh, Bapak bisa membeli makanan di warung.
“ Kakak kenapa gelisah sekali? Kereta apinya belum datang ya? Kakak datangnya terlalu tempo. Lebih baik Kakak pulang saja. Kasihan kalau harus nunggu disini. “
“ Kamu kenapa jadi anak kecil suka sekali ikut campur urusan orang dewasa? Kamu pikir karena tadi sudah menolong aku kamu lantas punya hak untuk ikut campur urusanku? Atau kamu mau minta bayaran?.” Emosiku naik kembali. Kuambil uang sepuluh ribu dari dalam tas lalu ku sodorkan padanya.
“ Ini uang apa, Kak?” Tanyanya pura – pura bodoh membuatku semakin kesal.
“ Ini upah karena kamu tadi sudah menolongku. Kenapa? Masih kurang? Kamu mau berapa? “
“ Kakak jangan salah paham. Aku ikhlas menolong Kakak. Dan aku lebih mengharapkan upah dari Allah daripada Kakak. Kakak bukan muslim ya, pantas saja tidak tahu soal itu. “

Aku tercekat. Sekali lagi dia membuat dadaku sesak. Dulu ketika masih berjilbab orang langsung tahu kalau aku ini seorang muslim. Namun sekarang saudaraku sendiri tak bisa mengenaliku karna penampilanku sama dengan perempuan – perempuan kafir. Padahal pakaianku masih menutup aurat hanya jilbabku yang lenyap.
“ A...Aku muslim. Namaku Siti Aisyah. “Leherku seperti dicekik saat mengucapkan kata – kata itu. Ada rasa perih yang semakin menjadi – jadi. Entah kenapa aku merasa sangat malu padanya.
“ Nama Kakak bagus sekali sama dengan nama isteri Baginda Rosul. Namaku Muhammad Nur. Biasa dipanggil Nur sama Ibuku karena katanya biar aku selalu menjadi cahaya buatnya. “
“ Namamu juga bagus. Cahaya Muhammad. “
“ Kakak sudah sholat? “
“ Belum. “
“ Kenapa belum solat? Diseberang jalan sana ada mesjid. Tadi sya sholat jum’at disana. ”
“ Waktu sholat dzuhurkan masih panjang. Biar sekalian nanti saya sholat di rumah saja. Satu jam lagi kereta apinya tiba. “
“ Kakak yakin masih hidup sampai satu jam lagi ? ”
“ A...apa maksudmu ? “
“ Sekarang aku mau nanya sama, Kakak. Tadi pacar Kakak minta dijemput jam berapa? “
“ Jam satu. “
“ Terus Kakak berangkat dari rumah jam berapa? “
“ Jam setengah sebelas. “
“ Kok Kakak berangkatnya setengah sebelas ? Kenapa ?”
“ Rumah Kakak jauh dari jalan umum makanya Kakak takut terlambat dan membuat dia marah. Kakak sangat mencintainya. Kakak tidak ingin kehilangan cintanya. Sebenarnya maksud semua pertanyaan kamu ini apa? Apa hubungannya sholat dengan menunggu pacar? “
“ Tentu saja ada hubungannya. Ketika azan berkumandang itu artinya Allah sedang memanggil kita untuk mengerjakan sholat. Sayangnya kebanyakan orang menunda menemui Kekasih Sejatinya hanya karena sibuk dengan urusan duniawi. Sama seperti Kakak. Kakak sangat takut terlambat menemui pacar Kakak sehingga nantinya dia marah dan meninggalkan Kakak. Tetapi Kakak sama sekali tidak merasa takut akan kemarahan Allah karena Kakak tidak langsung menemuinya ketika mendengar azan. Waktu sholat selalu Kakak tunda dan mungkin kadang Kakak abaikan panggilan Allah itu. Coba sekarang Kakak pikir baik – baik seruan cinta Allah atau seruan cinta pacar Kakak yang arus Kakak dengar? Mana yang lebih menakutkan kehilangan cinta Allah atau kehilangan cinta pacar? Ingatlah Kekasih Sejati kita hanyalah Allah. Dan Allah tak pernah berdusta seperti manusia yang penuh dengan seribu janji namun ujung – ujungnya Allah-lah yang menentukan hasil akhirnya. Allah lebih tahu mana yang terbaik buat kita umatNya. “
Kata – kata Nur seperti air es membuat tubuhku menggigil. Aku bukannya menggigil karena kedinginan tetapi aku menggigil karena ketakutan. Aku sangat takut. Takut kalau apa yang dia katakan benar – benar terjadi padaku. Apa jadinya jika Allah meninggalkanku? Kerak neraka akan terbuka lebar menantiku. Dalam benakku terurai kembali perjalanan cintaku bersama Agung selama setahun ini. Aku ingat selama berhubungan dengannya aku jadi jarang mengikuti kegiatan Rohis di kampus. Aku selalu telat sholat dan terkadang tidak menunaikannya bila sedang pergi dengannya. Aku jadi tak fokus kuliah dan lebih banyak menghabiskan waktuku bersamanya. Setiapa kalia dia sms atau telepon mengajak ketemuan aku selalu berbohong pada kedua orang tuaku agar diijinkan keluar rumah. Aku tak pernah lagi mengurus Ibu yang buta. Hidupku jadi penuh sandiwara. Sandiwara yang terkadang menyiksaku.
Berkali – kali aku menangkap basah Agung pergi dengan perempuan lain namun janji – janji manisnya membuatku tak berdaya. Bukan cinta yang membuat kedua mataku tertutup namun nafsu untuk memiliki Agunglah yang membuat aku tak berdaya. Terkadang aku tak bisa membedakan diantara keduanya. Namun hari ini aku sudah menemukan jawabannya. Selama ini aku sudah menjadika Agung tuhanku hanya untuk mendapatkan cintanya. Sekarang aku ingin kembali pada dien-ku. Aku ingin kembali mengejar cinta Rabb-ku yang Agung. Apapun yang terjadi nanti akan aku terima dengan hati yang ikhlas. Seperti kata bocah itu Allah tahu mana yang terbaik buat HambaNya.

