“selamat ya ibu indah, akhirnya ibu punya mantu juga.”
“terima kasih jeng rahmi, alhamdulillah yah..akhirnya si mentari menikah juga.”
Terdengar ucapan selamat dari balik pintu kamarku, yang semakin membuatku tersayat pedih. Ibuku merasa bahagia sekali karena akhirnya aku akan menikah dengan laki-laki pilihannya, yang ibu bilang dia sangat cocok untukku dan pasti aku akan bahagia. Apakah itu benar ibu???tapi mengapa saat ini perasaanku benar-benar sedih, jangankan untuk bersanding dengannya, untuk mencoba mengenalnya saja aku sudah enggan. Entah apa yang ada dibenakku, namun aku belum bisa melupakan seseorang itu, seseorang yang berjanji akan menikahiku sepulang dari rantaunya. Maafkan aku cintaku, bukan maksud hati untuk mengkhianatimu tapi perjodohan ini tak mungkin aku tolak. Kedua orang tuaku dan orangtuanya ternyata sudah membuat kesepakatan akan pernikahan ini sebelum kami berdua mengerti tentang pernikahan.
Sekali lagi aku belum bisa memahami ini semua, bagaimana mungkin aku bisa hidup bersama dengan orang yang tak ku cintai, bahkan bertemu saja tidak pernah. Pernikahan ini sungguh mendadak mengingat kondisi bunda Risma orang tua Fariz yang sudah semakin kritis, dan beliau menginginkan agar Fariz segera menikah denganku. Karena keeratan hubungan keluargaku dan keluarganya membuat ayah dan ibuku menyetujui pernikahan ini tanpa peduli dengan persetujuanku.
“mentari sayang, cepat keluar acara akan segera dimulai”suara itu menyadarkanku dari lamunan panjang, segera ku hapus airmata yang semoat menetes. Aku tak ingin ibu melihat aku terlihat sedih di hari pernikahanku. Bagiku sekarang adalah kebahagiaan mereka, walau hati ini terlalu perih menanggung luka akan terpisahnya cintaku dan cinta satria, maafkan aku satria.
***
“Muhammad Yakup Al Fariz, saya nikahkan engkau dengan Mentari shifa az zahra binti Muhammad zaenudin dengan mahar seperangkat alat sholat dan uang sebesar seratus tiga puluh ribu, dibayar tunai.” ucap kiai Fatir
“saya terima nikahnya Mentari shifa az zahra dengan mahar tersebut dibayar tunai.” Fariz dengan mantap mengucapkan ijab.
“bagaimana sah??” tanya kiai Fatir kepada saksi dan semua orang
“sah” serempak menjawab.
“Barokallahu......” kiai Fatir memanjatkan doa, gaungan suara amin pun menyeruak diseluruh ruangan. Kebahagaian dan kelegaan terpancar dari raut-raut setiap orang yang menyaksikan acara sakral itu.
Dan bagaimana dengan aku, detik ini aku telah resmi menjadi seorang istri dari laki-laki yang tak pernah aku kenal sebelumnya.
***
“ini mas Fariz kopinya,” ku letakan kopi sebagai pelengkap sarapan pagi yang telah kusiapkan di meja makan.
“terima kasih dek.” ucap mas fariz lembut.
Tak ada yang berubah dari perasaanku, walaupun aku telah menikah dengan mas Fariz tapi rasa cinta ini masih bersarang hanya untuk satria yang aku pun sendiri tak tau bagaimana keadaannya sekarang.
Sebagai seorang istri aku berusaha untuk menjadi istri yang baik, walau belum sepenuhnya aku bisa. Namun aku belum bisa melaksanakan kewajibanku untuk memenuhi kebutuhan biologis mas fariz, tapi dengan penuh kesabaran mas Fariz memahami itu. Setiap malam kami tidur terpisah, sebagai seorang laki-laki mas Fariz tentu tidak ingin melihat seorang wanita tidur diluar kamar, maka dengan pengertiannya itu mas Fariz yang mengalah untuk tidur di sofa, kecuali pada saat-saat tertentu saja saat ibuku berkunjung dan menginap dirumah, tapi itupun mas fariz tetap tidur dibawah bukan satu ranjang denganku.
