MUJAIR DAN MERAH Di sebuah hutan, terdapat rawa yang dihuni oleh beberapa jenis ikan. Di antaranya adalah sekelompok ikan mujair yang hidupnya sangat tenteram dan bahagia. Namun ketenangan mereka terganggu sejak seekor ular merah, atau si Merah sering mencari mangsa di tepi sungai. Ular selalu memakan apa pun yang dapat ia makan, termasuk ikan mujair yang hidup di sungai.
Suatu hari ular sedang berjalan dengan perut lapar. Kebetulan semalam hujan turun dengan deras, sehingga air sungai meluap.
“Ah…karena sungai banjir, semua makananku pasti habis terbawa arus sungai,” keluh si Merah. Matanya berusaha mengawasi rawa-rawa sambil tetap berjalan pelan. Matanya bersinar ketika melihat seekor anak mujair ada di rawa. Dengan sigap si Merah menangkap anak mujair dan memakannya. Setelah si Merah kenyang, ia segera pulang ke rumahnya.
Sementara itu orang tua ikan mujair sangat sedih setelah tahu kalau anaknya dimakan oleh si Merah. Beberapa hari kemudian si Merah kembali datang ke rawa dengan tujuan mencari makan untuknya juga untuk anak-anaknya. Tiba-tiba muncullah ayah mujair.
“Hai, Merah. Mengapa kau memangsa anakku? Apakah kau lupa akan perjanjian kita, bahwa di antara ikan dan ular tidak boleh saling memangsa?” Si Merah segera teringat sebuah perjanjian yang pernah dijelaskan oleh ibunya. Antara ular dan ikan memang tidak boleh saling memangsa. Kalau ada yang melanggar, maka ia akan celaka.
“Aku ti…tidak lupa !” jawab si Merah takut.
“Lalu kenapa kau memakan anakku?” si Merah tidak dapat menjawab. Seluruh tubuhnya benar-benar gemetar. Ia takut kalau nanti akan mendapat celaka karena telah melanggar perjanjian.
“Sebagai gantinya kau harus menyerahkan salah satu anakmu pada kami. Hutang nyawa harus dibayar nyawa!”
“Baiklah, aku akan serahkan anakku.”
Keesokan harinya ular datang kembali sambil membawa salah satu anaknya. Dengan sangat terpaksa ia menyerahkan anaknya itu pada ikan mujair. Untunglah ikan mujair tidak membunuh anak ular itu. Ikan mujair hanya mengurung anak ular itu dan suatu saat akan dikembalikan lagi kepada induknya. Mulai saat itu si Merah tidak berani lagi memakan ikan mujair. Ia juga selalu mengingatkan anak-anaknya agar tidak memangsa ikan mujair.
(Amad Sholeh, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2007)
KEANGKUHAN SI REULI
Pagi terasa damai ketika terdengar riuhnya suara kokokan ayam. Seekor burung merak bernama Reuli dengan beberapa temannya berkumpul untuk mencari makan. Belum lama mereka berkumpul, datanglah seekor elang yang dikenal dengan sebutan Pangeran Satria, wajahnya sangat tampan dan berhati emas. Hampir seluruh burung betina sangat mengaguminya. Begitu juga dengan Reuli. Kedatangan Satria beserta dayang-dayangnya rupanya membawa kabar bahwa Pangeran Satria hendak mencari pendamping.“Aku tidak membutuhkan kecantikan dan keanggunan. Hanya yang berhati tuluslah yang akan menjadi pendampingku!” kata Pangeran. Mendengar itu, hati Reuli berbunga-bunga. Ia yakin akan terpilih menjadi pendamping Pangeran. Ia merasa memenuhi persyaratan yang diajukan Pangeran. Namun Reuli tidak sadar kalau ia mempunyai saingan yang cukup berat, yaitu si Utari, seekor burung merpati. Memang wajahnya tidak terlalu cantik tetapi ia sangat baik hati. Sering Reuli menghina Utari. Namun Utari terus bersabar.