Aku berdiri dan meluruskan niatku. Aku mau pulang. Aku ingin minta maaf pada Bapak, Ibu dan adikku. Selama ini aku sudah membuat mereka malu dengan kelakuan burukku. Melupakan kewajibanku sebagai seorang anak dan kakak yang baik. Aku ingin mohon ampun pada Allah karena selama setahun ini aku sudah melupakan fitrahku sebagai seorang hambaNya.
“ Kakak mau kemana ? ” Tanya Nur.
“ Pulang. “ Jawabku mantap.
“ Kereta apinya sebentar lagi sampai, Kak. Tuh, suara peluit lokomotifnya sudah terdengar. Kakak tidak mau menjemput pacar Kakak? Nanti dia marah. Kakak tidak takut dia akan meninggalkan Kakak? “ Walaupun dia bertanya begitu dari cara bicaranya aku sudah tahu kalau dia senang sekali.

Aku mengusap rambutnya yang masih basah terkena air wudhu.
“ Bukankah katamu ada cinta yang lain yang lebih indah, suci dan agung dari cintanya? Lima menit yang lalu aku memang masih mencintainya. Namun setelah mendengar nasehatmu akupun sadar kalau selama ini aku telah salah menilai perasaanku padanya. Apa yang aku rasakan selama setahun ini bukan cinta melainkan hanya hasrat untuk bisa memilikinya. Lagi pula dia bukan seorang muslim. Percuma Kakak mengejar cintanya, sebab tidak mungkin dia akan memberikan cintanya dengan gratis. Dan Kakak tidak mau membayarnya dengan iman di dada Kakak. Cukup sudah selama ini dia membuat Kakak jauh dari Allah. Aku ingin pulang dan mengejar cinta Tuhanku. “
“ Kakak tidak akan kecewa? “ Dia masih mengujiku.
“ Kenapa Kakak harus kecewa? Kakak yakin suatu hari nanti Allah akan mengutus seorang KhalilullahNya untuk menjadi imam buat Kakak di dunia dan akherat seperti saat ini Dia mengutus seorang malaikat kecil yang tampan untuk menyadarkan Kakak kalau selama ini Kakak sudah menempuh jalan yang salah. “
“ Alhamdulillahirobbil ‘alamiin. Kakak memang hebat ! Inilah sikap seorang muslimah sejati. “
Ah, tak terasa air mataku mengalir. Muslimah sejati. Dulu aku bercita – cita ingin menjadi seorang muslimah sejati yang hanya mencintai Allah dan Rosulnya. Yang selalu berpegang teguh pada Dien-ku. Namun setelah bertemu Agung akupun melupakan semuanya. Astaghfirullahaladziem...Ampuni hamba ya Allah. Bismillahirrohmanirroim...Kuayunkan langkah pulang ke rumah. Kakiku terasa ringan, hatikupun begitu. Entah kenapa aku sangat bahagia. Dalam hati berulang – ulang ku lafadzkan sebuah do’a terindah dalam hidupku Ya muqollabal qulubi tsabbat qulbii’aladienika yaa musorrofal qulubi tsabbat qulbii’ala thoo’atika. Wahai yang membolak balikkan hati, teguhkanlah hatiku diatas dienMu, wahai yang mengubah – ngubah hati, tetapkanlah hatiku diatas ketaa’tan padaMu. Aamiin...

PROFIL PENULIS
Nama : Siti Fatimah Binti Jafar
Alamat : MTsN. Kamalaputi Jln. Sultan Agung no. 36. Waingapu Sumba Timur NTT
Facebook : shifa jafar

Cerpen Horor Rahasia Dibalik Rumah Tua Itu Part. II

Fikripun mulai membacanya. “13 Maret. Hari ini aku membawa piano-piano itu ke ruang bawah tanah dengan bantuan kakek. Untung saja ayah dan ibu tidak tahu. Ah, aku tidak sabar ingin menyentuh dan bersenandung dengan mereka.”