Aku tau itu sangat salah,sebagai seorang istri aku tidak berhak bersikap seperti itu, pernah satu kali aku coba tepiskan perasaanku dan berfikir realitis bahwa sekarang aku telah menjadi milik mas Fariz. Saat itu aku siap untuk melayaninya, sengaja aku suruh maz fariz untuk tidur bersamaku dan mengijinkannya untuk melaksanakan kewajiban sebagai suami istri. Dengan perasaan yang tak menentu ku coba tenang, saat mas Fariz mendekat, ku coba untuk tersenyum walaupun itu selintas. Sungguh aku tak kuasa menahan matanya yang tajam, saat itu ingin rasanya aku menangis, airmata ini sungguh sudah meleleh mengingat satria, namun segera ku tahan.
Dengan tatapannya yang lembut mas fariz menatapku, digenggamnya tanganku. Entah apa yang dia fikirkan saat itu, namun dia terlihat tersenyum manis. Tangannya yang tadi menggengam tanganku kini berganti meraih wajahku, diraihnya wajahku dan tiba-tiba dia mencium keningku seraya mengucapkan selamat malam, setelah itu dia beranjak pergi ketempat biasa dia tidur.
Aku tak tau harus berbuat apa, sesaat setelah mas Fariz keluar airmata ini langsung tumpah. Entah apa yang aku rasa, bahagiakah aku atau sedih. Namun aku merasa sedikit lega.
***
Pernikahanku dengan maz Fariz berjalan baik-baik saja, tidak ada pertengkaran maupun perselisihan walaupun keadaannya kami belum bisa melaksanakan kewajiban sebagai suami istri yang sebenarnya.
Entah terbuat dari apa hati mas fariz itu, hingga hatinya sangatlah lembut. Perhatian-perhatian yang dia curahkan padaku tak pernah ada habisnya. Kelembutan sikap serta santun tutur katanya mengisyaratkan kesabaran yang sungguh luar biasa, apalagi menghadapi sikapku. Dia tak pernah mengeluh padaku, dia tak pernah marah sekalipun kadang aku melakukan kesalahan. Dia selalu memberiku nasihat dengan sikap lembutnya yang tidak membuatku tersinggung. Tapi kenapa hatiku belum bisa menerima kehadiran mas Fariz di kehidupanku, kenapa aku belum bisa mencintainya. maafkan aku mas Fariz.
***
Ku gelar sajadah panjang, sepertiga malam bagi orang-orang yang merindukan kedekatan dengan Sang Maharaja. Di sepertiga malam itu pun ku panjatkan doa, ku haturkan dzikir serta ku curahkan segala perasaanku. Tak terasa ada rembesan air yang keluar dari kelopak mataku mengingat akan kekhilafanku. Kalam – kalam illahi mengantarkanku hingga menjelang shubuh. Dan kulanjutkan dengan sholat shubuh.
Mentari di ufuk timur telah memacarkan rona kemerahannya, kicau burung mengantarkan angin kesejukan untuk insan manusia di dunia ini. Secercah harapan dan doa yang hanya Tuhan dan aku yang tau, berharap semua kan terwujud.
***
Mataku tertuju pada sesuatu yang janggal, merasa aneh dengan keadaan kamarku. Ada benda-benda yang tak mungkin bisa sendirinya ada di sini. Kulihat sekeliling kamar, begitu semua ada perubahan. Warna-warni bunga bertaburan di ranjangku, ada mawar putih yang membentuk hati di sekitar taburan mawar merah. Sungguh indah, bahkan sangat indah dan menakjubkan. Di sisi lain terpajang sketsa wajahku yang dibubuhi nama kecilku “RiRi”. Siapa yang melakukan ini, siapa yang membuat keajaiban ini. Sungguh luar biasa, tak pernah sekalipun kubayangkan tentang moment seperti ini. Mungkinkah mas Fariz...?????? Tapi dia bilang dia sedang ada rapat dan mungkin akan pulang terlambat hingga malam nanti, lalu siapa yang telah mempersiapkan ini.
