“nggi…Anggi…!!”, seorang ibu memAnggil anaknya.
“iya bu… sebentar..Anggi ganti baju dulu”, sahut Anggi.
Setelah
mengganti seragam sekolahnya dengan seragam dinasnya, Anggi segera
mengambil sebuah karung goni yang terselip di dinding dari anyaman bambu
gubuknya yang hanya ia tinggali bersama ibunya. Ya.. sepulang sekolah
Anggi selalu membantu ibunya memulung berkeliling kota mencari
barang-barang bekas yang dapat di jual kembali untuk menyambung hidup
mereka di hari berikutnya.
Siang
ini mentari terasa sangat terik. Itu tak menyurutkan niat anak kelas 5
SD itu untuk turut serta membantu ibunya. Panas memang. Anggi tak sama
seperti kebanyakan anak perempuan lain yang ‘takut hitam’. Anggi telah
kebal dengan ejekan teman-temannya yang kebanyakan berasal dari keluarga
kaya yang menyebutnya ‘Anggi si arang’. Kulit Anggi memang hitam. Tapi
itu tak menutupi paras ayunya yang semakin lengkap dengan
lesung pipit di pipi kirinya yang semakin membuatnya terlihat manis saat
tersenyum. Anggi bersekolah di sebuah sekolah dasar swasta tempat
anak-anak orang kaya bersekolah yang pastinya membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. (“tapi Anggi kan…?”). Anggi bisa bersekolah di tempat itu
berkat bantuan seorang dermawan yang bersedia menanggung semua biaya
sekolah dan perlengkapan sekolah Anggi karena melihat potensi dan
semangat Anggi untuk bersekolah. Tapi dermawan tersebut hanya membiayai
sekolah Anggi sampai kelas 2 SD, karena saat naik ke kelas 3 Anggi
mendapat beasiswa sebagai siswa berprestasi di sekolahnya. Prestasinya
mampu bertahan hingga sekarang.
“Bu.. udah yuk.. karung Anggi udah penuh nih..”, kata Anggi seraya menyeka keringatnya yang mengalir di pelipisnya.
“hmm..
ya udah.. Anggi istirahat dulu di sana.. Di bawah pohon itu.. ibu masih
bawa karung kosong kok.. biar ibu lanjut..”, kata ibu, sambil menunjuk
ke arah pohon beringin besar yang terlihat teduh dan sejuk.
“tapi bu…”, Anggi menyela.
“udah deh nak.. kamu istirahat aja.. ibu gak papa kok..”
“ya udah deh bu.. ibu kalau capek istirahat yaa…”
Anggipun
berjalan menuju pohon beringin itu. Ia duduk di akar pohon dan
bersandar di batang pohon tersebut. Angin sepoi menyapu kulit wajah
Anggi yang basah karena berkeringat, juga rambut lurus sebahu Anggi yang
terurai hingga berterbangan menutupi sebagian wajahnya. Di ambilnya
rambut yang menutupi wajahnya, kemudian diselipkan ke belakang
telinganya dengan ujung jarinya. Ia mengambil nafas panjang sambil
memejamkan mata, lalu menghembuskannya seraya tersenyum dan berkata
“Alangkah indahya dunia ini. Aku beruntung memiliki segalanya..”.
walaupun bisa di bilang masih kecil, Anggi sudah bisa berpikir
bijaksana. Manja tak ada dalam kamus hidupnya. Sejak kecil ia telah
hidup prihatin bersama Ibunya. Angin sepoi terus saja membelainya. Rasa
kantuk mulai menghampirinya. Tak di sadari, perlahan matanya mulai
terpejam.
***
“Sekarang
saya akan bacakan peringkat prestasi kelulusan anak-anak kelas 6 yang
telah mengikuti ujian akhir nasional..yang di pAnggil di harap segera
menempatkan diri di panggung utama.. peringkat kedua di raih oleh Yogi
Indra Suherman siswa dari kelas 6 III, putera dari bapak Ali Suherman,
M.Pd. peringkat ketiga di raih oleh Clara Nurmala Cahyani dari kelas 6
IV, puteri dari bapak Dr. Hj. Sonny Cahyono. Yang mendapat peringkat
pertama tahun ini adalah…………Nidha Anggi Utami dari kelas 6 II, putera
dari Alm. Bapak Joko Sunyoto. Bapak kepala sekolah diharapkan untuk
bersedia memberikan penghargaan sekaligus kenang-kenangan kepada para
siswa berprestasi.”