Ketika tiba hari penentuan pendamping untuk Pangeran Satria, Reuli berdandan dengan sangat berlebihan. Kemudian segera bersiap menyambut kedatangan Pangeran. Namun rupanya sudah banyak temannya yang menanti Pangeran, bahkan hingga berdesakan. Reuli yang angkuh pun tidak mau kalah. Ia segera mendesak teman-temannya agar bisa sampai pada barisan terdepan. Ia tidak sadar, karena berdesakan itulah, bulu-bulu indahnya berubah menjadi sangat kotor. Tubuhnya berbau sangat tidak enak. Banyak temannya yang menjauh karena tidak tahan mencium bau tubuh Reuli. Begitu juga Pangeran, ia segera pergi menjauhi Reuli. Reuli sangat kaget. Ia hanya bisa menangis memandang kepergian Pangeran.
Seluruh burung telah memperkenalkan diri pada Pangeran. Namun tidak ada satu pun yang berkenan di hati Pangeran. Ketika Pangeran bingung hendak memutuskan calon pemdampingnya, datanglah Utari yang langsung memperkenalkan diri. Rupanya Pangeran terpesona oleh keramahan, kelembutan, dan kerendahan hati Utari. Ia pun memutuskan untuk menjadikan Utari sebagai pendampingnya. Mendengar keputusan Pangeran, Reuli sadar kalau kecantikan yang selama ini dibanggakannya ternyata tidak berarti. Ia lalu meminta maaf pada Utari atas sikapnya selama ini. Ia juga berjanji akan berusaha mengubah sikap buruknya. Ia juga akan belajar rendah hati dan bersabar untuk melengkapi kecantikan yang telah dimilikinya.
(Apriliani, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2007)
LEBAH DAN SEMUT
Dahulu pada zaman Nabi Sulaiman, hidup banyak sekali lebah. Salah satu di antaranya adalah Dodo. Dodo adalah anak lebah yang telah ditinggal mati ibunya. Waktu itu ibunya meninggal digigit kalajengking. Kini ia hidup sebatang kara. Oleh karena itulah ia memutuskan untuk hidup mengembara. Hingga akhirnya ia tiba di gurun pasir yang luas. Di tengah gurun itu Dodo merasa haus dan lapar.
“Aku harus segera mencari makan dan air, tapi aku harus mencari di mana?” pikir Dodo. Tetapi Dodo tidak mau menyerah. Ia bersikeras mencari makanan dan air. Setelah cukup lama terbang, dari kejauhan Dodo melihat air dan makanan. Namun setelah mendekat, ternyata yang dilihatnya hanyalah hamparan pasir yang luas. Maka dengan kekecewaan, Dodo kembali terbang menyelusuri gurun. Tidak berapa lama kemudian ia bertemu dengan seekor semut yang sedang kesusahan membawa telurnya. Dodo pun mendekati semut itu.
“Hai, semut. Siapakah namamu?”
“Namaku Didi. Namamu siapa?”
“Aku Dodo. Kamu mau jadi sahabatku?” Didi mengangguk senang.
“Baguslah! Kalau begitu mari kita mencari air dan makanan bersama?” Didi kembali mengangguk.
Mereka bergegas pergi untuk mencari makanan. Setelah cukup lama menyusuri gurun, mereka menemukan sebuah mata air yang berair bersih dan segar. Di samping mata air itu terdapat sebatang pohon kurma yang berbuah lebat dan sangat manis. Didi dan Dodo sangat gembira. Mereka segera minum dan makan sepuasnya.
Setelah mereka benar-benar kenyang, mereka segera mencari tempat tinggal. Dua hari kemudian mereka menemukan tempat tinggal yang menurut mereka tepat. Yaitu di sebuah padang rumput yang luas. Mereka tidak akan kekurangan makanan karena di tepi padang rumput itu terdapat banyak pohon buah-buahan dan sebuah mata air yang sangat bersih. Didi dan Dodo hidup dengan rukun. Semakin hari persahabatan mereka semakin erat. Mereka pun hidup dengan aman, tenteram dan bahagia.