Di tengah –tengah hati buatan dari mawar putih itu tegeletak secarik kertas berwarna pink, entah kertas apa itu. Karena penasaran aku segera mengambilnya dan kubaca. Hanya satu kalimat yang aku belum tau apa maksudnya. Hanya tertulis sebuah kalimat “ pergi ke kebun belakang, aku menunggumu” secarik kertas itu lalu kutinggalkan.
Subhanallah, kejutan apalagi ini. Cahaya lilin menghiasi rentetan jalan yang menuju pada satu titik. Mas Fariz dengan seikat bunga mawar merah menungguku di meja yang dihiasi lilin indah...sungguh kejutan yang membuatku tak bisa berkata-kata, hanya ulasan senyum yang selalu berkembang di bibirku ini. Perlahan kutelusuri jalan setapak yang indah ini.
“happy brithday dek, selamat ulang tahun mentari.” seikat bunga itu pun dipersembahkan mas Fariz padaku seraya menyilahkan aku duduk.
Kini aku hanya berdua dengan mas Fariz, ditemani temaram cahaya lilin dan sinar bulan. Perasaanku menjadi tak menentu, sebuah kebahagiaan yang baru kutemukan setelah sekian lama aku merindukannya. Ada secercah cahaya hangat yang menerobos masuk dalam relung hatiku saat kutatap wajah mas Fariz. Rasa apakah ini, setelah bertahun-tahun tak pernah ku rasakan lagi.
“gimana dek, kamu senang dengan ini. Mas sengaja buat ini untuk hadiah ulang tahunmu. Maaf mas belum bisa memberikan yang lebih dari ini.”mas fariz menggenggam tanganku dan mengecup punggung tanganku.
Setetes embun yang keluar dari mataku pun jatuh perlahan, dengan senyum yang masih berkembang ku ucapkan terimakasih.” Terima kasih mas, ini hadiah terindah yang pernah adek dapat. Dan ini sudah lebih dari apa pun. Terima kasih mas.”
Malam ini adalah malam terindah yang pernah aku rasa, kebahagiaan yang dulu sempat hilang kini hadir kembali, dan perasaan itu ada yang berubah. Mungkinkah ini jawaban atas doa-doaku. Amien..semoga saja...!!!
Kini hari-hariku terasa lain, sejak kejutan malam itu aku merasakan sesuatu yang lain pada diriku, apalagi saat aku berhadapan dengan mas Fariz. Dulu biasa saja saat aku melihat matanya, tapi kini sungguh lain. Hatiku berdebar-debar saat mas menggenggam tanganku, aku juga merasa grogi saat berhadapan langsung dengan mas Fariz. Kenapa ini ??? Ada apa denganku, mungkinkah aku jatuh cinta......????
Tak tau pasti apa yang aku rasakan terhadap mas Fariz, namun yang pasti rasaku sudah tak seperti dulu lagi. Tak acuh lagi saat dia sibuk dengan kegiatannya, sangat mengkhawatirkannya saat dia pulang terlambat. Dan selalu menyiapkan apa yang mas Fariz butuhkan. Semua itu ku lakukan dengan senang hati, tak ada rasa beban lagi. Dan sejak malam itu, aku dan mas Fariz sudah melunasi kewajiban sebagai suami istri. Mungkinkah ini kebahagiaan menikah seperti yang kebanyakan orang katakan. Entahlah, tapi saat ini aku merasa begitu sangat bahagia dan nyaman.
***
Hari ini ulang tahun mas Fariz, dan aku akan memberikan kejutan yang luar biasa. Hadiah ini pasti akan membuat mas fariz bahagia. Karena hadiah ini adalah anugerah yang Allah berikan. Tiga bulan sudah usia kehamilanku, sengaja tak ku beritahu maz Fariz karena aku ingin memberikan kejutan pada hari ulang tahunnya. Buah cinta yang kami dambakan, setelah ku bisa mencintai mas Fariz dengan segenap hati. Ketulusan dan kesabaran mas Fariz telah merubah segalanya. Cintanya kini mengisi relung hatiku, penuh dengan untaian doa kebahagiaan.