“prok..prok..prok..”,suara
tepuk tangan penonton riuh saat melihat kepala sekolah memberikan
penghargaan dan kenang-kenangan kepada para siswa berprestasi.
Ibu
Anggi menangis di atas panggung karena terharu atas apa yang telah di
raih Anggi, anak semata wayangnya. Anggipun bangga. Ia telah benar-benar
tak mensia-siakan kesempatan yang selalu terbuka lebar untuknya.
Segudang prestasi telah Anggi raih. Selepas lulus dari sekolah Dasar,
lagi-lagi Anggi mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya. Ia
merasa sangat beruntung. Tuhan sangat menyayanginya dan selalu
memberikan jalan baginya, sehingga banyak orang di sekitarnya yang
menyayanginya dan peduli dengannya.
Sejak
lama Anggi selalu bermimpi saat dewasa kelak ia ingin menjadi seorang
pengacara yang selalu membela yang lemah. Ia sering membaca dari koran
yang ia temukan, bahwa banyak orang kaya yang menindas orang miskin
terutama pada masalah hukum. Anggi merasa miris. Kenapa sampai sekarang
pemerintah belum mampu menegakkan keadilan..? banyak aparat yang gila
harta dan tak peduli dengan hak asasi manusia. Namun tak sedikit juga
yang benar-benar adil dan jujur. Namun Anggi hanya ingin meluruskan
kawat lurus yang bengkok di tengahnya agar dapat lurus sempurna. Tapi,
cara sesungguhnya tak semudah meluruskan seuntai kawat kecil. Itu perlu
perjuangan yang tak mudah. Bagi para orang kaya, hukum bisa di beli. Dan
bagi orang miskin, mereka tak berdaya dalam menghadapi hukum. Mereka
bahkan di pandang sebelah mata oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Seperti yang pernah Anggi baca, seorang pencuri kapas di penjara selama 1
th 6 bulan. Sedangkan para tikus berdasi di biarkan melenggang
bebas,keluar masuk sel dengan bebas, bahkan sempat berlibur. Tak adil
memang. Tapi itulah cermin hukum yang ada di Negara ini. Negara yang
menyebut dirinya sebagai Negara hukum. Anggi telah bertekat, ia
benar-benar ingin menjadi seorang pengacara yang hanya membela yang
tertindas.
Masa-masa
SMP ia lewati layaknya anak usia remaja lainnya. Bedanya, Anggi masih
saja memulung bersama ibunya sepulang sekolah, dan mengantarkan koran
saat berangkat ke sekolah dengan sepeda bekas pemberian seseorang yang
tinggal di perumahan elite di dekat tempat tinggalnya. Ia mempunyai
seorang sahabat, Angga namanya. Kehidupan Angga berbeda 180 derajat di
banding Anggi. Angga adalah seorang anak orang kaya yang selalu
terpenuhi segala kebutuhannya. Namun demikian tak lantas membuat Angga
menjadi seorang yang sombong dan manja. Menurut Angga, dia bukan orang
kaya. Tapi orang tuanyalah yang mempunnyai harta. Bukan dia. Angga tak
pernah menmbanggakan ataupun menyombongkan harta orang tuanya. Itulah
sebabnya, Anggi tak canggung bersahabat dengan Angga. Anggi dan Angga
adalah sepasang sahabat yang mempunyai prinsip dan tujuan hidup yang
sama, yaitu menegakkan keadilan di Negara ini. Memang jarang ada anak
SMP yang memikirkan hal seperti itu.
3
tahun bersekolah di SMP yang sama dan menjadi sahabat yang baik dan tak
terpisahkan. Saat pengumuman kelulusan lagi-lagi Anggi menjadi juara
umum. Menakjubkan. Sedangkan Angga, sahabatnya mendapatkan juara 3.
