CERPEN *OH, BUNDA!


oleh: Alief Murobby

Rintik-rintik hujan akhirnya mulai turun, membasahi kota Jogja. Mendung yang sedari tadi menggelayut, kini mulai memuntahkan isinya. Beberapa pengendara motor mulai menepikan kuda besi mereka untuk sekedar berteduh ataupun memakai jas hujan. Dinginnya air hujan rupanya tak mampu mendinginkan panasnya hati Ava. Tanpa memedulikan tangannya yang mulai kebas akibat seng
atan hawa dingin dan bajunya yang basah kuyup, Ava terus menggeber Astrea Grand-nya menuju kearah barat daya, tepatnya menuju kearah alun-alun utara keraton. Ditebasnya jalanan dengan sangat lincah, tak peduli dengan orang-orang yang mengumpat saat terkena cipratan air dari motornya. Pikirannya sangat kalut. Lalu tanpa diinginkannya, Ava kembali mengingat peristiwa yang membuat hatinya sangat marah itu.

***
“ Bun, uang buat bayar kuliah semester ini mana?” tanya Ava pada ibunya yang sedang menghitung uang hasil penjualan nasi pecel yang dijualnya tiap fajar di stasiun Lempuyangan. Raut muka ibunya langsung berubah. Gelisah.

“ Bunda cuma dapet segini, Le,” ucap Bunda seraya menyerahkan seluruh uang yang tadi dihitungnya. Ava agak kaget begitu menghitungnya kembali. Cuma dua ratus ribu lebih sedikit.

“ Bunda ini gimana sih? Kan aku udah minta sejak seminggu yang lalu, masak cuma segini? Kalau cuma segini, jelas nggak akan cukup.” Nada suara Ava mulai meninggi. Warna wajahnya pun mulai memerah, pertanda emosinya mulai tersulut. Bunda tahu persis hal itu. Insting seorang ibu, mungkin.

“ Tapi Bunda hanya punya uang segini, Le. Nanti kalau dagangan Bunda laris, uangnya buat kamu semua. Bu Nugroho, tetangga kita yang kaya itu, juga bersedia meminjami ibumu ini uang. Ndak usah kuatir,” ucap Bunda dengan logat khas Jogja, sembari mengelus kepala anak laki-lakinya itu, berusaha meredam emosinya. Dengan kasar, Ava menyentakkan tangan ibunya, lalu berteriak marah.

“ Bunda yang cuma tamat SMP tau apa?! Kalo besok aku nggak bayar biaya kuliah semester ini, aku bisa di-DO tau!” bentak Ava keras. Saking kerasnya, Nina adiknya, sampai keluar dari kamarnya.

“ Kakak apa-apaan sih?” tanya Nina.

Ava menjawabnya dengan ketus,” Diem kamu, anak kecil!”

“ Kakak tuh yang diem!” Emosi Nina ikut tersulut. “ Bicara sama orangtua tuh yang sopan. Malah dibentak-bentak. Dasar durhaka!”

Plak! Sebuah tamparan melayang ke pipi Nina.

“ Jaga mulutmu!” teriak Ava.

“ Kakak tuh yang jaga mulut!” Nina langsung membalas sambil memegangi pipi kirinya yang memerah akibat tamparan Ava. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Sang Bunda langsung memeluk anak perempuannya. Dia juga mulai menangis.

“ Udah, udah. Jangan berantem,” kata Bunda lirih. Ava langsung beranjak pergi meninggalkan kedua perempuan itu. Sang Bunda hanya berucap pelan, berulang-ulang.

“ Astaghfirullah.”

Tak terasa, Ava telah sampai di alun-alun utara. Suasana sore itu tak terlalu ramai, hanya ada beberapa lapak pedagang yang buka. Ava memilih duduk di salah satu bangku yang kosong, tepat dibawah pohon mahoni untuk mengeringkan pakaiannya yang basah dan menghilangkan sisa-sisa kejengkelan yang masih mengndap di dasar hatinya. Beberapa pengamen jalanan memainkan alat musik mereka. Ada gitar, harmonika, kendang, dan biola. Sederhana namun tetap nikmat untuk didengar. Tiba-tiba seorang violin jalanan duduk disampingnya. Kulitnya hitam, tapi raut wajahnya jenaka.

“ Mau request lagu, Mas? Cuma seribu per lagu,” tawar si violin. Ava merogoh sakunya dan menemukan uang dua ribu rupiah. Disodorkannya uang itu pada si violin.

“ Maen lagu apa aja, yang penting enak di telinga. Kembaliannya ambil aja.”