Semua pernak-pernik dan tetek bengek untuk mempersiapkan kejutan ulang tahun mas Fariz sudah ku siapkan, sempurna semuanya perfect. Pasti mas fariz akan terkejut dan bahagia sekali saat melihat bukti test kehamilanku di kantung baju tidurnya. Setelah sebelumnya ku persiapkan kejutan lainnya, makan malam dengan masakan spesial kesukaan mas Fariz yang kini telah terhidang rapi di meja makan.
Tak sabar aku menunggu kedatangan mas Fariz, sudah ku tanya dia kapan akan pulang dari kantor dan dia bilang sebentar lagi. Jantungku berdetak lebih kencang, menunggu kedatangan sang pujaan hati tiba.
Namun selang sejam dari kabar yang dia beritahukan mas Fariz tak kunjung datang. Timbul perasaan was-was takut terjadi apa-apa. Tanpa berfikir panjang langsung kuraih ponsel yang ada di sakuku dan ku hubungi mas Fariz.
“assalamualaikum mas Fariz.” suaraku menyapa mas Fariz
“Waalaikum salam dek, “ terderang suara mas Fariz di seberang sana.
“mas kenapa sampai malam gini mas belum juga pulang” tanyaku merasa khawatir.
“maaf dek, tapi mas ada tugas tambahan dari bos dan belum sempat mengabari adek. Maaf ya dek. Hmm mungkin sebentar lagi pekerjaan ini selesai dan mas bisa pulang. Maaf ya dek sudah mengkhawatirkan adek.” lembut suara mas fariz menentramkanku, membuatku tenang akan keadaan mas Fariz. Rupanya pekerjaan yang membuatnya terhambat pulang dari kantor, semoga dia baik-baik saja.
“oh ya sudah mas, adek kira mas kenapa-kenapa. Adek sempat khwatir banget sama mas. Tapi sekarang adek sudah bisa lega tau mas baik-baik saja. Ya sudah kalau gitu, selamat bekerja, hati-hati dan cepat pulang ada sesuatu yang ingin adek berikan. Assalamualaikum mas”kataku mengakhiri pembicaraan
“waalaikum salam, jaga diri adek baik-baik” suara mas fariz menutup telepon.
Terdengar sedikit aneh, tak biasa-biasanya mas fariz berbicara sedatar itu. Seperti tak ada gairah. Sempat berfikir aneh, tapi segera kusingkirkan fikiran itu karena aku tak ingin merusak suasana dan aku sebagai seorang istri harus bisa berprasangka baik terhadap suaminya.
***
“hallo bisa bicara dengan ibu mentari.” suara di seberang telpon itu membuatku penasaran.
“iya benar, saya mentari. Ada apa ya pa...???? dan kenapa” tanyaku pada penelpon yang tidak ku kenal itu.
“cepat segera ibu ke rumah sakit Medica, pa Fariz mengalami kecelakaan.”
Deg. kenapa ini. Benarkah apa yang sudah aku dengar tadi. Mas Fariz, ada apakah engkau, kenapa engkau hingga seseorang mengabarkanku mas sudah di rumah sakit. Baru satu jam tadi kau berbicara padaku, berjanji akan segera pulang setelah pekerjaan itu selesai. Tapi kenapa sekarang aku yang harus menjemputmu, dan itu di rumah sakit... ada apa denganmu mas.
***
Kamar ICU itu terlihat lengah, senyap tak ada suara walau aku liat ada banyak orang di situ. Dan kenapa semua orang menatapku pilu, ada apa denganku. Salah satu rekan kerja mas Fariz yang kebetulan perempuan langsung memelukku erat, menangis di pelukkanku. Aku sungguh tak tau ada apa ini. Dengan suara yang masih terisak perempuan ini berbicara lirih. “ yang sabar ya mba mentari, mba harus bisa menerima ini semua.” Keadaan ini membuatku semakin tidak mengerti, sebenarnya ada apa.