Mereka memang benar-benar sahabat yang kompak dalam hal apapun. Termasuk
dalam urusan prestasi. Namun setelah lulus, mereka harus berpisah
karena Angga harus menuruti keinginan orang tuanya untuk bersekolah di
sebuah sekolah swasta yang di pilihkan orang tuanya. Sedangkan Anggi, ia
tetap melanjutkan sekolah di sekolah negeri yang tak memerlukan biaya
untuknya karena beasiswa dari pemerintah telah menanti. Namun sebelum
mereka berpisah, mereka telah mengikrarkan sebuah janji bahwa mereka
akan sama-sama menegakkan keadilan di Negara ini. Cita-cita yang mulia
memang.
Anggi
melewati masa-masa SMA masih dengan bekerja keras. Kini ibunya mulai
sakit-sakitan. Anggipun kini menjadi tulang punggung keluarganya. Ia tak
lagi memulung. Tapi, kini ia menjadi seorang guru les di salah satu
tempat bimbel ternama di kotanya. Honornya lumayan, cukup untuk ia dan
ibunya makan sehari-hari. Namun untuk biaya berobat ibunya, ia tak
mempunyai jalan lain selain berhutang kesana-kemari kepada para tetangga
yang juga bukan orang yang berada. Berat memang. Apapun rela
dilakukannya demi ibunya. Apapun masalah yang menimpanya, sosok Anggi
selalu saja tegar dan bisa menyelesaikannya. Mungkin itu karena ia telah
terbiasa hidup prihatin sejak kecil. Saat duduk di kelas 3 SMA,
tepatnya 1 minggu sebelum ujian nasional Anggi mengalami
sebuah masalah. Seseorang ingin membeli tanah yang ditnggali Anggi,
ibunya, dan para tetangga yang lain dengan harga yang murah dan dengan
cara pemaksaan melalui terror-teror yang cukup meresahkan. Seseorang
meletakkan kepala tikus yang telah di banting hancur dan juga sepucuk
surat yang berisi ancaman di dalam kresek hitam di masing-masing pintu
rumah. Orangitu adalah orang suruhan Pak Yudha, orang yang bukan berasal
dari kota ini. Beberapa gentar dan takut hingga berencana untuk
merelakan tanahnya di beli dengan harga murah dan terusir entah kemana.
Tak ada yang tau tujuan orang itu memaksa membeli tanah-tanah warga
tersebut.
Anggi
tak terima dengan perlakuan orang tak bertanggung jawab tersebut. Ia
iba kepada ibunya yang sedang sakit-sakitan, dimana lagi mereka harus
tinggal apabila terusir dari sini. Ia tak gentar dengan
ancaman orang yang merupakan suruhan dari Pak Yudha yang hendak
mengambil alih tanah ini. Anggi menanggapinya dengan senyum yang sangat
getir dirasa apabila sang pemaksa melihatnya.
“haah..dipikir
Anggi takut sama ancaman kayak gitu..!! liat saja.. gak bakal ada
seorangpun yang terusir dari sini.. negaraku Negara hukum.. negarku
menjamin sebuah keadilan untuk rakyatnya..”, kata Anggi optimis.
Tak
mau mengulur waktu, Anggipun mencoba berbicara para ketua RT tempatnnya
tinggalnya untuk mengumpulkan warganya di balai warga siang ini juga
untuk menyusun sebuah rencana bersama.
“nah..
sekarang semua warga telah berkumpul.. saya ingin bertanya, apakah di
antara kalian ada yang telah menanda tangani surat penjualan tanah
itu…?”, tanya Anggi. Semua warga saling menoleh satu sama lain.
Sepertinya tak ada di antara mereka yang telah menanda tanganinya.
“tidak
ada..?”, masih tak ada jawaban. Anggi mengambil keksimpulan bahwa belum
seorangpun yang menanda tanganinya. “bagus.. saya mengumpulkan anda
semua disini untuk meminta persetujuan untuk memperkarakan kasus ini di
pengadilan.. setuju…?”, Anggi meminta persetujuan. Warga tetap diam. Tak
ada suara lantang yang terdengar. Hanya bisaik-bisik gemuruh yang
terdengar. Sedetik..dua detik…tiga detik..