“20 Maret. Aku berlatih piano dengan kakek. Nada-nadanya sangat indah dan lembut. Aku sangat bahagia! Kakek mengajariku musik Beethoven, Bach, Chopin, dan Mozart. Ayah dan ibu seharusnya melihat bakatku ini. Tapi sayangnya, mereka membenci musik! Mereka membenci segala jenis musik. Mungkin mereka masih mengingat insiden masa lalu itu. Dulu, jauh sebelum aku lahir, mereka punya anak perempuan. Sebagai keluarga bangsawan, mereka mengajari kakakku itu bermusik, dan kakakku tumbuh menjadi pemusik cilik yang sangat hebat, tepatnya seorang pianis cilik. Saat di perjalanan menuju pertunjukan, kakak membawa piano kesayangannya itu bersamanya. Ia tidak mau memakai piano selain miliknya. Dan saat itu pula, kecelakaan maut merenggut nyawanya, posisi kakak yang saat itu tertindih piano membuat ayah dan ibu sedih dan histeris. Sejak saat itu, mereka membenci musik. Terutama segala yang berhubungan dengan piano..”
“12 April. Jari jemariku sudah lancar memainkan tuts piano. Ini semua berkat kakek. Tapi hari ini kakek absen mengajariku. Ia sedang sakit. Sudah satu minggu ayah dan ibu melakukan perjalanan jauh, dan itu membuatku bebas memainkan Love Story milik beethoven, yang paling kusukai diantara berbagai lagu..”
“15 April. Keadaan kakek semakin memburuk. Hari inipun aku berlatih sendiri. Aku benar-benar berlatih dengan giat. Kakek, aku harap kau segera sembuh..”
“20 April. Sudah lebih dari seminggu sejak kakek sakit. Besok ayah dan ibu berencana pulang. Hari ini aku memainkan Fur Elise milik beethoven.. suaranya menggema di seluruh penjuru rumah..”
“21 April. Ayah dan ibu pulang. Sebelum mereka tiba, aku sudah menyelesaikan Symphony ku..”
“22 April. Ayah dan ibu mulai menaruh curiga padaku karena setiap kata yang kuucapkan selalu berhubungan dengan piano. Tadi aku keceplosan menjelaskan pada mereka bahwa Chopin lahir 60 tahun setelah Bach meninggal. Aku langsung meralatnya bahwa aku tahu itu dari sebuah buku..”
“30 April. Kakek meninggal. Kini aku benar-benar merasa kesepian.”
“Hei!! Ini, buku harian si anak yang ada di lukisan itu ya?” seru Dio. Aku mengangguk. “mungkin.. “ jawabku. Roni mendekatiku “Apa nggak apa-apa kalau kita baca buku harian ini? Kalau nanti orang yang ngunciin kita ini tau, bisa-bisa kita dicelakain!!” serunya panik. “Iya juga tuh..” sambung Fikri. “Tapi kita kan masih belum tau siapa orang iseng yang ngurung kita di sini. Mungkin aja dengan baca ini, kita bisa tau penyebab pasangan suami isrti bangsawan yang meninggal secara misterius itu..” usulku. “Betul! Kalau emang kematian mereka ada hubungannya dengan ini, kita bisa lapor polisi!” sahut Dio membelaku. Fikri menyerahkan jurnal itu padaku. Aku berusaha membaca tulisan-tulisan kecil itu. Kami semua duduk di sofa tua di depan perapian.
“8 Juli. Ayah dan ibu memergokiku sedang memainkan piano di ruang bawah tanah. Mereka menyiksaku mati-matian!!”
“10 Juli. Meskipun tubuhku masih sakit karena cambukan ayah, aku tetap berusaha untuk memainkan piano.”
“13 Juli. Ayah dan ibu mengancam akan menembakku dengan senapan mereka kalau aku tidak juga berhenti. Aku mencoba membela diri dan mengatakan bahwa dendam mereka sungguh keterlaluan!! Namun yang kudapat adalah pukulan tangan ayah yang sangat menyakitkan.. Malam ini, aku tidur di ruang bawah tanah dengan tubuh penuh luka..”
“14 Juli. Ibu masuk ke kamarku dan bicara baik-baik padaku. Ia memohon padaku untuk segera menghentikan permainan bodoh ini. Aku menangis dan memeluk ibu. Aku memohon maaf padanya bahwa aku tidak bisa. Piano dan musik sudah melekat dalam jiwaku, dan itu juga merupakan satu-satunya kenanganku bersama kakek. Ibupun kecewa dan meninggalkanku..”
“18 Juli. Aku dipanggil ke ruang keluarga oleh ayah. Ia memberiku pilihan, meninggalkan semua musik itu lalu kembali hidup normal, atau meneruskannya tapi ayah akan menyiksaku setiap hari. Aku dengan tegas menjawab bahwa aku akan tetap meneruskannya, apapun yang terjadi. Pukulan ayah langsung melayang di wajahku..”
“20 Juli. Aku memang meneruskan permainan ini. Tapi ada saja yang dilakukan ayah untuk mencegahku dan menyiksaku. Ibu menangis setiap hari karena tidak tega melihat keadaannku. Tapi, aku tidak akan menyerah. Meskipun tubuhku kini penuh dengan luka.”
“21 Juli. Dendam mereka pada insiden itu sungguh sangat sangat KETERLALUAN!!!!”
“22 Juli. Aku kembali dipanggil ke ruang keluarga. Kali ini ayah mengancamku dengan senapan! Aku tidak takut. Sekalipun aku harus mati demi memperjuangkan apa yang aku inginkan, aku sama sekali tidak peduli! Memang sejak kapan mereka peduli pada perasaanku?! Saat ia hendak menarik pelatuk, aku merebut senapan itu dan menarik pelatuk itu, hingga mengenai ayah dan ibu yang saling melindungi..”
“23 Juli. Aku masih tidak percaya. Aku, membunuh kedua orang tuaku..”
“26 Juli. Ku rasa, aku mulai gila...”
“27 Juli. Aku sudah benar-benar gila sekarang. Setan saat itu sudah menguasaiku. Bocah berusia sembilan tahun membunuh orang tuanya sendiri..”
“29 Juli. Polisi datang ke rumah. Mayat kedua orang tuaku mereka temukan dan akhirnya mereka bawa. Aku menyembunyikan diri di ruang bawah tanah, dan aku berhasil. Mereka tidak menemukanku..”
“30 Juli. Polisi-polisi gila itu masih tetap mencariku..”
“31 Juli. Mereka tidak akan menemukanku!!”
“Ya ampun...” tubuh Roni kaku. Begitu pula aku, Dio, dan Fikri. “Anak ini, yang ngebunuh orang tuanya? Serius?” sahut Fikri. “Terus, di mana anak itu sampai sekarang? Apa jangan-jangan ..... “ sambung Dio. Aku menggeleng tidak bisa membayangkan. “Kita harus keluar!! Di luar udah bener-bener gelap!! Pokoknya kita harus keluar!!!” aku berteriak dan kamipun berdiri.
“Kalian nggak akan bisa lari, anak-anak~~” suara seseorang bertubuh kurus dengan pakaiannya yang lusuh membuat kami seperti tersetrum listrik berjuta-juta volt. Seorang pria yang terlihat tua berdiri tepat di hadapan kami. Pria itu, mungkinkah ...?
“Ka, kamu siapa?!!” bentak Dio ketakutan. Pria gila itu malah tertawa terbahak-bahak. “Kalian sudah tahu rahasiaku. Maaf, aku nggak bisa membiarkan kalian tetap hidup. Hahahahahahaha..” erang pria itu. Kondisinya sungguh tak terawat.
“Kamu? Jangan bilang kalau kamu adalah .... “ ucapku. “Nggak!! Nggak mungkin!!!” Fikri berteriak ketakutan. Sedangkan Roni memelukku erat di belakangku.
“Hahahahahaha. Apa? Kalian masih belum sadar siapa aku? Hahahahahah.. aku, adalah si anak kecil itu. Puas, kalian?!!!” teriaknya sambil berusaha menangkap kami. Dengan sigap kami berlari entah kemana. Pria itu mengajar kami membabibuta.
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” teriak kami serempak saat pria itu mengibaskan pisaunya.

