pernah kukatakan pada suatu waktu, saat sebait puisi lahir dari rahim senja, lalu saat kudapatkan, aku tuliskan judul yang sama dengan namamu, sedemikian rupa kukenang dirimu dalam segala iklim dan cuaca
akan aku biarkan barisan sajak itu mengumandangkan serenade dari bebukitan katakata yang menghujam sampai ke palung jiwa, membahanakan gema suaramu, mengumandangkan bayang wajahmu pada hamparan savanna dimana kita rebahkan seluruh rasa, seluruh bahasa, bahkan semerbak dari tubuhmu menyergap waktu
tak pernah kuukur panjang jejak langkahku bersamamu karena sebentar atau lama sudah tak penting lagi bagiku dirimu selalu menuliskan puisi indah disetiap dinding pertemuan kita tahukah kau hasrat apa yang masih samar dan terpendam dalam dadaku? andai kau setuju, akan kupeluk nafasmu, membawanya berenang menyeberang danau itu lalu bersama hujan merangkai kata menjadi sekeranjang prosa
tak pernah kukira, hujan akan jadi sahabatku dulu, aku sering menantang hujan, membandingkan jumlah rinai nya dengan cinta di hatiku.
"rinaiku pasti lebih banyak." Hingga, ingatkah kau..? di suatu senja, tepat ketika bulan mengecup pucuk bumi dan angin memainkan ombak dan perahu kita, sesaat setelah hujan membasahi pelupuk mataku dan hampir melululantakkan kemeja sutraku, kau menjadi laki-laki itu
menggenggam
tanganku kuat-kuat, seakan-akan satu rinai hujan mampu melukaiku. lalu
kita berlari ke sebuah rumah dangau yang seakan disiapkan untuk kisah
sekali seumur hidup tak pernah kulupa, aliran hangat genggaman seorang lelaki, dan syair yang kau cipta begitu saja di detik itu:
"aku bukannya takut hujan. tapi aku tak bisa memandangi cantik rinainya jika aku berlari di bawahnya." sejak saat itu, aku tak pernah lagi menantang hujan, Kekasih,
karena setiap rinainya mengantarkan cintamu. rinai hujan, rinai kita.
No comments:
Post a Comment