“alaah.. urusan sama polisi, sama pengadilan bikin runyam..”, salah seorang warga menyampaikan pendapat.
“begini
yaa.. biarpun saya masih anak SMA, selama bersekolah saya mendapat
pengetahuan tentang hukum yang tidak sedikit. Hukum akan memberikan
perlindungan pada yang benar. Kita tunjukkan saja bukti ancaman orang
tak bertanggung jawab itu. Apa anda semua rela kalau tanah kelahiran
kita ini di rampas orang tanpa alasan dan tujuan yang jelas…? Yang lebih
tidak baik adalah caranya. Orang itu melanggar hak asasi manusia.dia
memaksa kita menjual tanah dengan harga yang murah. Apa lagi disertai
dengan ancaman seperti ini. Apa anda semua bisa terima…? Kalau saya
tidak akan pernah tinggal diam.. ”, jelas Anggi tegas. Semua warga
terdiam mendengarkan penjelasam Anggi. Maklum, mereka semua tak sampai
mendapatkan pendidikan seperti Anggi. Anggi mempunyai modal otak, tekat,
dan keberuntungan untuk mencapai semua ini. Rata-rata dari mereka
bahkan putus sekolah karena kemiskinan. Kini tak ada yang mengelak.
Seirng berjalannya waktu, hari mulai sore dan para warga harus
melanjutkan aktifitasnya. Anggi menyudahi pertemuan tersebut.
Pagi
ini Anggi sengaja meminta ijin pada sekolahnya untuk tidak masuk
sekolah dengan alasan sakit. Terpaksa ia berbohong karena ia tak ingin
seseorang tau masalahnya sekarang. Pada pukul 9 ia akan pergi bersama
ketua RT dan dua orang warga untuk melaporkan kejahatan dan pelanggaran
yang dilakukan oleh Pak Yudha dan anak buahnya. Di kantor polisi Anggi
menjelaskan secara rinci apa saja yang telah diperbuat oleh Pak Yudha
dan anak buahnya dengan menyertakan bukti-bukti yang dirasa cukup kuat.
Polisipun menanggapinya dengan baik dan akan segera menangani masalah
ini sebelum menjadi masalah yang lebih besar. Anggi dan para wargapun
menyerahkan masalah ini pada polisi.
Tak
lama setelah laporan tersebut, Pak Yudha dan beberapa anak buahnyapun
diringkus oleh polisi. Kini Anggi bisa bernapas lega karena biang
keresahan masyarakat telah ditangkap. Anggipun bisa belajar dengan
tenang untuk menghadapi ujian nasional yang 3 hari lagi akan dimulai.
Setelah
ujian berakhir, Anggi masih harus menjadi saksi di persidangan. Dengan
lantang Anggi menjelaskan semuanya, tanpa suatu kebohongan apapun. Pak
Yudha dan anak buahnyapun tak bisa mengelak karena bukti telah ditangan.
Anggi pemenangnya. Sesabit senyum merekah indah di bibirnya. Semua
warga memujinya dan menyandangkan predikat pahlawan pada Anggi. Ibu
Anggi yang saat itu juga menyaksikan persidanngan, tersenyum bahagia. Ia
bangga mempunyai seorang putri yang berani membela yang lemah, tanpa
gentar dengan ancaman-ancaman yang ada.
Untuk
mengisi waktu saat menunggu hari penentuan kelulusan tiba, Anggi tak
mensia-siakan kesempatan untuk mengikuti tes beasiswa ke luar negeri. Ia
benar-benar mendewakan waktu dan kesempatan yang mungkin tak datang 2
kali.
Hari
pengumuman kelulusan tiba. Anggi, bersama ibunya yang duduk di atas
kursi roda pemberian seorang dermawanpun menunggu surat pengumuman
kelulusan yang dikirim ke rumah masing-masing. Kebahagiaan muncul
setelah Ibu Anggi membuka surat itu, yang menyatakan Anggi berhasil
lulus dengan usaha kerasnya sendiri. Ibunya menangis haru disana. Begitu
pula Anggi. Anggi selalu bisa membuat ibunya merasa sebagai orang tua
yang berhasil mendidik anaknya dengan kerja keras dan ketekunan. Bukan
dengan harta. Bahkan ibunya nyaris tak mengeluarkan biaya untuk membayar
komite sekolahnya selama ini. Kebahagiaan mereka tak hanya di situ.