Tiba-tiba mataku menangkap sebuah bola. Ya! bola kami! Tujuan kami datang ke sini akhirnya ketemu! Aku mengambilnya dan menendangnya sekuat mungkin ke arah si bangsawan tua itu. Tendanganku berhasil mengenai wajahnya. Pria itu jatuh terduduk dengan kaku. Ia mengerang marah.
“TEMAN-TEMAN! CEPET BANTU AKU!! AMBIL APA AJA YANG BISA BUAT NGELAWAN BULE GILA INI!!!” perintahku. Mereka pun berpencar dengan panik.

Pria itu mencoba berdiri dengan wajahnya yang babak belur akibat ulahku barusan. Ia benar-benar marah dan langsung mengangkatku. Aku menatap pria itu ketakutan. Teman-temanku belum juga kembali. Pria itu menjambakku dan hampir menusuk perutku dengan pisau sampai akhirnya sebuah pukulan mengenai kepalanya. Dio berhasil memukulnya dengan palu. Darah segar mengucur dengan deras dari ubun-ubun kepalanya. Pria itupun terhuyung ke lantai. Dio gemetaran dan berkeringat dingin “semoga orang itu nggak mati..”
“Makasih!!” seruku sambil gemetaran dan berlari ke arah Dio. “Kuncinya ketemu!!” teriak Roni. Fikri menghambur ke arahku “kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya khawatir. Aku hanya bisa memaksakan senyum dengan jantungku yang berdegup keras sekali. Tanpa berpikir panjang, kami segera meninggalkan rumah tua itu dan pulang. Hari itu, langit sudah gelap, sangat kelam.