(Fitri Wijayanti, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2007)
KEHARUAN SEEKOR ANJING
Pagi yang begitu patah dengan rasa si Anjing dalam menanamkan hatinya pada kupu-kupu yang sedang menari-nari di taman saat si Anjing menjaga rumah majikannya yang bernama pak Bolot. Keharuan si Anjing datang di saat tarian kupu-kupu semakin indah dan semakin lucu.Si Anjing mencoba untuk menirukan tarian kupu-kupu, namun tidak dapat dicapainya. Anjing berkata.
“Kenapa aku tidak bisa seperti mereka., padahal kata pak Bolot aku cantik?” kata si Anjing kesal
“Percuma aku cantik kalau tidak dapat menari.” Si Anjing tetap mencoba menirukan kupu-kupu tetapi ia tetap tidak bisa.
Dengan keharuan itu si Anjing menangis. Si Kupu menangkap suara tangisan si Anjing, lalu mendekatinya.
“Anjing, kenapa kau menangis?” tanya si Kupu.
“Aku tidak bisa menari dan terbang sepertimu! Padahal kata majikanku aku sangat cantik.” Jawab si Anjing. Si Kupu mencoba menasehati si Anjing. Tidak lama kemudian turunlah hujan. Si Kupu bersama teman-temannya segera pergi mencari tempat berteduh.
Setelah beberapa hari. Si Anjing merusak taman di sekitar rumah pak Bolot, agar si Kupu bersama teman-temannya tidak lagi dapat menari-nari di taman. Setelah beberapa lama, datanglah si Kupu bersama teman-temannya. Si Kupu melihat si Anjing yang sedang merusak taman menjadi marah.
“Tunggu…, kenapa kamu merusak taman disini?” tanya si Kupu
“Memangnya kenapa? Ini kan tama milik majikanku? Bukan milikmu?”
“Memang ini bukan tamanku! Tapi kau telah merusak tanaman yang tidak bersalah!” pertengkaran semakin ramai, namun sedikit mereda ketika pak Bolot datang dengan wajah marah karena melihat tamannya yang indah menjadi berantakan.
“Siapa yang telah merusak tamanku ini?” tanya pak Bolot. Si Anjing kemudian mengaku kalau ia yang merusak taman. Ia juga memberikan alasannya. Ternyata si Anjing telah menganggap kalau kupu-kupu telah mencuri madu yang ada pada bunga. Pak Bolot tersenyum, ia kemudian menjelaskan bahwa kupu-kupu tidak mencuri madu. Pandai menari, terbang dan menghisap madu adalah kodrat setiap kupu-kupu. Si Anjing kini sadar akan kesalahannya. Ia segera minta maaf pada si Kupu dan teman-temannya, maupun pada pak Bolot.
(Jumali, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2006)
SI MONYET YANG NAKAL
“Hai, Moli. Jangan kau merebut makananku. Kenapa kau suka mengambil milik orang lain?”
“Biar saja, memangnyatidak boleh.terserah saya, dong!” akhirnya monyet pemilik makanan itu mengalah kemudian monyet itu pulang dan menceritakan sikap Moli kepada warga di hutan. Monyet itu juga menasehati warga hutan agar tidak berteman dengan Moli dan menjauhi Moli yang nakal.
Sejak saat itu Moli merasa kesepian karena tidak ada satu hewan pun yang mau berteman dengannya. Beberapa hari kemudian Moli bergegas pergi meninggalkan hutan. Ia berharap dapat memperoleh teman di daerah lain. Sepanjang jalan Moli sangat murung. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seekor burung. Burung itu sangat heran meilat kemurungan Moli.
“Hai, teman. Mengapa wajahmu sangat murung?” sapa burung itu.
“Saya pergi dari huta. Karena semua hewan di huta selalu menganggapku jahil dan suka menang sendiri!” jawab Moli.
