Cerpen Tentang Kepergianku



Hari minggu yang cerah ini tampaknya tidak secerah suasana hati pak Cipto. Awan terlihat berjalan sangat lambat. Burung nuri yang biasanya bersiul menemani saat-saat minum kopi pak Cipto, tiba-tiba lesu entah mengapa. Sepertinya alam dengan cepat memahami isi hati pak Cipto pagi ini.
“Yusril…kesini nak. Temenin Bapak yok.”
Suara pak Cipto sekejap membangunkan Yusril yang barusaja membaca buku di sofa yang sangat empuk. Sampai-sampai dia hampir tertidur kembali karena posisi membacanya yang memang sudah pas untuk mengulang aktivitas santainya seperempat jam yang lalu.
“Bapak manggil saya? Ada apa pak?”
Anak kesayangan pak Cipto yang umurnya genap 19 tahun, pada bulan april kemarin berjalan menuju sumber suara yang barusan dia dengar. Jalannya yang sedikit sempoyongan itu terlihat bahwa Yusril memang benar-benar baru bangun tidur. Sembari asyik mengucek kedua matanya, Yusril segera duduk di kursi kayu sebelah kanan pak Cipto.
            Memandang Yusril yang baru saja lewat tepat didepan matanya, membuat pak Cipto teringat memori 30 tahun silam. Ketika umurnya masih 19 tahunan. Sangat lugu. Kacamata bulat yang tebalnya setengah senti dan rambut kribo menjadi ciri khas penampilan pak Cipto yang tak bisa dilupakan. Gambaran masa itu sangat berbeda dengan pemuda yang duduk disebelahnya. Sungguh masa berubah begitu cepat.
“Pak…”
Panggilan Yusril seketika menghentikan lamunannya.
“Ngagetin aja kamu Yus. Eh, baru bangun tidur ya anak ini?”
Mata yang merah itu ternyata tidak bisa membohongi penglihatan pak Cipto.
“Hehe…Habis lembur tugas kuliah pak. Jadi tidurnya malem. Tadi kenapa ya bapak manggil saya?” Jawab Yusril dengan suara berat. Efek dari bangun tidur.
            Tak berselang lama, terdengar suara pijakan kaki yang sedang berlari kearah mereka. Suara itu semakin jelas. Seperti makin mendekat saja.
“Yah, liat bu Ningsih sudah lewat belum? Lupa aku yah. Ini kan udah setengah enam. Biasanya bu Ningsih jam lima udah lewat sini.”
Suara ngos-ngosan bu Lina, istri pak Cipto membuat percakapan mereka terhenti.
“Bu…sayur bu. Ada terung, sawi, wortel, kubis, kacang panjang, bunga kol. Sayur….”
Suara nyaring bu Ningsih yang di tunggu bu Lina, akhirnya terdengar juga.
“Bu, blanja….”
Dengan membawa gendongan yang lumayan besar, kaki wanita yang berumur hampir sama dengan langganan setianya ini masih juga sangat kuat dan bergegas menuju ke depan rumah pak Cipto.
“Hari ini sayurnya lengkap bu Lina. Monggo di pilih.”
Bu Lina membolak- balik bunga kol yang dipegangnya. Sesekali dia membenggangkan bunga kol itu, siapa tau terselip ulat didalamnya. Pernah seminggu yang lalu ketika bu Lina membersihkan sayur kesukaan pak Cipto itu untuk dimasak, ada tiga ulat yang ukurannya lumayan besar terselip didalamnya. Hingga suasana rumah keluarga yang terkenal ayemnya ini terlihat rame dan heboh karena kedatangan makhluk yang sangat menggelikan itu.
“Wah, udah besar ya anak angkat pak Cipto ini. Lama nggak kelihatan. Tambah cakep aja.”
Waktu seperti berhenti beberapa detik ketika pak Cipto mendengar perkataan penjual sayur keliling ini. Yusril yang sudah lama memerhatikan tumpukan sayur didepannya dengan asyik seketika menunduk lesu. Ekspresi wajahnya memang mudah sekali ditebak.
Sembilan belas tahun yang lalu, ketika bu Ningsih sedang berjualan keliling lewat rumah pak Cipto, dia merdengar suara tangisan bayi didepan rumahnya. Perlahan bu Ningsih mendekati dan memastikannya. Bu Ningsih bergegas melepas gendongan sayurnya dan mengetuk pintu depan rumah pak Cipto yang masih terlihat sangat sepi karena semalam keluarga mereka mengadakan tasyakuran aqiqah anaknya.