Anggi menjadi salah satu dari 3 orang yang mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan kuliah ke luar negeri. Sungguh, Anggi memang tidak terlahir
di keluarga yang beruntung. Tapi ia terlahir disertai dengan
keberuntungan.
“selamat
nak… sejauh ini kamu berhasil.. jangan sia-siakan kesempatan itu ya..
jadilah apa yang selama ini kamu inginkan.., menjadi seorang pengacara,
penegak keadilan yang hebat dan jujur..”, ibunya tersenyum dam menatap
Anggi.
Anggi
membalas tatapan ibunya dengan prihatin. Ia tak rela meninggalkan
ibunya yang sakit-sakitan sendirian di gubuk tua itu. Sedangkan apabila
Anggi berangkat ke luar negeri, ia akan mendapatkan fasilitas hidup yang
layak. Anggi merasa hal itu sangat tidak adil.
“Anggi
pengen tetap di sini saja sama ibu..”, Anggi tersenyum. “Anggi masih
bisa ikut tes beasiswa untuk universitas negeri kok bu.. Anggi gak bisa
tinggalin ibu sendirian di sini..”
Ibunya tak kuasa menahan tangis haru. Ibunya hanya diam dan tersenyum dalam tangis.
Hari
ini Anggi mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa di slalah satu
perguruan tinggi ternama di kota tetangga. Ia bersaing dengan 80 peserta
lain untuk memperebutkan 2 beasiswa yang akan di berikan. Anggi sempat
pesimis. Tapi ibunya selalu memberikan dukungan pada Anggi.
Lagi-lagi
Anggi beruntung. Sebenarnya bukan hanya modal keberuntungan yang ia
miliki, tapi juga otak yang cerdas. Anggi berhasil menjadi salah satu
dari 2 orang yang terpilih. Dan ternyata, oran laing yang terpilih
adalah sahabat Anggi sejak SMP. yaa.. ialah Angga. Mereka akan belajar
di kampus yang sama dan mengambil jurusan Hukum. Mereka bersama-sama
menepeti janji mereka untuk menjadi pembela kebenaran dan penegak
keadilan.
Hingga
akhirnya mereka menjadi apa yang selama ini mereka impikan.
Yaa..menjadi seorang pengacara hebat yang hanya ingin mencarikan
keadilan untuk orang yang lemah, bukan untuk uang.
Kini,
dari hasil kerjanya, Anggi dapat memberikan tempat tinggal yang layak
untuk ibunya, membiayai pengobatan ibunya, dan memberangkatkan ibunya
Haji. Sungguh, Anggi benar-benar berhasil menjadi anak yang berbakti
pada orang tua, peduli dengan cermin keadilan, dan memiliki banyak
prestasi.
Saat
telah berusia 24 tahun, Angga meminangnya sebagai isteri. Hmm.. sungguh
lengkap kebahagiaan Anggi. Dunia ini memang sangat adil. Sejak kecil
Anggi hidup dalam keprihatinan, saat dewasa hidup dalam kepedulian.
“Anggi..pulang yuk..udah sore nih..”, suara lembut membangunkan Anggi yang tertidur pulas di bawah pohon beringin.
Anggi membuka matanya. Dilihatnya, ibunya berada di depannya. Anggi tersenyum. Senyum anak 10 tahun yang sangat manis.
“ohh..ibu.. udah sore ya bu..? ayo pulang.. J ”, Anggi berdiri,kemudian menatap langit sore yang mulai kemerahan masih dengan senyum manisnya.
“aku akan meraihnya..aku akan mewujudkan mimpi indahku… J”,kata Anggi. Kata itu terucap merdu dari bibir polos anak 10 tahun yang mempunyai cita mulia.
Kemudian
ia meraih dan memanggul karung yang berisi barang rongsok itu dan
membawanya pulang. Anggi dan ibunya pulang ke gubuknya dengan
bergandengan tangan seperti biasa.
#END#
No comments:
Post a Comment