“Tidak uash sedih, saya bisa membantumu.” Burung pun menasehati Moli agar tidak mengulangi kesalahannyadan menghindari sifat nakalnya. Tetapi Moli tidak memperdulikan nasehat burung. Moli justru merasa tersinggung, kemudian ia segera pergi meninggalkan tempat itu.
Sewaktu Moli melanjutkan perjalanan, ia bertemu dengan monyrt yang pernah diganggunya. Tetapi Moli enggan meminta maaf, ia malah membuat keributan lagi dengan monyet itu. Mereka pun saling adu mulut hingga akhirnya terjadi pertengkaran antara mereka. Di tengah pertengkaran yang kemudian berlanjut pada perkelahian, Moli jatu terpeleset ke jurang yang sangat dalam. Mulai saat itu tidak terdengar lagi kabar Moli, si monyet yang nakal.sepeninggal Moli, suasana dalam hutan terasa aman tenteram dan damai.
(Neny Erniawati, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2006)
KECERDIKAN MENUMBUHKAN KEBAIKAN
“Dengarkan ucapanku, wahai, tikus yang angkuh! Aku pasti akan mendapatkan tubuhmu yang mungil dan lezat itu!” teriak ular mengancam tikus.
“Hei, Ular. Berusaha dan bekerjalah. Jangan hanya berani mengancam. Kalau hanya mengancam, seekor semut pun bisa!” ular sangat marah mendengar ejekan tikus. Ia lalu kembali ke sarangnya dengan perut yang lapar. Sedangkan tikus masih lahap dengan makanannya.
Waktu terus berjalan, tetapi ular tidak juga menemukan makanan. Ia juga enggan untuk keluar dari sarangnya. Sementara itu tikus sudah lelap dalam sarangnya. Ular yang masih dalam keadaan lapar segera mengandap-endap mendekati sarang tikus meski ia masih sangat kesal terhadap tikus. Dan kini ular telah berada di sisi tikus yang sedang tidur pulas.
“Hei, Tikus. Aku sudah berada di sebelahmu dan siap untuk menyantapmu!” kata ular mengagetkan tikus. Tikus segera terbangun dari tidurnya. Sambil berpura-pura menguap, ia mulai memutar otak agar bisa lolos dari cengkraman ular.
“Tunggu dulu Ular, sahabatku. Kalau kau ingin memakanku, kau harus berpikir dulu. Kita hanya berdua di sini, tidak ada hewan lain. Jika kau memakanku maka kau akan sendiri. Kau tidak akan mempunyai teman yang dapat kauajak mencari makan. Kalau begitu kau tidak akan makan dan akhirnya kau akan mati!” sejenak ular terdiam. Ia mencoba merenungkan nasehat tikus.
“Jadi kita tidak bisa hidup sendiri?”
“Tentu. Bukankah kita bisa berteman dan tentunya kita dapat mencari makan bersama. Bukankah itu lebih menyenangkan daripada nantinya setelah kau memakanku kau hanya akan hidup sendiri.” Ular mengangguk tanda mengerti.
“Baiklah kalau begitu maafkan aku!” Tikus pun memaafkan ular. Mereka tersenyum bahagia, kemudian beranjak mencari makanan bersama-sama.
(Nurngaini Solihati, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2007)
PERTOLONGAN MEMBAWA BAHAGIA
Di sebuah tembok rumah yang indah, terdapat beberapa ekor cicak yang sedang melata. Salah satunya adalah cicak buruk rupa yang nasibnya selalu malang. Ia selalu diejek oleh teman-temannya.Suatu hari, ia merambat pada sebuah dinding sambil merenung. Berbagai bayangan dan impian menyatu dalam pikirannya.
“Kenapa nasibku begitu malang? Kenapa semua teman-temanku selalu membenciku? Akankah aku bahagia seperti hewan lain?” kata cicak. Tiba-tiba datang seekor nyamuk, sahabat cicak.