NGIUNG NGIUNG NGIUNG NGIUNG. Sirine mobil polisi bersahut-sahutan mengepung rumah tua itu. Ada yang mengangkut si bangsawan itu ke dalam ambulans. “untungnya, orang itu nggak mati..” pekik Dio gemetaran di balik pelukan ibunya. Ia menatap tangannya sendiri. Ku lihat Fikri dan Roni juga berada dalam pelukan ayah dan ibu mereka. Aku hanya bisa menatap tubuh kurus nan lusuh serta penuh darah itu dengan tatapan iba. Aku mengelap keringat dinginku. Sedangkan ibu sibuk mengobati beberapa luka di tanganku. Setelah selesai diobati, aku berlari untuk melihat dengan lebih jelas. Polisi-polisi itu segera menangani kasus sang bangsawan dan pergi. Ternyata, si bangsawan itu sudah berpuluh-puluh tahun bersembunyi di rumah tua itu. Tanpa melihat dunia luar. Tanpa berinteraksi dengan siapapun. Memakan apa yang bisa ia makan. Dan tidak berhenti memainkan nada-nada kesayangannya dengan piano yang penuh kenangan bersama kakeknya itu.
Ketika mobil-mobil polisi dan ambulans itu pergi, semua gerombolan orangpun ikut lenyap dan masuk ke rumahnya masing-masing.

Aku tidak bisa tidur. Aku hanya menatap langit-langit kamar dan melamun. Sampai tiba-tiba aku teringat sesuatu dan merogoh saku celanaku. Aku memperhatikan foto lusuh itu. Foto seorang anak perempuan cantik keturunan bangsawan, dengan seorang pria dan wanita bangsawan di sampingnya. Mereka bertiga tersenyum. Aku membalik foto yang kutemukan di bawah piano itu dan menemukan sebuah tulisan. “Our first and last child. The most precious thing we have. Passed away when we realized that we wouldn’t have children anymore..”. Aku terkejut.

Ku rasa, polisi-polisi itu belum sepenuhnya memecahkan kasus keluarga bangsawan pemilik rumah tua itu. Hal terpenting yang tidak berhasil mereka temukan, hal terpenting yang membuat si pria kurus itu merasa benar-benar gila, dan hal terpenting yang membuat si pria kurus itu berlatih piano dengan giat, adalah karena ia ingin membuktikan kalau ia lebih unggul dari kakaknya, atau lebih tepatnya anak dari pasangan bangsawan si pemilik rumah tua itu. Karena sudah sejak dulu ia tahu, kalau ia bukan anak kandung mereka.
 
PROFIL PENULIS
Name: Agnia Rizqi Wardani
Nick Name: Gina
Age: 19
College: State University of Surabaya
Facebook: Agnia Rizqi Wardani
Twitter: @ginagina4869
Quote: You are what you think about :)

Rahasia Dibalik Rumah Tua Itu Part. I

Hidup merupakan sebuah pengalaman nyata yang tidak bisa dipermainkan, sekali kau mempermainkan hidupmu, maka jangan harap kalau kau bisa mendapatkan kehidupan sesuai dengan yang kau harapkan. Dalam hidup ini, terdapat banyak sekali rahasia yang tidak bisa diungkapkan.

Sepuluh tahun yang lalu, saat usiaku masih delapan tahun, aku dan keluargaku tinggal di sebuah perumahan elit di pusat kota Jakarta. Tepatnya di blok I-22, rumahku berada di pinggir sebuah gang buntu. Di pojok gang tersebut, terdapat sebuah rumah yang konon katanya merupakan rumah termewah di perumahan itu. Rumah itu bercorak bangunan lama dengan beberapa tiang tebal dan tinggi. Rumah tersebut mempunyai tiga lantai. Rumah yang bagaikan sebuah istana dengan halaman yang sangat luas. Sayangnya, rumah tersebut tak berpenghuni, rumah yang dulu kata orang-orang sangat bersih dan asri itu kini bagaikan sebuah bangunan tua dalam hutan yang rindang. Ya, tanaman-tanaman dan pohon-pohon yang ada di halaman rumah itu semakin lebat dan tinggi. Benar-benar mirip hutan.

Suatu hari, aku dan beberapa temanku bermain bola di jalanan depan rumah itu. Karena memang pojok gang merupakan tempat yang aman, sehingga bola tidak mungkin terpantul ke kompleks lain di belakang tembok buntu itu.