“Eh bu Ningsih ini. Coba dilihat lagi lah. Cakep dari mananya. Masih juga cakepan si Dino bu. Haduh…bu Ningsih. Ya sudah bu, berapa ini?”
Bu Lina langsung membayar dan meninggalkan mereka.
Pandangan Yusril terlihat lebih menunduk. Tangan pak Cipto yang sudah lama dipangku di pahanya, tidak ragu untuk menepuk pundak Yusril agar sakit hatinya sedikit berkurang.
“Udah, nggak usah dipikirin omongannya ibuk tadi. Gih cepat mandi. Udah jam enam itu.”
            Dino dan Yusril berada di Kampus dan fakultas yang sama. Namun untuk berangkat ke kampus aja, mereka berdua sudah terlihat tidak akur. Dino berangkat kuliah naik sepeda motor matic warna merah bata kesayangannya sedangkan Yusril naik bus kampus warna kuning yang selalu terlihat jelas dari kejauhan. Hal ini sudah berjalan sampai mereka semester dua. Entah mengapa, meskipun mereka satu rumah, tetapi hati mereka sepertinya tidak bisa akrab satu sama lain.
            Dino dengan cepatnya sampai dikampus. Sejenak dia berhenti di depan ruang dekanat untuk menunggu seseorang.
“Apa? Itu Adis kan. Tapi kenapa Adis sama Yusril. Tunggu tunggu. Sejak kapan mereka berdua sama-sama naik bus. Waduh. Emang kurang ajar tuh anak. Nggak puas apa ngambil perhatian ayah dirumah. Sekarang malah berani ngambil perhatian Adis di kampus. Lihat aja nanti bocah.”
Yusril yang tampak akrab dengan Adis terlihat bersamaan turun dari bus kampus. Hal itu tentunya membuat Dino kebakaran jenggot.
            Malam itu ketika Yusril selesai makan malam bersama keluarga, handphone Yusril yang berada di kamar terdengar berdering lumayan kencang. Ringtone lagu kereta malam yang tak berhenti-berhenti itu berarti Yusril mendapat telephone dari seseorang.
“Maaf pak, buk. Sepertinya ada yang manggil saya. Permisi sebentar ya…”
Dino merasa curiga dengan gerak-gerik Yusril. Dia sangat penasaran dan rupanya Dino mengikuti Yusril dari belakang. Diam-diam Dino mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu kamar Yusril.
“Halo, Adis. Maaf ya. Baru selesai makan aku.”        
Mendengar sedikit pembicaraan mereka, Dino kembali ke ruang makan dan menghampiri mamanya dan membisikkan sesuatu.
“Yusril…Ngapain kamu dikamar? Cuci dulu semua piringnya!”
Teriakan bu Lina membuat pak Cipto tersedak saat akan menelan olahan makanan favoritnya itu.
“Mama, apa sih!“
“Kenapa emang pa? Papa lebih sayang Yusril daripada mama sama Dino. Iya? Begitu?”
Mau tidak mau pak Cipto tidak membuka mulutnya lagi. Daripada adu mulut, lebih baik diam. Itu prinsip pak Cipto yang selalu diterapkannya.
            Yusril yang baru tiga menit asyik dengan teleponnya, akhirnya terpaksa mengakhiri pembicaraan mereka.
“Iya buk…”
Yusril berjalan kedapur dan mencuci semua peralatan makan yang kotor.
“Dino, bantuin Yusril gih.”
“Papa, kok gitu sama anak sendiri. Biar wes Yusril itu. Dia kan cowok.”
Bu Lina, mama yang selalu siap sedia membela anak kesayangannya, akhirnya ikut angkat bicara. Dino menghampiri Yusril dan berbisik tepat ditelinga kirinya.
“Heh bocah, denger ya! Jangan macem-macem sama gua. Adis itu gebetan gua. Ngerti! Awas kalau loe ngelawan. Tanggung sendiri akibatnya! ”
Begitulah Dino dan Yusril setiap harinya. Tak ada hentinya. Ada saja yang dipermasalahkan.