“Kenapa kau murung, wahai cicak?” tanya nyamuk khawatir
“Nyamuk sahabatku, kenapa aku merasa selalu malang?”
“Cicak, sebenarnya kau diciptakan penuh kelebihan. Kau dapat merambat di dinding tanpa jatuh. Kau dapat mengecoh lawanmu dengan memutus ekormu saat kau ada dalam bahaya. Mengapa kau masih saja bersedih?”
“Aku tidak disukai teman-temanku karena aku berwajah buruk!”
“Tenanglah, teman! Semuanya pasti akan berakhir, asalkan kau sabar.” Nyamuk terus menghibur hati cicak.
“Terima kasih kau telah membuatku kembali bersemangat.” Nyamuk hanya tersenyum. Kemudian pergi meninggalkan cicak.
Cicak pulang dengan hati yang tenang. Dalam hati ia berjanji untuk tidak menyakiti nyamuk, apalagi memakannya. Di tengah jalan, ia melihat rombongan teman-temannya yang sedang mencari makanan, yaitu nyamuk. Cicak berusaha mencegah. Ia takut kalau nyamuk sahabatnya akan menjadi mangsa teman-temannya. Namun, teman-teman cicak justru marah ketika mendengar larangan cicak. Cicak pun menggunakan berbagai cara untuk mencegah teman-temannya.
“Nyamuk-nyamuk itu juga berhak hidup seperti kita. Jadi kita tidak berhak merampas kehidupan yang diberikan Tuhan pada nyamuk nyamuk itu. Bukankah kita bisa mencari makanan yang lain, yang tidak merugikan makhluk lain?” mendengar itu, cicak-cicak sadar kalau selama ini mereka telah berbuat salah. Mereka segera meminta maaf pada cicak. Dan mereka berjanji tidak akan menyakiti, bahkan memakan nyamuk lagi. Cicak merasa puas. Ia bisa menyadarkan teman-temannya, juga melindungi nyamu, sahabatnya. Hari ini cicak sangat senang, karena hari ini ia dapat berguna bagi makhluk lain.
(Ponimah, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2006)
KATAK DAN SIPUT
Di sebuah sungai terdapat sekelompok katak yang sedang berenang. Salah satunya bernama Kungkong. Kungkong mempunyai sifat baik hati. Suatu haru Kungkong bertemu dengan Pori, siput yang hendak menyeberangi sungai. Padahal air sungai sedang meluap.Kungkong pun berniat memberi bantuan.“Hai Pori, apakah kau membutuhkan bantuanku?”
“O…aku tidak membutuhkan bantuanmu!”jawab Pori.
“Maaf jika kau merasa tersinggung, Pori.”
“Tidak, aku tidak tersinggung. Aku hanya akan membuktika kalau aku bukan hewan lemah yang setiap saat perlu kau tolong!” jawab Pori sinis.
Dengan berjalan pelan-pelan, Pori mulai menunjukkan kehebatannya pada Kungkong. Namun tanpa disangka, tubuh pori terseret arus sungai yang cukup besar. Pori berteriak minta tolong
“Tolong, tolong aku!” Kungkong yang telah pergi meninggalkan Pori mendengar teriakan Pori. Sejenak ia terdiam sambil berusaha menangkap suara minta tolong yang datang dari arah sungai. Kungkong berniat menolong, kemudian ia pun berlari menuju sungai.
Namun rupanya di tepi sungai sudah banyak hewan, termasuk teman-temannya. Kungkong pun mengajak teman-temannya untuk menyelamatkan Pori.
“Untuk apa kita menyelamatkan Pori yang sombong dan tidak tahu terima kasih itu?” jawab teman-temannya.
Dengan tekad yang bulat, kungkong menyelam dalam sungai seorang diri. Ia berusaha mencari Pori yang ternyata ada di dekat bebatuan. Kungkong segera membawanya ke darat.