Saat giliranku menguasai bola, aku menendangnya dengan sekuat tenaga untuk mencetak gol di gawang lawan yang dibuat dengan menaruh batu bata di kedua sisi. Tapi apa yang terjadi? Tendanganku melesat ke atas dan melewati pagar tinggi rumah kosong itu.
“Hah, dasar kamu ini! Lihat tuh, bolanya masuk ke rumah gede itu!” teriak salah seorang teman bertubuh gembul, namanya Dio.
“Sorry, sorry, nanti ku ambil deh..” ucapku
sambil melirik rumah itu. Ini masih jam empat sore, tapi suasana di dalam sana sudah terlihat sangat gelap.
“Aaaaah.. nggak mau tau, pokoknya ambil sekarang!” sentak Roni, temanku yang tubuhnya pendek dan kurus.
“Iya, iya, ku ambil sekarang!!” sahutku ketus. Ya, namaku Sugar. Tubuhku lumayan tinggi untuk ukuran anak berusia sepuluh tahun, dan aku tidak gemuk ataupun kurus.
“Yakin, mau kamu ambil sekarang? Di dalam gelap lho..” tanya Fikri, sahabatku.
“Iyalah, mau gimana lagi, kan dia yang nendang, ya dia dong yang harus tanggung jawab!” tukas Roni dengan gaya angkuhnya.
“Tapi yang main bola kan bukan cuman Sugar. Gimana kalau kita ambil bareng-bareng aja?!” Fikri masih membelaku. Sedangkan aku sudah siap membuka gerbang baja tanpa gembok itu.
“Ngapain kita ikut-ikutan masuk? Biarin si Sugar aja, napa?!” sahut si gendut Dio.
Aku langsung menoleh ke arah Dio, “Ah, jangan-jangan si Dio takut, lagi? Badannya aja yang gede, tapi nyalinya ciut!” ejekku iseng.
Dio langsung geram lalu mengambil alih posisi tanganku dan membuka gerbang itu. “kata siape aku takut! Ayo, semuanya masuk! Kalau ada yang kabur, awas aja lo ya.. “ ancam Dio.

Aku dan Fikri saling melempar senyum dan melirik Roni yang mulai gemetaran. “Serius, nih?” tanya Roni meyakinkan.
“Kenape, Ron? Takut ya?” godaku. Fikri menahan tawa di sebelahku.
“Ih, apaan? Siape juga yang takut..” sahut Roni pura-pura menyembunyikan rasa takutnya. “Tapi swear deh, dari rumah ini sering kedengaran suara piano, tengah malam pula!!” sambungnya.

Kami berempatpun akhirnya memasuki rumah besar itu tanpa menghiraukan kata-kata terakhir Roni tadi, dan sampai pada halaman yang lebih pantas dikatakan hutan itu. “Whoooa, muke gile, gede banget!” ucap Dio kagum.
“Bukan saat yang tepat untuk ngagumin nih rumah. Ayo, cari bolanya!” sahutku yang sebenarnya memang takjub pada rumah kuno ini. Bayangkan, desainnya benar-benar unik. Lebih tepatnya mirip dengan bangunan zaman Belanda dulu deh.
Kamipun berpencar di semak-semak. “Udah pada ketemu belon?” teriak Dio tak berapa lama kemudian. “Belon!!” teriakku. “Eh, Gar. Kayaknya tuh bola ada di dalem rumah deh..” suara Roni mengagetkanku. “Hah, kamu ini ngagetin aja! Eh, yang bener?” tanyaku.
Fikri mendekat. “Iya deh, soalnya tadi aku liat tuh bola ngegelinding ke dalem, barusan aja..” sambungnya. “Ohya?” tanyaku lagi. Akupun memberitahu Dio dan kami berempat memutuskan untuk masuk ke rumah yang warna dindingnya sudah tidak jelas apa warnanya.

Aku memperlebar pintu besar itu untuk terbuka. “Heran deh, nih rumah ternyata bukaan ya?!” sahut Dio. Benar. Memang aneh. Rumah yang biasanya tergembok rapat, hari ini pagarnya tidak dikunci, dan ternyata pintu utamanya juga sedikit terbuka.
“Apa jangan-jangan, ada hantu yang sengaja mengundang kita untuk masuk ke sini?” kata Roni yang mendadak jadi terlihat seperti korban film horror Indonesia.
“Ah, ngomong apaan si kalian pada! Ayo!” seruku, dan kami melangkahkan kaki untuk masuk sebuah ruangan yang... yang... super duper besar!!!
“Wiiiiih~ keren banget nih rumah!” sahutku kagum. “Keren dari mananya, serem tau nggak! Sumpeh, gelap banget!” sambung Roni yang udah keringatan dingin. “Hihihihihi~~~” Fikri meniru suara kuntilanak yang lagi ngeden. “Apaan sih?!!” Roni langsung menjambak rambut Fikri dan membuatnya terdorong ke arah Dio, Diopun terdorong dan tak sengaja memencet sebuah tombol.
NGIIIIIIIIIIIIIKKKK GRETAAAAAAK..