Si violin langsung bersiap mengambil nada awal. Saat biola mulai digesek, Ava kaget. Dia tahu persis lagu itu. Tak disangka, violin itu memainkan lagu bunda karya Melly Goeslaw. Tanpa sadar, Ava ikut bernyanyi mengiringi alunan lagu.

Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu ditimang

Air mata Ava keluar tanpa mampu ditahannya. Ia terus menangis hingga si violin selesai membawakan lagunya.

“ Kenapa, Mas? Terharu, ya? Lha wong keturunan Mozart, je! Hehehe,” canda si violin.

“ Mas sih enak masih punya motor,” lanjutnya. “ Punya rumah, punya keluarga. Pasti enak. Nggak kayak saya. Hidup pindah-pindah. Rumah nggak punya. Orangtua nggak tau dimana.”

Violin itu terdiam sejenak. “ Tapi walaupun gitu, saya tetap bersyukur kok. Syukur masih bisa makan. Syukur masih bisa maen biola. Syukur masih bisa hidup.”

Perkataan pengamen itu membuat Ava tersadar. Apa yang telah kulakukakan? batin Ava. Padahal Bunda telah bersusah payah menghidupiku, tapi aku malah membentaknya. Aku bahkan tega menampar adikku sendiri! Dasar bodoh! Ava merutuki kebodohannya. Dia menyesal, sangat menyesal telah mengasari ibunya dan menampar adik satu-satunya.

Violin itu berkata lagi,” Saya pernah didawuhi seorang Kyai. Beliau berkata,’ Untuk urusan dunia, jangan lihat ke atas, tapi lihatlah ke bawah. Lihatlah orang yang hidupnya lebih susah dari kita, supaya kita bersyukur sudah diberi nikmat lebih daripada orang lain.’ Gitu, Mas. Lho, lho, Mas. Mau kemana? Pulang?” tanyanya begitu melihat Ava bergegas menyalakan motornya. Ava ingin segera pulang ke rumah. Ke pelukan bunda.

Si violin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kebingungan. “ Apa aku salah bicara, ya?”

Saat Ava telah sampai dirumahnya yang berada di kawasan Danurejan, dilihatnya sang Bunda sedang duduk di beranda. Nina duduk disamping ibunya dengan muka ketus. Begitu melihat ank laki-lakinya pulang, wanita itu segera beranjak mendekatinya. Senyum terpatri di wajah keibuannya.

“ Alhamdulillah Le, kamu sudah pulang. Udah Bunda bilang, soal biaya kuliah, kamu nggak usah kuatir.” Sambil bicara, Bunda merogoh kantong bajunya lalu menarik sebuah kalung emas. Bunda tersenyum lagi.

“ Nanti kalung ini akan Bunda gadaikan. Uangnya buat kamu semua.”

Mendengarnya, Ava semakin merasa dirinya adalah anak yang sangat durhaka. Kalung itu adalah mas kawin yang diberikan ayahnya saat menikahi ibunya dulu. Kalung yang sangat disayangi ibunya. Ia sering melihat ibunya menangis sambil memeluk kalung itu, mungkin karena teringat pada ayah yang telah lama meninggal.

“ Bunda, pokoknya jangan pernah menjual kalung ini. Soal biaya kuliah, biar nanti Ava cari sendiri.” Ava berkata sambil menahan air matanya. Bunda menatapnya dengan bingung.

“ Lho kok…” Tanpa memberi kesempatan pada Bunda untuk bertanya, Ava memeluknya dengan sangat erat.

“ Maafin Ava, Bunda,” ucap Ava lirih, lalu ia menangis dalam pelukan ibunya. Bunda hanya tersenyum kecil, lalu berujar sambil mengelus kepala Ava.

“ Ndak papa, ndak papa. Kamu ndak pernah punya salah sama Bunda. Yang penting, minta maaf dulu sama adekmu. Tadi dia nangis terus.” Ava melepaskan diri dari sang bunda, lalu berjalan menuju Nina yang terus menatapnya. Ava berlutut di depan adiknya.

“ Maafin kakak, ya?” Nina memandang kedua bola mata Ava dengan lekat, lalu tersenyum.

“ Apologies accepted,” jawab Nina, memaafkan kakaknya. Ava lalu meraih Nina ke dalam pelukannya. Sang Bunda lalu memeluk kedua anaknya dengan sayang. Saat itu Ava bersumpah, dia takkan pernah lagi membiarkan ibu dan adiknya menangis. Dia akan membahagiakan mereka, apapun yang terjadi. Tak ada yang dapat menghentikannya. Tak ada!

No comments:

Post a Comment