“ada apa ini.” tanyaku datar pada semua orang yang ada di situ. Ku tau perasaanku kini sudah tak menentu lagi. Namun semua hanya terdiam tak ada yang berani menatapku, semua hanya larut dalam kediamannya itu. “ada apa ini, cepat katakan”tanyaku sekali lagi dengan nada agak keras.
“ada apa dengan mas Fariz, kenapa mas Fariz. Kenapa semua diam. Cepat katakan.” ku goyang-goyangkan kerah baju lelaki yang ku tau adalah rekan kerja mas fariz, namun sekali lagi lelaki itu hanya diam saja. “ hei...ada apa...kalian itu tuli ya...kenapa semua diam”aku semakin tak karuan, berteriak-teriak bertanya pada semua orang yang membisu terpatung. Dan lagi-lagi perempuan itu memelukku. ”sabar mba, coba tenang” diucapnya lirih.
Seketika itu aku lihat seorang perawat keluar dari ruangan ICU dengan mendorong ranjang yang di atasnya terdapat sosok manusia tergeletak dengan tertutup selimut putih. Tepat di hadapanku, selimut itu tersingkap seolah ingin memberitahukan siapa yang sedang diselimutinya. Terlihat wajah teduh, dengan raut ketenangan tertutup matanya. Masih terukir jelas senyum di bibirnya. Akupun mendekati sosok manusia itu.
“siapa ini pa...kenapa mirip sekali dengan suamiku. Kenapa dengannya. ”tanyaku dengan polos, walaupun setetes airmata tlah mulai tumpah.
Perawat itu hanya bisa diam, namun perempuan tadi membisikiku lirih, “ itu mas Fariz mba. Dia telah tiada. Mba harus tabah ya...” aku hanya terdiam, dan kupandangi lagi lekat sosok lelaki itu. Semakin lekat hingga tumpahlah sudah airmata yang sedari tadi aku tahan. Sosok itu, terlihat teduh dengan senyuman yang menghiasi wajahnya adalah suamiku, mas fariz yang kata perempuan tadi telah tiada.
Ya Allah, kenapa ini...apa maksud ini semua. Seolah tak percaya aku peluk mas Fariz, kuciumi keningnya berharap dia bangun kembali. Tapi semakin ku peluk sosok itu hanya terdiam membisu. Ya Allah...suamiku tercinta..ada apa ini mas...mas fariz...kenapa engkau pergi begitu cepat, kenapa engkau meninggalkanku dan buah cintamu tanpa kau tau sebelumnya. Kenapa mas.
Bulir-bulir airmata ini terus tumpah menyeruak membahasi wajahku, aku tak berdaya. Tubuhku terasa begitu lemas, ingin rasanya aku berteriak, tapi aku begitu lemah. Untuk berkata saja aku sudah tak sanggup lagi.
Hari ini kusaksikan kejutan lagi yang kau buat untukku, tapi bukan kejutan yang buatku bahagia seperti dulu lagi melainkan kesedihan yang mendalam kau tinggalkan.
***
Kecelakaan tragis yang membuat nyawamu tak bisa tertolong, membuatmu terpisah jauh denganku. Bagaimana bisa semua ini terjadi begitu cepat, padahal sebelumnya aku sempat berbicara denganmu. Kejutan ini, yang seharusnya kau tau tak sempat kuberikan. Buah cinta yanng kini ada dikandunganku semakin membesar, sama seperti perasaan rinduku terhapadmu yang semakin besar. Mas Fariz, kamu hadir saat ku tak punya cinta, tapi mengapa kau pergi saat ku mencintaimu. Selamat jalan Mas Fariz...hati ini akan selalu untukmu...dan akan kujaga buah cinta ini hingga kelak dia tau bahwa dia punya sosok seorang ayah yang sangat ibu cintai.
The End
Karya :: Mentari Senja
Dipublickan :: http://cerpen.gen22.net
No comments:
Post a Comment