Setelah sadar dari pingsannya, Pori mengucapkan banyak terima kasih pada kungkong. Ia juga meminta maaf atas perbuatannya. Pori juga merasa malu karena telah menghina maksud baik Kungkong. Kungkong juga meminta maaf kata-katanya telah menyakiti hati Pori. Mereka tersenyum bahagia. Mulai saat itu Kungkong dan Pori menjadi sahabat yang sangat erat.
(Rr. Tiyas Nurhayati, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2006)
SEMUT DAN LEBAH
Di sebuah taman tinggallah seekor semut dan lebah. Mereka ingin sekali berebut kemenangan. Pada pagi yang cerah ketika lebah sedang terbang ke sana-kemari, dia baru menemukan ide untuk mempersiapkan kemenangan lomba dengan semut.Lebah berkata,”Hai, semut aku sudah punya ide. Bagaimana kalau kita berlomba mencari madu yang ada di taman ini?”
Semut menjawab,”Oke, aku setuju.”
Pada waktu perlombaan dimulai, semut berbuat curang. Dia memanggil teman-temannya untuk menempatkan dirinya masing-masing di beberapa pohon. Ketika lebah sudah menemukan madu di sebuah pohon, dia sangat bahagia. Lebah merasa dirinya yang paling hebat dan cerdik, tapi dia terkejut ketika melihat seekor semut sedang menghisap madu di pohon itu. Lebah merasa dipermainkan.
Semut berkata.”Hai, lebah kau sekarang kalah dalam perlombaan ini, akulah yang paling hebat dan cerdik dari kamu, karena akulah yang lebih dulu menemukan madu di pohon ini.” Walaupun lebah kalah, dia tidak mudah putus asa, dia terus berjuang.
Pada suatu hari, lebah terbang ke sana-kemari mencari makanan. Tapi ketika lebah terbang di dekat sarang semut, dia mendengar dan melihat sekelompok semut sedang membicarakan perlombaan dengan lebah dan berniat jahat untuk mengalahkan lebah. Lebah baru tahu apa yang dilakukan semut dalam perlombaan ini.
Ketika siang hari yang cerah, lebah membalas perbuatan kepada semut. Lebah memanggil teman-temannya untuk menghancurkan sarang semut. Dengan tiba-tiba sekelompok lebah menyerbu sekelompok semut. Akhirnya semut menyerah kepada lebah. Karena semut takut kalau rahasianya akan terbongkar, dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan semua ini. Semut sadar kalau selama ini dia telah berbuat tidak baik kepada lebah, dia langsung meminta maaf. Lebah juga minta maaf dan dia juga memaafkan semut. Akhirnya mereka berjanji akan selalu menjadi sahabat yang baik dan setia.
(Wuri Handayani, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2006)
HARIMAU YANG TERJERUMUS
Sampai suatu hari, harimau yang biasa dipanggil Harim, membuat keributan di rumah Pena. Pena yang melihat kalau Harim sedang mengacau di rumahnya. Ia merasa sangat kasihan pada orang tuanya karena itu ia segera mengambil tindakan. Pena berusaha mengalih kan perhatia Harim
“He..Harim, keluarlah, kalau kamu jantan kejarlah aku!” Pena sengaja berkata dengan keras.
Mendengar teriakan Pena Harim merasa ditantang. Ia pun segera keluar dari rumah Pena dan mulai mengejar Pena yang telah berlari cukup jauh. Sedangkan itu Pena yang sedang dikejar Harim berusaha mencari ide untuk membuat jera Harim. Tidak terasa mereka telah sampai di tengah hutan. Ketika melihat sumur tua di tengah hutan, Pena pun mendapat ide. Ia sangat yakin kalau harimau yang kelihatannya parkasa dan menakutkan belum tentu mempunyai otak yang cemerlang.Pena segera berhenti ketika sampai di tepi sumur.
“Sekarang kamu mau kemana, ha?” kata Harim sambil memamerkan giginya
“Tunggu dulu Harim! Kalau kau mau memangsaku, kau harus kalahkan dulu temanku yang hendak menantangmu. Dan temanku itu bersembunyi dalamsana.” Kata Pena sambil menunjuk pada sumur tua itu.