            Bu Lina dan Dino berpindah lokasi di ruang tv untuk menghabiskan waktu santai mereka sedangkan Yusril yang baru saja mengelap tangannya setelah mencuci setumpuk peralatan makan itu, memilih duduk di kursi depan rumah. Tak lama berselang, pak Cipto menemaninya.
“Setiap hari selalu seperti ini. Sepertinya bapak sudah nggak betah lagi lebih lama disini.”
 “Bapak, jangan ngomong gitu. Nggak bagus. Perkataan itu do’a pak. Hati-hati.”
Pak Cipto mengambil napas panjang untuk beberapa kali.
“Pak, bapak kenapa? Kepala bapak sakit ya?”
Pak Cipto memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Wajah pak Cipto nampak kesakitan.
“Nggak papa kok Yus. Cuman pusing biasa. Oh iya, besok kan hari minggu, ikut bapak yok ke Rumah Sakit. Bapak mau cek Kesehatan.”
            Sring bed, tempat pak Cipto merebahkan seluruh keluh kesahnya, kali ini belum berhasil membuat pak Cipto menutup kelopak matanya. Dia masih saja berpikir tentang apa yang telah dia lakukan kepada istri dan anak kecintaannya. Sekali lagi, pak Cipto menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Hal ini sering dia lakukan untuk mengendalikan emosinya yang muncul tanpa diduga.
“Ayah belum tidur?”
Bu Lina yang baru saja selesai menonton drama ftv kesukaannya, masuk menemani pak Cipto yang hatinya sedang tak karuan.
“Maafin papa ya ma. Selama ini papa selalu bikin kesel mama.”
“Papa, ngomong apa sih. Namanya juga keluarga to. Yang penting saling percaya, itu sudah cukup kok pa.”
Perkataan bu Lina membuat hati pak Cipto sekejap merasa tenang. Air mata pak Cipto yang dari tadi terus ditahan, akhirnya keluar juga setelah mendengarkan kalimat yang meneduhkan.
            Sekitar setengah delapan pagi, pak Cipto dan Yusril menyiapkan mobil untuk menepati janji mereka tadi malam.
“Oh, sekarang hari mingguannya nggak sama keluarga ya. Malah sama anak tengil itu. Iya iya. Mama paham”
Terdengar suara bu Lina dari pintu depan.
“Papa nganterin Yusril beli obat ke apotik ma. Bukan apa-apa kok. Ya… Papa berangkat. Assalamu’alaikum.”
Bukan sekali pak Cipto keluar ke rumah sakit dan bohong kepada istri tercintanya. Itu semua dilakukannya memang untuk menjaga sesuatu yang tidak boleh sama sekali istri dan anak kesayangannya tahu.
            Melihat tulisan “push” yang ditulis pada kertas putih dan digantungkan di pintu keluar, seakan Yusril ingin cepat-cepat mendorong pintu itu. Hati Yusril menjadi tak karuan setelah mendengar percakapan dokter Fadhil, sahabat pak Cipto yang memang tahu segalanya dari awal dengan pak Cipto.
“Yus, apapun yang kamu dengar tadi, bapak mohon, rahasiakan pada orang rumah. Ya…”
Air mata itu jatuh tanpa disuruh. Yusril mengalami goncangan yang cukup kuat. Anak yang di emaskan Pak Cipto ini tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
            Beberapa detik sebelum mobil kesayangan pak Cipto berhenti di depan rumah, pandangan matanya sengaja dia jatuhkan kepada Yusril. Bu Lina yang menyambut pak Cipto dengan senyuman hangat di depan pintu rumah, sedang menunggu kepulangan suami tercintanya.
“Oh, jadi gini ya. Ayah abis seneng-senengan sama Yusril. Terus aku? Apa sih yang ada dipikiran Ayah. Sebenarnya yang anak buangan itu aku atau dia?”
Dino yang tiba-tiba muncul dan berdiri tepat dibelakang Ibunya langsung pergi meninggalkan mereka dengan mengendarai motor yang telah diparkir di depan rumah. Pak Cipto hanya bisa menarik napas panjang dua hingga tiga kali.
            Tiba-tiba Pak Cipto merasakan sesuatu yang mengganjal ditubuhnya. Dia segera masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya.
“Ya Allah…Berapa lama lagi aku harus bertahan? Kuatkan tubuh ini Allah...”