Kami serentak menoleh, dalam kegelapan seperti ini, terlihat samar-samar sebuah pintu terbuka.
“Eh, kamu mencet apa tadi, Yo?” tanyaku pada Dio. Dio mengegeleng. “Aku nggak sengaja, tadi sih si Fikri sama Roni dorong-dorongan!” jawab Dio.
“Itu tuh, kerjaannya si Roni!” sahut Fikri. “Yeee siapa suruh nakut-nakutin nggak jelas kaya gitu!” Roni membela diri. “Ssssstt.. Udah deh ah, gimana kalau kita masukin aja tuh pintu rahasia..” usulku.
“HEEEEEEHH??!!!” sahut mereka bersamaan. “Inget, Gar. Kita ke sini mau nyari bola!” kata Roni yang bulu kuduknya sudah pada berdiri. “Bener si Roni tuh..” sambung Fikri. “Ayolaaah~” bujukku. “Udeh, ayo masuk! Kapan lagi kita bisa berpetualang di rumah misterius ini! Ayo ah!” Dio pun langsung menarik tangan kami.

Di balik pintu itu, ternyata terdapat sebuah tangga. Ya, ini jalan rahasia menuju ruang bawah tanah rahasia! Gelap. Dipenuhi sarang laba-laba. Berdebu. Pengap. Semua bercampur jadi satu saat kami menuruni tangga yang terbuat dari jati itu.
“AWWW!” seruku terkejut saat wajahku menyentuh sebuah tali tepat di depanku. “Apaan?” tanya Dio. Aku langsung meraih tali itu dan menariknya. CTEEEK. Dan lampu remang-remangpun menyala. “Huuuuuft.. ternyata lampu..” ucapku lega. “Eh, temen-temen...” sahut Fikri. “Apa?” tanyaku, Roni, dan Dio. Tanpa mengucapkan sesuatu, Fikri menunjuk sebuah ruangan yang ada tepat di hadapan kami. Kami semua menoleh, dan......
“Whoaaaaa~” seru Roni takjub. Dio dan Fikri menganga tidak percaya. Mataku membelalak kagum. “Kereeen...” ucapku lirih. Aku mengamati pemandangan yang luar biasa itu heran. Ada banyak sekali piano tua di sana, lengkap dengan peralatan audionya. “Gi, gimana bisa?!!!!” seru Dio tiba-tiba dengan nada terkejut. “Kenapa, Yo? Tanya Roni. Aku dan Fikri saling pandang tidak mengerti.
“Rasanya nggak mungkin, kalau alat-alat ini ada di sini...” kata Dio lagi. Tatapan matanya menerawang menembus piano-piano tua itu. “Emang kenapa? Ada apa sih?” tanyaku penasaran.
“Kata Ibuku, dulu, jauh di zaman dulu banget. Malahan sebelum ibuku nikah, katanya, pemilik rumah ini paling benci sama yang namanya musik!!” jawabnya dengan tubuh bergetar.

Aku tertawa. “Ah, mungkin rumah ini dijual terus dibeli sama keluarga yang suka musik..” jawabku tenang. “Itu nggak mungkin..” sahut Fikri. “Kenapa?” tanyaku lagi. “Soalnya, rumah ini, dulunya punya seorang bangsawan kaya, dan mereka sama sekali nggak pernah pindah rumah. Seandainya ada salah satu dari anggota keluarga ini yang suka musik, mereka pasti langsung dibunuh.. dan emang bener, beberapa tahun setelah itu, pasangan suami istri yang punya rumah ini ditemuin meninggal dunia..” sambung Roni dengan wajah pucat. Aku mengerutkan kening. “Kalian dapat cerita kaya gitu dari mana?” tanyaku. “Cerita itu udah nyebar di perumahan ini, tau~” sewot Roni gemetaran. “TERUS KENAPA KALIAN NGGAK BILANG DARI AWAL KALAU ADA CERITA MISTIS KAYA GITU DI RUMAH INI?!!!!!!!!!!!!!” sewotku lebih keras. ketiga temanku itu hanya menunduk. "Sorry, beneran nggak kepikiran, Gar..” ucap Fikri sambil menunduk.
“Ah, udah! Ayo, kita pulang! Nyari bolanya lain kali aja!” gerutuku kesal. Kalau anak-anak itu sudah tahu kalau ada yang tidak beres dari rumah ini, seharusnya mereka bilang dari awal. Aku terus mengomel. Saat kami sudah sampai di pintu utama, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Pintu itu terkunci!!
“Hei, jangan bercanda! Kenapa ini nggak bisa dibuka?” seruku panik. Dio membantuku untuk membukanya, tapi percuma saja, pintu itu terkunci, dan kuncinya tidak tergantung di sini.
“HEIIII!! SIAPAPUN ITU!! TOLONG KELUARKAN KAMI DARI SINI!!!!” aku berteriak dan menggema. “Aduh, gimana nih?” Roni mulai panik. Fikri berusaha mencari tombol lampu dan menemukannya. Ruanganpun menjadi tidak segelap tadi. Waktu sudah benar-benar sore. Mau berteriakpun percuma. Rumah ini sangat menjorok ke dalam. Pintu yang tebal dan halaman yang sangat luas tidak akan membantu teriakan kami agar sampai ke jalanan.
“Pasti ada seseorang di rumah ini!” sentakku. Mereka menatapku cemas. “HEI! DASAR ORANG ISENG! KELUAR DAN KASIH KUNCINYA PADA KAMI!! KAMI HARUS PULANG!!” teriakan Dio menggema di seluruh ruangan ini.