Kemudian Harim mendekati sumur dan ia segera menunjukkan giginya yang runcing. Tapi alangkah kagetnya Harim, karena hewan yang ada dalam sumur itu mengikuti gerakannya dengan sangat mirip. Harim memamerkan cakarnya yang tajam, tapi hewan itu juga menirukannya dengan persis. Kini Hari sangat marah . tanpa berpikir panjang ia segera melompat masuk dalam sumur. Dan tidak lama kemudian Harim telah mati.
Pena tersenyum puas karena dapat mengelabuhi Harim. Sebenanya ia tidak tega. Tetapi itu adalah balasan yang setimpal atas perbuatannya pada binatang penghuni hutan. Karena kecerdikannya itu, ia di kenal sebagai hewan yang cerdik, pandai, cerdas dan pemberani.
(Yunarsih, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2006)
PATIH BUAYA YANG KORUPSI
Di sebuah sungai, tinggallah sekelompok buaya yang dipimpin oleh seorang raja yang arif bijaksana. Raja buaya selalu memikirkan kehidupan rakyatnya, sehingga raja sangat disayangi dan dicintai rakyatnya. Rakyat buaya pun hidup makmur dan tenteram.
Pada musim penghujan, keadaan buaya sedang menderita karena banjir melanda sungai. Rakyat buaya kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Melihat rakyat buaya menderita, raja merasa harus bertanggung jawab atas rakyatnya. Semakin hari raja semakin prihatin melihat pemderitaan yang dialami rakyatnya. Akhirnya raja memutuskan untuk membagikan makanan yang disimpannya untuk berjaga-jaga sewaktu musim hujan tiba. Dengan segera raja mengutus kedua patihnya untuk membagikan makanan itu pada rakyatnya secara adil. Kedua patih kepercayaan raja buaya dengan senang hati menerima titah rajanya.
Kedua patih itu segera membagi-bagikan makanan seperti apa yang diperintahkan raja. Namun pada waktu itu patih Karta melihat patih Narta mengurangi setengah dari makanan yang akan dibagikan pada rakyat.
“Hai, Patih Narta. Kenapa kau memakan sebagian makanan yang seharusnya diberikan pada rakyat?” Namun rupanya patih Narta tidak mempedulikan larangan patih Karta. Ia bahkan mengatakan kalau patih Karta iri melihat keberhasilannya mendapat sebagian dari makanan rakyat.
Dengan sabar patih Karta menasehati patih Narta. Namun patih Narta justru mengejek nasehat patih Karta sehingga terjadilah adu mulut antara keduanya.
“Apa hakmu melarangku berbuat sesuatu yang aku sukai?”
“Tapi ini makanan milik rakyat! Lihatlah di luar sana rakyat buaya sangat menderita. Mereka sedang kelaparan! Kalau kau terus begini, kau akan kulaporkan kepada raja, agar kau dihukum dengan setimpal!”
Namun belum sempat Patih Karta melapor ke raja, Patih Narta menyerangnya dari belakang. Di antara mereka terjadi perkelahian hebat. Keduanya sama-sama kuat. Namun di mana pun kejahatan pasti kalah oleh kebenaran. Begitu juga dengan patih Narta. Ia pun mati. Kematiannya bukan karena serangan patih Karta, melainkan kepalanya membentur batu besar di tepi sungai karena terlalu bernafsu menyerang Patih Karta.
Hari itu juga Patih Karta melaporkan kejadian itu pada raja buaya. Ia juga menceritakan tingkah laku Patih Narta. Mendengar itu raja buaya sangat bangga pada Patih Karta yang sangat setia padanya. Sejak itu kehidupan rakyat buaya semakin aman dan tenteram karena dipimpin raja yang arif dengan seorang patih yang sangat setia.
(Zida Malichah, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, 2007)
No comments:
Post a Comment