Rasa sakit yang dirasakan pak Cipto semakin hebat. Dipegangi kepalanya terus-menerus sampai ia terguling-guling di atas kasur.
Yusril yang sedang duduk di kursi kayu depan rumah merasakan sesuatu yang aneh menurutnya. Seketika dia berlari menuju kamar pak Cipto.
“Pak. Astaghfirullah…”
Yusril menemukan pak Cipto yang sedang pingsan di atas kasurnya dan segera mengangkat tubuh yang tidak begitu berta itu kedalam mobil.
“Yusril…Bapak kenapa?”
Bu Lina terus mengucapkan kata itu beberapa kali sambil beberapa kali menitikkan air mata. Meskipun dia tidak memahami apa yang sedang terjadi, jika keadaannya seperti itu ya istri mana yang tidak akan menangis.
            Perawatan intensif Rumah Sakit langsung diberikan kepada pasien istimewa ini. Banyak sekali relasi pak Cipto yang bekerja disini.
“Buk, jangan menangis terus ya. Yang sabar. Do’a aja buk demi kebaikan bapak.”
Yusril terus mencairkan suasana hati bu Lina. Jarang sekali Yusril melihat bu Lina meneteskan air mata mungkin malah tidak pernah. Berbagai macam do’a telah Bu Lina panjatkan namun kabar tentang keadaan pak Cipto belum juga terdengar.
Yusril meninggalkan bu Lina yang sedang duduk di ruang tunggu dimana pak Cipto dirawat.
“Don, dimana kamu?”
Gua lagi nongkrong. Kenapa loe telpon-telpon gua?”
Please dengerin aku ya Don…”
“Eh..eh..Siapa loe nyuruh-nyuruh gua?”
“Ini penting Don. Bapak sakit. Dia di Rumah Sakit sekarang.”
“Terus apa hubungannya sama gua?”
            Tut..tut..tut.. Dino memencet tombol warna merah di hp nya. Yusril tidak banyak bertindak ketika terdengar seseorang memutar gagang pintu kamar kamar pak Cipto untuk keluar. Dia berlari menuju bu Lina yang terlihat tegang dan sangat gugup waktu itu.
“maafkan saya ya buk. Tapi tim medis kami telah melakukan berbagai cara demi kesembuhan suami ibuk.”
Bu Lina jatuh pingsan mendengar kata-kata itu. Yusril menggendong bu Lina dan dia dudukkan kembali di ruang tunggu itu.
            Pemakaman jasad pak Cipto dilakukan pada waktu itu juga. Bu Lina yang baru sadar mencoba untuk kuat dan menahan air matanya untuk terjatuh lagi hingga pemakaman almarhum suaminya selasai.
“Ma, siapa yang dikubur ini ma?”
Dino yang tak sengaja lewat pemakaman umum itu dan melihat mobil Ayahnya yang bersandingan dengan mobil ambulance mampu memberhentikan acuan motornya. Bu Lina yang berdiri di depan Dino tanpa ragu memeluknya erat dan melampiaskan seluruh emosinya.
“Ayahmu sayang…Ayahmu.”
Pelukan itu serasa erat seperti tidak boleh ada apapun dan siapapun yang memisahkan mereka. Yusril yang melihat suasana haru itu mengulurkan tangannya dan memberikan sebuah surat untuk Dino, anak kandung pak Cipto.

Dear Dino Surya Sucipta anakku…

Sebenarnya sudah lama ayah buat surat ini untukmu sayang. Ayah hanya ingin bilang bahwa sebenarnya ayah itu sayang banget sama Dino, anak ayah. Tapi ayah takut, rasa sayang yang akan tumbuh semakin besar ini membuat Dino tidak bisa melepaskan ayah.  Ayah tidak mau itu terjadi.
Sayang…
Maaf jika ayah meninggalkanmu lebih cepat. Maaf juga karena ayah belum bisa menjadi ayah yang baik untuk kamu dan mama.
Sayang…
Jaga mama seperti ayah menjaga kamu dan mama dalam do’a ayah setiap malam ya.
Sayang…
Yusril itu saudaramu. Baik-baik ya sama dia.
Jaga kesehatan ya anakku. Ayah selalu mengawasimu dari sini.
Ayah sangat menyayangimu.

                                                     Ayah


Karya : Dwi nur Fadillah
Email      :  dwinur_fadillah4@yahoo.co.id


No comments:

Post a Comment