Tiba-tiba mataku menangkap sebuah lukisan terpampang di atas tempat perapian. “Siapa, orang-orang itu?” tanyaku. Teman-temanku langsung memperhatikan gambar itu. Gambar seorang wanita konglomerat bergaun, pria yang memakai kemeja putih, berdasi kupu-kupu dan berjas hitam dengan kumis tebal, serta seorang anak laki-laki di tengah mereka. Orang-orang itu, mungkinkah...
“Apa mereka, bangsawan yang tinggal di rumah ini?” tanyaku lagi. Mereka diam. “Mungkin..” jawab Dio datar. Aku mendekati perapian dan mengambil sebuah jurnal kecil di atas meja yang usang dan berdebu. Aku mengusap debu-debu itu dan membukanya.
“Ini sebuah catatan.” Seruku. “Coba kamu baca, Fik.. Tulisan ini terlalu kecil..” aku memberikan catatan itu pada Fikri.
PROFIL PENULIS
Name: Agnia Rizqi Wardani
Nick Name: Gina
Age: 19
College: State University of Surabaya
Facebook: Agnia Rizqi Wardani
Twitter: @ginagina4869
Quote: You are what you think about :)

Puisi Doaku


Doa indah yang kurangkai
Tidak sedikit huruf mengantri karenanya
Tidak sedikit diksi yang kupilih
Kutakut salah merangkai, lalu melukai sekeping hati

Kusadari, wahai jiwa-jiwa yang diciptakanNya
Aku tak lebih dari manusia biasa
yang baru beberapa tahun memijaki jagad raya-Nya

Menjadi salah satu lakon dalam dramaNya
Menbambakan hal yang dibambakan banyak orang
Rasanya aku belum pantas!
Aku belum sepenuhnya berusaha
Kini, aku tengah mempertahankan bayang-bayang yang belum tampak
menggapai embun sejuk, pelepas dahaga, surga pelipur lara.

Sesekali aku tenang, mampu tersenyum untuk hal-hal yang menggelitik hati
Namun tak jarang pula aku meratapi, menyesali nestapa dunia
Bila rima dadaku tergoncang, aku pupus
Mengenyahkan cahaya yang samar-samar membias di depan mata
Istirahat sejenak; menutup mata, memekakkan telinga, membisu dari problema pengkhianatan
fitnah yang menyayat hati

Menjadi satu dari ribuan makhluk
Berkompromi dalam konflik yang entah kapan berakhirnya
Aku tak sabar menanti suatu masa dalam mimpi-mimpi malamku
Memang tidak hanya mimpi indah
Ada kepahitan yang menjadi aksesorisnya
Tanpa kusadari, itu lah yang membuat cerita perjuanganku terasa manis
Aku tak rela mundur darinya
Meski terselip kepahitan padanya, aku tak peduli
Jika terjatuh, aku masih mampu berdiri kembali
Kuyakin, suatu hari kelak aku akan memetik buah dari perjuangan tak biasa ini!


Karya:Ainul Mardiah 
E-Mail:mardhiyyah2812@gmail.com 

Puisi Korupsi


Kepercayaan mu rakyat menjadi senang
Kebijakkanmu membuat rakyat tentram
Kehormatanmu membuat rakyat bangga
Namun, kelicikan mu membuat rakyat menderita

Hanya sebatang emas yang kau pinta
Hanya selembar uang yang kau pinta
Hanya sebening berlian yang kau puja
Kekorupsianmu melanda di dunia
Kelicikkan mu melebar di samudera
Korupsimu membuat rakyat menderita
Rakyat miskin hingga tak berdaya

Pemimpin seharusnya memimpin
Memimpin rakyat hingga berdaya
Pembina seharusnya membina
Membina rakyat hingga hidup aman
Namun, semua itu tak kau lakukan
Hanya untuk diri sendiri kemenanganmu
Hanya untuk diri sendiri kemegahanmu
Menderita sendiri karna tingkah lakumu sendiri
Dan menyesal sendiri karena korupsimu


KARYA: Ihzamulloh
Email :ihzamullohxtkr5@gmail.com